Hakim MK versus Hakim Bijaksana Frank Caprio

Foto: istimewa

COWASJP.COMCERITA klasik Abu Nawas begitu bijak ketika memutuskan suatu perkara atau permasalahan. Apakah di era medsos dan AI ada hakim bijaksana? Jawabnya ada. Yakni di Rhode Island, Amerika Serikat. Namanya Hakim  Frank Caprio. 

Anda bisa melihat bagaimana dia memutuskan perkara di pengadilan dengan bijak di halaman FB atau Youtube, Caught in Providence. Hakim Caprio memiliki 2,9 juta subscriber di Youtube, sedangkan halaman resminya di FB diikuti tak kurang dari 16 juta pengguna. Sayangnya, hakim bijak kelahiran 24 November 1936 yang dikenal dengan The Nicest Judge in The World ini baru saja meninggal dunia pada Agustus 2025.

 Di tayangan Youtube itu merekam keseharian almarhum Hakim Caprio melakukan sidang para terdakwa pidana ringan di Pengadilan Provinde, Rhode Island.  Menariknya,  Hakim Caprio dikenal sebagai hakim sangat bijak dan ramah di dunia. Dalam keputusannya, dia kerap menunjukkan belas kasih dan meringankan atau membatalkan denda setelah mendengarkan kisah pribadi terdakwa. 

Salah satu sesi sidang, seorang ibu imigran Arab disidang bersama putrinya usia 8 tahun karena melewatii batas kecepatan mengendarai mobil. Itu karena, dia keburu mengantar anaknya perempuan itu ke sekolah karena takut terlambat. Dalam sidang itu, si ibu tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Putrinya diminta hakim menerjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris. Si putri sangat lancar berbahasa Inggris karena dia kelahiran Amerika Serikat dan juga pendidikannya, Si ibu minta maaf kepada Hakim karena melampui batas kecepatannya.

Hakim Caprio tidak berani memutus kasus sebaliknya dia meminta  putri si ibu  maju ke meja hakim dan berdiri di sampingnya. ‘Saya tidak bisa memutuskan perkara ibu mu. Kamu saya minta berlaku sebagai saya putuskan kasus ibumu,” kata Hakim Caprio. Si anak hanya tersenyum-senyum saja mendengar perintah itu. Dia lantas memutuskan perkara ibunya. Lucunya bukannya membebaskan ibunya tapi dia menjatuhkan denda kepada ibunya sebesar USD 200. 

Si ibunya pun tersenyum dan menerima denda yang dijatuhkan oleh anaknya itu. Kasus ini pun selesai dengan happy ending.  

SK REHABILITASI BUKTI KEGAGALAN HAKIM

Di Indonesia, sepertinya belum ada hakim yang bijak dan ramah seperti Hakim Caprio. Sebagian besar para hakim hanya memutuskan by the book (memutus perkara hanya melanjutkan atau didasarkan tuntutan jaksa) dan jarang memutus perkara berdasarkan hati nurani, yakni out of the box  seperti yang dilakukan Hakim Caprio. Hakim di Indonesia seharusnya banyak belajar menggunakan hati nuraninya untuk memutuskan perkara. 

Terakhir ini, Presiden Prabowo empat kali lebih menerbitkan SK Rehabilitasi para terdakwa dugaan korupsi. Ini semua salah satu penyebabnya kegagalan hakim belum menggunakan hati nurani dalam memutuskan perkara. Seharusnnya juga para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa memutus dengan bijak terkait judicial review UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD 3. 

Saya sebenarnya geram dan sedih dengan penolakan judicial review UU MD 13 pada 27 November 2025 oleh hakim MK. Karena sekilas, para hakim MK tidak bisa membaca perkembangan zaman, yakni media sosial, robot, internet of thing, dan artificial intelligent yang begitu cepat.  

Melalui medsos masyarakat bisa mengkritisi kebijakan pemerintah secara langsung bahkan lebih cepat dari news online sendiri. Karena news online juga terdistorsi. Mereka butuh makan, diberi iklan, suara kritisnya pun hilang.  

Namun dengan perubahan cepat itu, paradigma atau cara pandang para penjabat termasuk wakil rakyat begitu juga hakim MK masih klasik. Salah satunya menolak judicial review UU MD 3. Para hakim MK bisa saja meloloskan judicial review bila  dasarnya UUD 1945 pasca amandemen, yakni Pasal 1 ayat (2) berbunyi yakni: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 

Selain itu, konsep bahwa Indonesia adalah “negara yang berkedaulatan rakyat” juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945 — yakni dalam bagian yang menyatakan cita-cita bahwa Indonesia berdasar atas “kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan”.

Kita sudah tahu sendiri bagaimana medsos bisa menggerakkan demo besar yang nyaris membakar gedung DPR RI pada 25 sampai 31 Agustus 2025, dan puluhan korban jiwa. Demo tanpa koordinator lapangan (korlap) hanya berupa komando via medsos. Perubahan ini yang tidak bisa diantisipasi wakil rakyat yang di DPR, rakyat merasa tidak terwakili termasuk juga para hakim MK. Think...berpikirlah. 

Jangan berfikir mengamankan kekayaan sendiri dan abai terhadap aspirasi rakyat. Judicial review UU MD 3 itu tujuannya di kemudian hari tidak terjadi demo besar dan memakan korban jiwa lagi. Semuanya untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik di era medsos dan AI --bukan kemudian demokrasi yang suara rakyat di-filter oleh partai politik sehingga timbul oligarki partai. Partai cenderung mengutamakan kesejahteraan pribadi dan golongannya --dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat banyak. 

Sebelum judicial review UU MD3 pada 11 November 2025, saya sudah membuatkan tulisan wacana soal recall oleh rakyat pada 17 September 2025, yakni “Saatnya Demokrasi Partisipatif di Indonesia. Link https://www.cowasjp.com/read/5821/20250916/052523/saatnya-demokrasi-partisipatif-di-indonesia/. 

Dalam tulisan ini, rakyat bisa melakukan recall atau mencopot wakilnya yang bermasalah di DPR tanpa melalui partai politik (parpol). Karena parpol diduga sumber masalah, ada masalah dikembalikan ke sumber masalah. Jeruk makan jeruk. 

Negara-negara yang sudah melakukan recall rakyat yakni Amerika Serikat.  Contoh recall oleh rakyat kali pertama diperkenalkan di Negara Bagian Oregon (1908) dalam kerangka Progressive Era reforms. Sampai sekarang, sekitar 19 negara bagian AS memiliki aturan recall. Contoh kasus terkenal: Gubernur California Gray Davis (2003) – di-recall oleh rakyat karena dianggap gagal mengatasi krisis energi dan ekonomi. Digantikan oleh Arnold Schwarzenegger. Michigan (2011–2012): Beberapa anggota dewan lokal di-recall karena kebijakan tidak populer dan tuduhan korupsi.

Di negara lain antara lain Swiss recall rakyat disebut Abberufungsrecht yakni menggunakan model demokrasi langsung dengan inisiatif rakyat, referendum, dan recall dalam berbagai tingkatan pemerintahan lokal dan kanton. Kanton adalah seperti provinsi di Indonesia tapi otonomi lebih luas. Hal ini menjamin bahwa keputusan politik tetap dalam kontrol rakyat, bukan elite partai.

Beberapa negara Amerika Latin yakni Venezuela (konstitusi 1999) – memberi hak recall untuk pejabat publik, termasuk presiden. Warga bisa mengajukan recall terhadap pejabat terpilih (termasuk Presiden) bila sudah menjabat setengah periode. Syarat: pengajuan didukung oleh 20% pemilih terdaftar. Bolivia (2008) – referendum recall pernah digunakan terhadap presiden dan gubernur. untuk menguji mandat Presiden Evo Morales dan gubernur daerah. Mekanisme hampir sama dengan Venezuela: rakyat mengajukan petisi, kemudian referendum diadakan.

Dalam tulisan itu saya menulis bagaimana implementasi recall rakyat di Indonesia? Kali pertama Amandemen UU MD3 (UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang saat ini hanya memberi kewenangan recall kepada partai politik. Penambahan pasal tentang hak recall rakyat (citizen recall) sebagai bagian dari demokrasi langsung. Kedua, Integrasi dengan UU Pemilu agar mekanisme recall jelas diatur oleh KPU dan diawasi oleh Bawaslu.

Sekali lagi judicial review UU MD 3 bertujuan agar aspirasi rakyat betul-betul terakomodasi ke wakilnya. Karena faktanya saat ini aspirasi rakyat dipangkas dan dijadikan aspirasi hanya seorang ketua partai. Ketua partai berubah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh. Mereka lupa siapa yang menjadikannya berkuasa. Itu semua suara rakyat dalam Pemilu.   

“Kami ini hanya korea-korea. Yang berhak adalah ketua partai,” kata mantan anggota FPDI DPR RI Bambang Pacul. Fakta yang sebenarnya wakil rakyat masih mementingkan perutnya sendiri dan golongannya.

Apa buktinya wakil rakyat mementingkan dirinya sendiri?  

1.Korupsi semakin menggila di era reformasi. Prof. Mahfud MD mengatakan era Orde Baru hanya satu partai yang lakukan korupsi atau KKN. Tapi pasca reformasi KKN semakin massif  minimal 10 partai kadernya korupsi. Yang korupsi si enak ketika menjalani hukuman masih punya hak politik. Yang tidak enak dan tidak sejahtera adalah rakyat. Pelayanan BPJS semakin tahun semakin turun pelayananan. Bukannya ditambah fasilitas berobatnya tapi semakin dikurangi. DPR tidak bisa memutus lingkaran setan korupsi.

2. RUU Perampasan Aset Koruptor masih tersandera di DPR RI. Entah partai mana yang getol menahan disahkan RUU tersebut. Bila korupsi semakin menggila rakyat tambah sengsara. Yang terbaru Bandara Private Morowali, perampokan aset tambang nikel dirampok besar-besaran di depan mata kita. Jelas dan nyata. Perampokan yang difasilitasi “negara” atas nama investasi asing.  Jangan sampai Morowali dikuasai seperti Freeport. Pemilik bumi hanya menikmati gerimincing dollar dan negara asing penikmat dollar sesungguhnya.  

Sampai kapan rakyat sejahtera bila kekayaan alam ini hanya untuk perkaya diri dan golongan?  Prof. Mahmud MD pernah mengatakan bila kekayaan alam tidak bocor, rakyat bisa sejahtera betulan karena negara bisa lakukan BLT sekian puluh ribu per bulan. Namun, faktanya kekayaan alam dibagi-bagi hanya untuk golongan oleh penguasa rezim lalu yang terbaru untuk organisasi keagamaan. 

Semula satgas organisasi keagamaan biasanya naik motor atau mobil butut kini berubah mengendarai Fortuner VZR terbaru. Ini fenomena terbaru di Indonesia. Cara ini efektif meredam protes secara moderat. Tapi tidak semua rakyat yang sejahtera hanya golongan. Buktinya kualitas pelayanan BPJS semakin turun.  

3. Tidak ada RUU yang membatasi masa jabatan atau sebagai anggota wakil rakyat maksimal dua periode. Jadi wakil rakyat sampai mati atau seumur hidup. Ini pembodohan luar biasa.  Mana ada RUU masa jabatan wakil rakyat maksimal dua periode? Presiden dan pejabat public (Komisioner) dibatasi dua periode, mengapa anggota wakil rakyat tidak ada masa batasan. Negara ini seperti diatur “mafia” yang namanya partai politik. Itu karena prinsipnya wakil rakyat yang dari parpol tidak bisa memutuskan RUU yang merugikan posisinya. Ini jelas tidak fair Pak Hakim MK. Apalagi melakukan referendum UUD 1945 yang menambahi pasal 22E UUD 1945 dengan frasa“dan rakyat berhak mengajukan mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui petisi di daerah pemilihannya”.  Mission Impossible. 

Faham tentang kondisi Indonesia saat ini?  Mengapa ini ada pembiaran? Mengapa Anda, para hakim MK tidak menerima judicial review UU MD3? Atau Anda tidak berani melakukannya karena seleksi hakim MK harus melalui fit and protest wakil rakyat. Ini lingkaran setan. Saya tidak setuju pemilihan akhir atau fit and proper test seleksi pejabat publik dilakukan oleh wakil rakyat. Karena ini masuk ke lingkatan setan lagi. Saya jamin Anda calon pejabat publik meski pintarnya menjebol langit bila tidak ada surat rekomendasi parpol atau organisasi underbow parpol dipastikan Anda tidak terpilih. Anda dianggap tidak bernilai. 

Sebaliknya, calon goblok pun bisa terpilih karena ada surat rekomendasi dari parpol atau underbownya.  Ini salah satu sebab korupsi Indonesia tidak akan berakhir.

Jadi para hakim MK membatalkan judicial review UU MD 3  karena terganjal  Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal ini sudah  mengatur bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Sehingga konsekuensi logis dari diterapkannya mekanisme recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik sebagai wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan.

MASIH ADA CELAH

Apa masih ada celah judicial review yang fokusnya recall oleh rakyat? Secara teori, masih ada celah untuk kembali mengajukan judicial review, tapi  syaratnya sangat ketat. Putusan MK memang bersifat final dan mengikat, tetapi itu tidak membuat isu yang sama tertutup selamanya. Masih ada dua jalur hukum yang memungkinkan suatu perkara diajukan kembali dalam bentuk baru.

Celah pertama: Pengajuan  judicial review dengan objek atau argumentasi konstitusional yang berbeda. MK hanya melarang permohonan yang identik secara materi dan argumentasi. Karena itu, jika objek pasal yang diuji berbeda, atau pasal yang sama diuji dengan landasan konstitusional yang belum pernah dipertimbangkan sebelumnya, MK tetap dapat memeriksa permohonan tersebut. 

Dalam konteks ini, pemohon dapat mengalihkan fokus dari Pasal 239 ayat (2) huruf d dan menguji keseluruhan struktur akuntabilitas DPR dengan menyoroti pasal-pasal lain dalam UU MD3, termasuk yang mengatur fungsi representasi, mekanisme etik, pemberhentian anggota, dan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh wakil yang akuntabel. 

Argumen baru dapat dibangun di atas dasar Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 28D tentang kepastian hukum yang adil, Pasal 28F mengenai hak atas informasi, serta prinsip checks and balances. Dengan pendekatan demikian, perkara tersebut tidak lagi dianggap sebagai duplikasi dari permohonan para mahasiswa sebelumnya.

Celah kedua: Melalui  uji formil, yaitu pengujian terhadap prosedur pembentukan UU, bukan substansinya. Uji ini dapat dilakukan ketika terdapat bukti bahwa proses legislasi UU MD3 tidak memenuhi asas keterbukaan, tidak melibatkan partisipasi publik, tidak memenuhi syarat quorum, menyisipkan substansi tertentu tanpa pembahasan yang sah, atau melanggar ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena objek dan dasar keberatannya berbeda dari uji materi, uji formil tetap dapat diajukan meskipun pengujian materiil pernah ditolak.

Selain itu, MK dapat kembali menerima permohonan apabila terdapat kerugian konstitusional baru yang belum pernah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya. Kondisi ini dapat terjadi apabila muncul kasus konkret yang menunjukkan bahwa Majelis Kehormatan Dewan gagal melindungi kepentingan rakyat, terdapat kegagalan mekanisme etik DPR yang merugikan hak konstitusional warga negara, atau terdapat perkembangan baru yang menimbulkan kebutuhan untuk menafsirkan ulang konstitusi, misalnya apabila putusan sebelumnya justru menimbulkan kekosongan hukum.

AMANDEMEN  UU MD3 dan UUD 1945

Bila semua jalur di MK tertutup, perubahan masih dapat ditempuh melalui legislative review. DPR dan pemerintah dapat mengamandemen UU MD3, dan rakyat dapat mendorong proses tersebut melalui petisi, penyampaian policy paper, penggunaan kanal partisipasi digital DPR, maupun mendorong fraksi-fraksi untuk mengusulkan perubahan undang-undang. 

Alternatif lainnya adalah amandemen terbatas UUD 1945 oleh MPR. Meski jalur ini jauh lebih berat, secara teoritis tetap terbuka apabila tuntutan publik terhadap akuntabilitas wakil rakyat mencapai tingkat yang signifikan.

Amandemen UUD 1946 terbatas pada Pasal 22E ayat (3) berbunyi: Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selama ketentuan ini tidak berubah maka rakyat hanya memilih individu yang diajukan partai, partai tetap menjadi pemegang hak penuh atas pencalonan, sehingga rakyat tidak punya basis konstitusional untuk menarik wakilnya (recall). Opsi amandemen  yakni menambahkan frasa “dan rakyat berhak mengajukan mekanisme pemberhentian anggota DPR. Ini tidak menghapus peran parpol, hanya menambah mekanisme akuntabilitas langsung.(*) 

*Penulis adalah Sertifikasi Wartawan Utama

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda