COWASJP.COM – Sore tadi. Tepat di hari kemerdekaan negeri ini. 17 Agustus 2025. Saya menerima kabar duka: Djoko Pitono wafat.
Saya termenung. Lama.
Nama itu terlalu dekat dengan saya. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak ilmu yang saya terima darinya.
Mas Djoko, begitu saja akrab memanggil Djoko Pitono, bukan sekadar jurnalis senior. Ia adalah guru menulis saya.
Tapi almarhum tidak pernah menggurui. Tidak pernah menasihati dengan kalimat panjang. Tapi perilaku sehari-harinya, tutur katanya, dan caranya memperlakukan orang lain, itulah yang membekas.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (1): Puasa Meredefinisi Keseimbangan Kehidupan
Ia selalu lembut. Nyaris tidak pernah saya mendengar ia meninggikan suara. Bahkan ketika suasana sedang panas dalam ruangan diskusi sekali pun.
Di kalangan jurnalis, ia terkenal santun. Santun yang bukan dibuat-buat. Itu bawaan lahir. Itulah mengapa ia bisa akrab dengan siapa saja: pejabat, aktivis, mahasiswa, atau wartawan yunior yang baru pertama kali menjejakkan kaki ke dunia jurnalistik. Semua diperlakukan sama.
Saya masih ingat. Tahun-tahun awal saya jadi wartawan. Masih canggung. Masih sering salah. Di ruang redaksi, senior yang lain kadang menegur dengan keras. Tapi Djoko berbeda. Ia menepuk bahu saya, lalu berbisik: “Salah itu biasa. Yang penting jangan salah dua kali.”
Kalimat itu sederhana. Tapi membekas. Hingga kini.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (2): Melaut di Samudera Kesunyian Ramadan
Buku-buku yang ditulisnya, ah, itu bab lain. Ia tidak sekadar wartawan. Ia penulis sejati. Kalimatnya jernih. Ceritanya mengalir. Membaca tulisannya seperti mendengar ia bercakap. Hangat. Bersahaja.
Saya sering iri. Karena ia bisa menulis dengan begitu tenang. Tanpa letupan-letupan emosi. Padahal isi tulisannya dalam. Menggali. Kadang menyentuh nurani.
Sebagai sahabat, ia nyaris sempurna. Ia pandai mendengar. Jarang sekali bicara panjang. Kalau pun bicara, pasti menyejukkan.
Sebagai senior, ia ngayomi. Tidak ada jarak. Anak-anak muda penulis dan jurnalis seangkatan saya sering numpang curhat kepadanya. Tentang tugas liputan, tentang hidup pribadi, bahkan tentang pacar. Ia mendengarkan, sambil tersenyum. Lalu memberi nasihat pendek. Ringan. Tapi mengena.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (11): Menanam Koding Ramadan dalam Jiwa
Saya kira, di situlah letak kebesarannya.
Orang sering mengira kebesaran itu harus ditunjukkan dengan jabatan, dengan kekuasaan, atau dengan harta. Namun, sosok Djoko Pitono menunjukkan kebesaran dengan kesederhanaan. Dengan rendah hati. Dengan kesediaan menempatkan diri tidak lebih tinggi dari siapa pun.
Kini, ia sudah pergi.
Sore tadi, di tanggal yang sangat simbolik: hari kemerdekaan. Seolah-olah ia memilih pamit pada hari bangsa ini merayakan kebebasan.
Bagi saya pribadi, kehilangan ini dalam sekali. Seperti hilang satu tiang penyangga. Saya sering mengandalkan ia untuk sekadar menimbang-nimbang keputusan. Bukan untuk minta persetujuan, tapi untuk mendengar suara tenangnya. Kini, suara itu sudah tidak ada lagi.
Saya percaya, banyak wartawan yunior yang merasakan kehilangan serupa. Karena Mas Djoko adalah tempat mereka berteduh.
*
Kematian memang mengajarkan kita bahwa semua kata, pujian, penghormatan, sering datang terlambat. Saya menulis ini dengan hati berat. Ingin sekali saya mengucapkannya langsung ke beliau, saat masih bisa mendengar.
Tapi Mas Djoko pasti akan menolak dipuji. Ia akan tersenyum, lalu berkata pelan: “Sudah, jangan lebay.”
Begitulah dia. Selalu merendah.
Selamat jalan, sahabat senior ku.
Selamat jalan, guruku yang diam-diam.
Jurnalisme kehilangan seorang penulis yang santun. Kehidupan kehilangan seorang manusia yang luhur.
Tapi kenangan akan tetap tinggal.
Dan dari kenangan itulah, saya belajar lagi: menjadi jurnalis itu bukan sekadar menulis berita. Tapi juga menjaga hati. Menjaga bahasa. Menjaga cara kita memperlakukan orang lain.
Itulah warisan Mas Djoko Pitono pada yunior-yuniornya.
Warisan yang tidak bisa ditulis di kertas. Tapi bisa terasa di jiwa siapa saja yang pernah mengenalnya. (*)