Jawa Pos Sudah Jas Merah

Keturunan Tionghoa yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. (FOTO: Istimewa - IDN Times)

COWASJP.COM – Tidak lama saya bekerja untuk Jawa Pos. Hanya lima tahun. Tepatnya dari 1 Februari 1995 hingga surat pengunduran diri saya pada 11 Januari 2001. Jabatan terakhir saya Redaktur. Dan sejak itulah saya tak pernah lagi mampir ke kantor Jawa Pos. Ketika itu, saya beberapa kali sudah berpindah tempat kerja. 

Pada Agustus 2013, Partai Demokrat menggelar Konvensi Partai untuk menentukan siapa yang akan diusung oleh partai pemenang Pemilu 2009 itu dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2014. Ketika itu saya tengah bekerja di Harian Jurnal Nasional, surat kabar yang dianggap publik sebagai corong partai Demokrat. Dan muncul sebelas nama peserta konvensi, salah satunya bernama Dahlan Iskan.

Ingatan saya seketika flash back, melayang ke masa lalu, saat masih bekerja di Jawa Pos. Saat saya baru saja memulai karier jurnalistik. Bahkan baru belajar meliput dan menulis berita. Sebelum di Jawa Pos, saya sudah bekerja di sebuah perusahaan non media, di Surabaya. Saya termasuk pembaca setia Jawa Pos sejak zaman mahasiswa. Maklumlah, pemilik rumah kost saat itu berlangganan koran terbitan Surabaya itu. Dia memang asal Surabaya. 

BACA JUGA: Dahlan Iskan, Manifesto Kopi Oey​

Dari situlah saya kenal nama Dahlan Iskan. Dan ketika bekerja di Surabaya, kantor konsultan tata ruang tempat saya bekerja berlangganan beberapa koran : Surabaya Post, Jawa Pos dan Harian Surya. Sampai suatu hari, saya melihat ada iklan lowongan kerja untuk menjadi wartawan di Jawa Pos. Saya berfikir tak ada salahnya mencoba peluang ini. Dan begitulah. Pada 1 Februari 1995 saya mulai bekerja untuk Pak Bos, panggilan akrab Dahlan Iskan.

Saya jarang bertemu dengan dia. Jabatan Pak Bos  memang masih Pemimpin Redaksi, tetapi sehari-hari yang memimpin Jawa Pos adalah HM Siradj dan Solihin Hidayat. Kedua wartawan senior ini menjabat Wakil Pemimpin Redaksi. Tiga Redaktur Pelaksana yaitu : Dhimam Abror, Ali Murtadho dan Alfian Mudjani di lapis kepemimpinan berikutnya. Selebihnya adalah jajaran redaktur, wartawan, editor Bahasa, sekretariat redaksi. Ada 400 an karyawan bekerja di sana.

Di luar dugaan, saya mulai menyukai dunia kewartawanan. Senang rasanya setiap hari bisa menemukan hal-hal yang baru. Juga bertemu orang baru. Meski sibuk, pak Bos sesekali masih menyambangi ruang redaksi. Suatu malam, dia mampir ke ruang redaksi dan kami anak-anak baru diajaknya nangkring di sebuah warung kecil tak jauh dari kantor. Kesan saya ketika itu, pak Bos ini orang yang tak berjarak dengan bawahan. Meskipun menyangkut soal pekerjaan, tuntutannya tinggi. 

BACA JUGA: Persamuhan Kopi Oey 2025​

Ya, tuntutannya tinggi. Pernah suatu ketika menjelang perayaan 17 Agustus, dia menugaskan agar kru di halaman kota Surabaya mencari tulisan features yang bagus. Waktu itu sayalah yang ditugaskan redaktur mencari bahan tulisan yang dimaksud. Saya ingat, saat liputan di lapangan sempat berkenalan dengan seorang pedagang beras di Pasar Turi. Usianya sudah uzur, tetapi sempat bercerita soal zaman mudanya waktu Surabaya jadi lautan api.

Sayapun mencarinya lagi. Dia keturunan Tionghoa. Rupanya waktu 10 November 1945, dia sering menyuplai beras untuk para pejuang yang sedang bertempur di medan juang. Dengan diam-diam tentu saja, takut ketahuan Belanda. Cerita itulah yang kemudian saya tulis. Dan kemudian disetujui oleh redaktur saya, kemudian dimuat di halaman kota. Konon, katanya, tulisan itu dapat pujian dari Pak Bos. Wah, senang juga saya dengarnya. 

Saya belajar menulis features dari wartawan yang sejak saya masih sekolah sudah sering saya baca tulisannya. Djono W Oesman, begitulah namanya ditulis. Nada tulisannya jenaka. Mengalir dan asyik diikuti. Konon, dia bekerja untuk Jawa Pos sejak tahun 1984. Wah, tahun segitu saya baru saja lulus SMP. Dan saat itu DWO, begitu kode namanya di Jawa Pos bekerja di Biro Jakarta. Tak terbayangkan sama sekali kalau akhirnya saya jadi rekan kerjanya.

Kenapa demikian? Desember 1995, keluar perintah dari pak Bos. Saya “diusir” dari Karah Agung, tempat awak Jawa Pos berkantor saat itu di Surabaya. Ya, saya diminta memperkuat armada Jawa Pos Jakarta. Jengkel benar saya dapat perintah itu. Sejak lulus kuliah, saya tidak pernah berminat atau bercita-cita untuk hidup dan bekerja di Jakarta. Saya senang tinggal di Surabaya. Jaringan pertemanan saya juga sudah luas. Saya juga aktif di Kagama Jawa Timur.

Tetapi perintah tetap perintah. Kalau masih mau bekerja untuk Jawa Pos, maka ya saya harus pindah ke Jakarta. Dahlan Iskan lah orang yang menyebabkan saya mesti hidup dan pindah ke Jakarta. Saya jengkel bukannya apa-apa. Saya sudah beristri. Kami belum mempunyai anak, tetapi istri saya sedang hamil buah hari pertama kami. Dan kami sedang berencana ingin membesarkan anak di Surabaya. Kami bahkan baru saja diskusi mau nyicil beli rumah. 

Jadi dengan sedikit enggan, saya pun berangkat ke Jakarta. Jadi wartawan Republik Indonesia, istilahnya Dwo. Kan Jakarta ibukota Republik Indonesia, jadi siapapun yang jadi wartawan di Jakarta tentu saja jadi wartawan nasional alias wartawan Republik Indonesia. Mesti siap meliput ke empat penjuru mata angin, dan meliput apa saja. Sesuai penugasan. Tidak boleh menolak. Dan beritanya harus berita nomor satu. 

Sayangnya, setelah pindah ke Jakarta, dinamika kantor membuat saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia jurnalistik yang saya cintai. Lima tahun kemudian saya mundur dari Jawa Pos. Pamitan baik-baik, dan pindah ke suasana kantor yang baru lagi. Meski demikian saya berterima kasih. Kemampuan menulis saya meningkat tajam. Dan sayapun memutuskan untuk melanjutkan kuliah S-2 saya. Ilmu Komunikasi jadi pilihan saya.

Selama enam tahun masuk ke lingkungan Hubungan Masyarakat (Humas) korporasi, tampaknya tidak membuat saya lupa dunia jurnalistik. Satu tawaran datang pada 2006 dari senior saya di almamater, Hamid Dipopramono. Insinyur Sipil ini adalah pendiri Majalah mahasiswa UGM, Balairung. Dialah yang mengajak saya masuk ke media yang dibentuk oleh para pendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama medianya Jurnal Nasional.

Yang tidak saya sangka-sangka adalah dua orang yang dulu juga pernah bekerja untuk Jawa Pos ikut serta di media tersebut, yaitu Edhy Aruman dan Ramadhan Pohan. Memang dunia itu sempit. Meski sudah lama tak mampir ke Jawa Pos, pada akhirnya tetap juga bekerjasama dengan orang dari kawah candradimuka yang sama. Kawah yang diasuh, dikelola dan dipimpin oleh orang yang sama, Dahlan Iskan. 

Dan kembali ke 2013, sewaktu nama pak Bos muncul dalam jajaran peserta konvensi calon Presiden, mendadak saya punya feeling bahwa dialah yang akan jadi pemenangnya. Firasat ini sempat saya kemukakan di Rapat Redaksi Jurnal Nasional. Saya diketawakan. Dahlan memang Menteri BUMN, tetapi dia bukan “orang dalam” Partai Demokrat seperti Jenderal Pramono Edhie Wibowo, atau pengusaha sekelas Gita Wirjawan. 

Dahlan juga bukan tokoh populis seperti Anies Baswedan, adik kelas saya di UGM yang ketika itu menjadi Rektor Universitas Paramadina, atau Jenderal Endriarto Sutarto yang saat itu menjabat Panglima TNI. Tetapi saya bilang, mari kita buktikan sama-sama. Keyakinan saya bahwa Dahlan yang akan memenangkan konvensi terbukti benar. Pada tanggal 16 Mei 2014, Partai Demokrat mengumumkan bahwa konvensi dimenangkan oleh Pak Bos.

 

Sayangnya, Pak Bos tak jadi diusung oleh Partai Demokrat. Alasan formalnya karena partai ini gagal memperoleh cukup suara untuk dapat mengusung calon sendiri. Minimal 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara rakyat. Saya kecewa. Begitu juga para pendukung pak Bos lainnya dari Sabang sampai Merauke. Kalau mau kan Partai Demokrat bisa mengajak partai lain mengusung Pak Bos. Pasti ada alasan lain.

Sudahlah. Momen itu sudah berlalu. Saya tertawa saja ketika akhirnya Partai Demokrat malah mendukung Prabowo Subianto. Calon Presidennya hanya dua, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Joko Widodo, bekas walikota Solo itu baru saja mempecundangi calon Gubernur dari Partai Demokrat Fauzi Bowo pada pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Popularitasnya sangat tinggi. Dan itulah penyebab dia berhasil menang pada Pilpres 2014. 

Cerita selanjutnya semua sudah tahu. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Selepas menjabat dua periode sebagai Presiden, kini nasib Jokowi terpuruk. Di sisi lain, pak Bos juga kehilangan kendali atas kerajaan media  yang pernah dibesarkannya, Jawa Pos. Heran saja. Kok pesan Bung Karno dilupakan. Pesan beliau : “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”. Disingkat Jas Merah. Menjadikan Dahlan Iskan sebagai tersangka adalah penanda durhaka. Jawa Pos sudah Pakai Jas Merah.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda