COWASJP.COM – MENCERMATI sejarah bangsa ini, tentu sebagian dari kita akan merasa sedih. Setelah 80 tahun merdeka dari penjajahan asing, kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan para Founding Fathers sepertinya jauh panggang dari api. Karena kehidupan rakyat di lapisan bawah itu tetap tidak berubah. Berbanding terbalik dengan kehidupan segelintir anak bangsa yang berhasil meraih kesejahteraan yang lebih baik. Situasi yang menggambarkan jurang pemisah antara yang kaya dan miskin begitu menganga.
Pertanyaannya, bagaimana semua ini bisa terjadi ketika bangsa ini mewarisi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang melimpah? Tidak bisa dipungkiri, kita memiliki segalanya di darat dan lautan. Dengan segala bentuk kekayaan yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa lain di dunia. Di samping SDM yang tidak kalah berkualitas dalam jumlah besar. Semua ini merupakah salah satu syarat kita semua bisa sejahtera.
Sahabat saya, mantan Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Ind0nesia (IPHI) Ismed Hasan Putro (Alm), pernah mengungkapkan beberapa tahun silam. Katanya, siapa pun presidennya Indonesia akan tetap sulit berubah. Persoalannya bukan hanya karena begitu banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini dari waktu ke waktu. Tapi juga terkait kualitas maupun karakter para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Di era Orde Lama (1945-1965), kita dihadapkan pada benturan-benturan kepentingan politik sebagai bangsa yang baru merdeka. Sejumlah persoalan politik menjadi perintang besar bagi bangsa ini untuk segera melangkah maju. Di antaranya, Agresi Militer Belanda I (1947) dan II (1948), yang dilancarkan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Lalu, pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Muso pada 1948. Pemberontakan DI/TII (1949) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Karto Suwirjo dan yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh di Aceh (1953). Pergolakan PRRI/PERMESTA (1958-1961). Dan pemberontakan yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G 30 S PKI 1965).
Semua itu menggambarkan betapa peliknya kehidupan anak bangsa ini, meskipun sudah di alam merdeka. Tidak bisa dipungkiri bahwa di bawah rejim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama, kita meraih kemajuan setapak demi setapak. Pembangunan mulai berjalan dari satu titik ke titik yang lain. Gedung-gedung bertingkat mulai tumbuh bak cendawan di musim hujan. Jalan tol mulai bisa dinikmati sebagian kalangan. Bahkan kita sempat swasembada beras.
Sehingga Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru mendapatkan gelar sebagai “Bapak Pembangunan”. Persoalan pertahanan dan keamanan sangat terkendali. Bahkan penjahat kelas kakap sampai kelas teri berhasil dimusnahkan dengan kebijakan “Penembakan misterius” (Petrus).
Mikul Duwur Mendem Jero
Di era Soekarno rakyat terbelah, karena kedekatan Sang Pemimpin Revolusi itu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu menunjukkan ketidaktegasannya dalam menentukan pilihan: Apakah mendekat kepada rakyat (baca: Umat Islam) yang mayoritas dan anti-komunis atau kepada kaum komunis anti-agama? Sejarah membuktikan bahwa presiden terlalu memberi hati kepada PKI. Sehingga membuat PKI semakin percaya diri, semakin congkak, sehingga meletuslah G 30 S PKI. Yang melahirkan protes rakyat secara luar biasa.
Di era Soeharto, ketidaktegasan yang sama kembali terulang. Kali ini, dengan tidak menegakkan hukum secara tegas terhadap Soekarno. Yang oleh banyak pihak disebut terlibat dalam pemberontakan G 30 S PKI. Peristiwa tragis yang mengorbankan setidaknya 7 nyawa pahlawan revolusi.
Walaupun para Soekarnois menganggap Soeharto telah menghukum Soekarno dengan sangat kejam. Di antaranya, dengan menempatkannya sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso. Namun penegakan hukum yang tegas tidak dilakukan.
Soeharto berpegang pada falsafah Jawa: “Mikul duwur mendem jero”. Artinya "Mengangkat tinggi (kebaikan) dan mengubur dalam (aib/kekurangan)". Sebuah ajaran etika sosial yang menekankan pentingnya memuliakan kehormatan, martabat keluarga, orang tua, dan guru, sambil menyembunyikan aib serta kekurangan secara bijaksana agar tidak tersebar, demi menjaga harmoni sosial dan nama baik.
Era Reformasi
Kekuasaan 32 tahun Soeharto tumbang akibat pembangkangan massal, dengan dimulainya Gerakan Reformasi Mei 1998. Gerakan ini awalnya ditandai dengan krisis ekonomi parah (krismon). Lalu demo mahasiswa besar-besaran, yang mengakibatkan terjadinya Tragedi Trisakti, antara lain. Peristiwa yang menimbulkan kerusuhan massal, penjarahan, dan berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto.
Banyak yang beranggapan bahwa kejatuhan Soeharto telah melahirkan era demokrasi yang dinanti-nantikan. Padahal euforia reformasi itu hanyalah tempik sorak kemenangan semu para aktifis, yang seolah telah merebut kemenangan. Tapi sekali lagi, satu hal yang dilupakan: Hukum atas kesewenangwenangan Soeharto – termasuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta “abuse of power” – tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Alasan utamanya adalah kondisi kesehatan Soeharto yang memburuk (kerusakan otak permanen), serta adanya faktor politis dan hukum yang rumit.
Lalu seperempat abad setelah lahirnya gerakan reformasi, apakah ada perbaikan kehidupan bangsa secara politik, ekonomi dan hukum? Mantan Menkopolkam Prof. Dr. Mahfud MD mengatakan bahwa keadaan sekarang lebih parah. “Kalau keputusan kita menjatuhkan Soeharto karena dia KKN, apakah kita tidak berdosa kepada Soeharto, karena sekarang KKN-nya lebih parah?” katanya.
Dengan demikian, hampir dapat disimpulkan bahwa keadaan kita sekarang semakin rumit. Semakin pelik. Enam orang presiden setelah reformasi ternyata tidak membawa kita ke mana-mana. Terutama setelah 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebagaimana di era Soekarno, di era Jokowi anak bangsa ini juga terbelah. Sekurang-kurangnya antara cebong (istilah ejekan untuk pendukung Jokowi) dan kampret (istilah ejekan untuk pendukung Prabowo) pada pemilu 2014.
Ketika Prabowo gabung dengan pemerintahan Jokowi pasca pemilu 2019, kampret itu sejatinya sudah bubar. Karena banyak yang kecewa. Tapi cebong yang bermetamorfosis jadi “relawan Jokowi” itu masih eksis dan tetap dipelihara. Diberikan banyak fasilitas malahan. Mereka adalah hardliner pembela Jokowi. Ketika Jokowi tersudutkan dengan tudingan ijazah palsu, merekalah yang selalu tampil di depan sebagai pembelanya. Begitu juga ketika Gibran diwacanakan untuk dimakzulkan.
Dus, penegakan hukum terhadap Jokowi – termasuk dalam hal KKN, abuse of power, tudingan penggunaan ijazah palsu dan lain-lain – tampaknya juga terus terkendala seperti Soekarno dan Soeharto. Apalagi Jokowi dianggap memiliki kekuasaan yang besar dan kekuatan ekonomi yang tak tertandingi. Satu-satunya Presiden yang didukung para taipan 9 naga, para “ternak mulyono” (termul) di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta para penegak hukum. Termasuk para relawan yang bermuka tembok. Yang tanpa memiliki rasa malu membela kepentingan junjungannya dengan cara apa pun.
Sebuah negara yang tidak mampu menegakkan hukum secara adil, tidak akan pernah maju dan mensejahterakan rakyatnya.[*]