COWASJP.COM – Salat Jumat di Masjid al-Ikhlas di kompleks Kodamar, Kelapa Gading Barat, Jakarta, kemarin berlangsung singkat. Durasi dua kotbah tidak lebih dari tujuh menit. Lima menit untuk khotbah pertama. Dua menit untuk khotbah kedua. Khotbah cepat di masjid ini, jarang terjadi.
Tiba di rumah, adik ipar saya juga baru tiba. Ia Jumatan di Masjid al-Barkah yang lokasinya dekat rumah. Sekitar 500 meter. Tumben Jumatan di al-Barkah juga berlangsung singkat. Padahal masjid ini terkenal dengan khotbah Jumatnya yang panjang. Lebih dari 20 menit.
Entah kebetulan atau tidak: Salat Jumat di aula SMAN 72 Kelapa Gading juga berlangsung singkat. Dua ledakan terjadi saat khatib tengah menyampaikan khotbah. Sebanyak 54 orang terluka. Termasuk terduga pelakunya: siswa kelas XII sekolah tersebut.
Kabar ledakan di aula SMAN 72 itu saya peroleh dari adik saya yang tinggal di Grobogan, Jawa Tengah. Peristiwa itu ia baca dari sebuah portal berita. Screen shoot berita itu dikirimkannya kepada saya melalui aplikasi Whatsapp. Saat itu, korban luka diberitakan baru sebanyak 3 orang. Sumber ledakan diperkirakan sound system yang terbakar.
Bergegas saya ke SMAN 72. Namun dalam radius 100 meter menuju sekolah itu, jalanan sudah diblokir. Di depan sekolah terlihat banyak mobil ambulans diparkir. Banyak pula aparat kepolisian yang berjaga-jaga. Begitu pun prajurit TNI AL. Melihat ketatnya penjagaan, saya menduga peristiwanya lebih serius dari berita yang dikirim adik saya dari Grobogan.
Ternyata benar. Korban luka dalam peristiwa itu mencapai 54 orang. Data itu diperoleh dari dua rumah sakit: RS Islam Yarsi dan RS Islam Cempaka Putih, yang merawat para korban. Sebagian besar luka ringan dan diperkenankan pulang.
Waktu beranjak petang. Saya berangkat ke Hotel Shangri-La di Jakarta Pusat, dengan tergesa-gesa. ''Acara seminar sudah selesai. Peralatan multimedia sudah bisa dibongkar,'' kata panita melalui Whatsapp.
Saya lihat jam: masih pukul 16:30. Seharusnya peralatan itu dibongkar pukul 18:00. Karena itu, saya santai-santai saja sambil ''nonton'' suasana SMAN 72 pasca ledakan. Walau dari kejauhan.
Sudah tiga hari Jagaters Studio menyediakan peralatan multimedia untuk mendukung penyelenggaraan seminar internasional yang digelar oraganisasi para dokter ahli kardiologi di Hotel Shangri-La. Organisasi ini memang pelanggan lama. Sejak awal pandemi COVID-19 melanda. Awal 2020 yang lalu. Jagaters Studio melayani tiga hingga empat kegiatan dalam setahun: Peralatan audio, video, conference, dokumentasi, presentasi. Apa pun yang diperlukan.
Sekitar pukul 21:00 saya tiba kembali di rumah. Saya hidupkan pesawat TV. Semua stasiun TV berita menayangkan peristiwa ledakan di SMAN 72 itu. Saya pilih nonton Indosiar yang menyiarkan langsung pertandingan Super League antara Persebaya Surabaya melawan Persik Kediri.
Sembari menonton pertandingan yang berakhir dengan kor 1-1, berseliweran kabar di Whatsapp yang berasal dari berbagai sumber. ''Terduga pelakunya, dulu tetangga kita,'' kata informasi warga.
Tetangga kita? Siapa? Tanya saya dalam hati. Rupanya yang dimaksud pelaku itu adalah si ''F'' yang pernah tinggal satu RT dengan saya. Namun sejak lima tahun lalu, ia mengikuti orang tuanya pindah ke perumahan lain.
''Ia korban bullying,'' lanjut informasi warga.
Informasi bahwa ''pelaku merupakan korban perundungan'' menurut saya sangat menarik. Sebab, perundungan yang terjadi terus-menerus ternyata bisa membuat seseorang melakukan aksi yang nekat dan di luar dugaan.
Apakah fenomena itu bisa dibenarkan menurut pendekatan ilmu pengetahuan modern? Karena belum ada ahli yang mengulas, saya kemudian bertanya kepada ChatGPT. ''Dari pendekatan ilmu pengetahuan modern, terutama psikologi klinis dan neuropsikologi sosial, seseorang yang menjadi korban perundungan (bullying) terus-menerus bisa melakukan tindakan ekstrem seperti ledakan amarah atau kekerasan karena beberapa sebab,'' jawab ChatGPT,
1. Trauma akibat kekerasan psikologis (Chronic Psychological Trauma)
Korban perundungan yang mengalami tekanan terus-menerus sering menunjukkan gejala mirip trauma kompleks (Complex PTSD).
Gejalanya:
- Perasaan rendah diri ekstrem,
- Marah terpendam yang menumpuk,
- Mati rasa emosional,
- Kehilangan empati,
- Sulit membedakan antara ancaman nyata dan bayangan masa lalu.
Ketika tekanan ini berlangsung lama tanpa dukungan psikologis, mekanisme pertahanan diri (coping mechanism) bisa berubah menjadi reaksi destruktif atau agresif — semacam “letupan balik” setelah lama ditekan.
2. Fenomena “Reactive Aggression” atau revenge impulse
Dalam ilmu neuropsikologi, kondisi ini dikenal sebagai reaksi agresi reaktif, yaitu tindakan kekerasan yang muncul akibat akumulasi frustrasi dan rasa diperlakukan tidak adil. Bagian otak yang paling berperan adalah amygdala (pusat emosi) yang menjadi hiperaktif, sementara prefrontal cortex (pusat pengendalian diri) menjadi lemah karena stres kronis. Hasilnya: seseorang mudah meledak dan kehilangan kemampuan menilai akibat tindakannya.
3. Fenomena “Learned Helplessness” (ketidakberdayaan yang dipelajari)
Konsep ini berasal dari psikolog Martin Seligman. Korban perundungan yang berkali-kali gagal membela diri atau mencari pertolongan akan merasa tidak berdaya — seolah hidupnya dikendalikan orang lain. Namun, pada titik tertentu, rasa tidak berdaya ini bisa berbalik menjadi “learned aggression”, yakni bentuk pembalasan untuk mengambil kembali kendali hidupnya dengan cara ekstrem.
4. Dissociative Rage atau Amarah Disosiatif
Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan ekstrem setelah trauma perundungan mengalami keterputusan kesadaran (dissociation) — semacam “putus koneksi” antara pikiran rasional dan tindakan. Pada momen itu, individu bisa melakukan kekerasan tanpa sepenuhnya sadar atas akibatnya. Ini bukan berarti pembenaran, tapi reaksi psikologis ekstrem terhadap rasa terhina dan tertindas.
5. Bullying dan “revenge fantasy” (fantasi balas dendam)
Dalam studi psikologi sosial, banyak kasus menunjukkan bahwa korban perundungan sering mengembangkan fantasi balas dendam sebagai mekanisme pelarian. Jika tidak diarahkan atau ditangani dengan terapi empati, fantasi itu bisa berubah menjadi niat nyata untuk melukai orang lain.
Penyelidikan atas peristiwa itu masih dilakukan aparat berwajib. Namun seusai jogging pagi tadi, suasana lingkungan SMAN 72 sudah kembali normal. Pedagang kue di dekat sekolah tersebut sudah kembali membuka lapak. Jalanan juga sudah tidak diblokir. Tetapi sejumlah petugas keamanan masih berjaga di depan gerbang sekolah. Mobil liputan dan kru Kompas TV masih stand by.
Di warung soto ayam langganan, emak-emak sibuk berdiskusi tentang isu perundungan di balik peristiwa itu. Mereka mendesak pemerintah agar serius menangani kasus perundungan di sekolah karena bisa menimbulkan dampak yang tak pernah terbayangkan. Saya setuju. (*)