Akik Sleman Tangan Cekot

Foto dan ilustrasi: dok pribadi/gedhebug cowasjp

COWASJP.COM – ockquote>


C a T a T a N: Cakfu

----------------------------

DI sudut jalan rombengan, sekelompok penjual akik asyik menata dagangan. Satu-dua orang berjongkok di depannya menimang-nimang batu bulat lonjong. Sesekali menerawangkan batu itu ke matahari. Sepi. Berbeda dengan beberapa bulan lalu, ketika akik sedang ’’booming’’. Tempat itu padat pengunjung.

Pantat mereka meluber ke badan jalan yang dipenuhi motor parkir. Lalu lintas pun tersendat. Para penghobi akik tersebut seakan tak peduli dengan polisi Satpol PP yang tiap saat bisa mengobrak pasar tak resmi itu. Arena tersebut memang tidak sekadar tempat jual-beli akik, tapi juga ada diskusi, wawasan jenis-jenis akik dan motifnya, pitutur tentang mitos, tentu dengan bumbu gombal agar dagangan laku.

Suatu hari, teman saya, Wadud namanya, mengantar teman lain menjual akik Sisik Naga ke sudut jalan itu. Beberapa kali nego dengan para penjual di kaki lima. Namun harga belum cocok Tiba-tiba seorang pria berusia sekitar 40 tahunan ikut nimbrung dalam percaturan. Tampaknya dia tertarik dengan akik Sisik Naga.

Ketika dia menimang-nimang akik yang ditawarkan Wadud itu, eh… ternyata tangan pria itu –maaf-- cacat (Jawa: ce’kot). Namun, yang membuat Wadud lebih tertarik adalah akik sleman dengan motif Junjung Drajat yang melingkar di jari pria ce’kot itu. Di komunitasnya, Wadud boleh dibilang sudah mencapai level ’’empu’’ dalam perakikan. 

Sekali dua kali lihat, dia sudah faham jenis dan motif akik. Wadud tidak  pernah beli akik yang sudah jadi. Apalagi, lengkap dengan cincinya. Dia lebih suka batu yang masih berupa bongkahan. Dia lebih suka  memotong, membentuk, dan menggosok akik sendiri sampai mengkilat. ’’Dengan cara begini kita bisa merenungkan berapa kira-kira usia batu ini. Apa saja yang diperbuat Gusti Allah pada batu ini sehingga bisa sebagus ini,’’ katanya, suatu saat.

Melihat pria dengan akik Junjung Drajat, imajinasi Wadud langsung berputar. Tampaknya pria penjual dompet dan ikat pinggang bekas itu berusaha menjunjung derajatnya sendiri. Dia rela berpanas-panas di pinggir jalan demi beroleh sesuap nasi. Atau setidaknya mendapat sedikit rasa hormat dari komunitasnya atas kehadirannya sebagai pria, sebagai manusia.

Setidaknya, teman sesamanya bisa memanggil nama pemberian orang tuanya. Bukan memanggil dengan nama cacatnya. Setidaknya, anak-anaknya terbebas dari perundungan (bullying) teman-temannya. Maklum, dia merasa kehadirannya di komunitas kurang ada artinya. Dia tak mampu memberi kontribusi secara fisik, sumbangan pemikiran, apalagi material. Kontribusinya paling berarti barangkali kala namanya didata untuk pemilu.

Motif Junjung Drajat banyak dicari orang karena keindahannya.Tak sedikit orang yang mengaitkan keindahan batu tersebut dengan berbagai mitos, bahkan mistis. Namun, dalam pandangan Wadud yang religius, Junjung Drajat bisa berarti pengabdian seluruh kehidupan mahluk kepada Gusti Allah. Garis warna-warni berbentuk ujung anak panah diartikan bahwa semuanya akan menuju ke Yang Maha Kuasa.

Apakah pemilik Junjung Drajat itu punya pandangan sama dengan Wadud, wallahu a’lam. Yang jelas, ternyata dia bijak. Dia tahu teman Wadud sangat membutuhkan uang. Ya, memang semua orang yang datang menjual barang ke jalan rombengan itu pasti butuh uang, hehehe... Apa saja bisa dijual disitu. Mulai barang elektronik, kompor, lemari, sampai baju dan celana. Dan, tanpa banyak nego, pria tersebut membeli akik Sisik Naga dengan harga di atas rata-rata.

Dia memang penggemar batu. Seperti pria lain, dia juga suka keindahan. Akik Sleman di jarinya itu juga dikenakan tanpa niat lain, kecuali karena indah. Tapi membeli Sisik Naga dengan harga cukup tinggi itu ternyata didasari rasa ingin menolong. 

Wadud, guru, dramawan, cerpenis, dan tentu suka puisi, memandang pria ce’kot itu sebagai guru kehidupan. Dia ikhlas menerima takdir ce’kot-nya dan tetap berusaha berbuat baik pada sesama.

Bukankah tak sedikit orang yang selalu merasa kekurangan meski Gusti Allah memberi bentuk tubuh sempurna? Pria ce’kot itu juga ikhlas menerima rezekinya. Siapa sih yang mau beli sabuk bekas? Ternyata ada juga. Gusti Allah telah mengatur segalanya, ada penjual pasti ada pembeli. Rezeki selalu ada.

Kelak jika pria itu telah renta, mungkin tak akan berjualan di pinggir jalan lagi. Mungkin tak ada pendapatan lagi. Tapi, dia yakin rezeki selalu ada. Mungkin anak-anaknya telah lulus sekolah, jadi tak memerlukan banyak biaya lagi. Bahkan, mungkin anaknya mampu bekerja lebih baik dari dia. Itu juga rezeki.

Hidup ini, di mata Wadud, bagaikan puisi. Sedih, gembira, suka, duka perlu dinikmati.  Itu juga berlaku bagi mahluk hidup yang lain. Karena itu, tiap subuh Wadud berucap salam kepada anak dan istrinya, juga pada jamur kuping yang tumbuh di sekitar rumahnya, kembang wuluh di depan rumahnya, dan ikan-ikan di kolam belakang rumahnya. Wassalam.*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda