Betapa Pengecutnya Donald Trump

Media Iran memajang foto Donald Trump yang seolah membiarkan bendera AS terbakar. (FOTO: @IraninArabic/Telegram)

COWASJP.COMLEMPAR BATU sembunyi tangan. Apakah pameo ini cocok diberikan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump? Setelah menyerang tiga lokasi pusat pengembangan nuklir Iran, lalu buru-buru mengatakan pihaknya tidak ingin berperang dengan negeri para mullah itu. 

Perintahnya hanyalah untuk memastikan proyek persenjataan nuklir Iran lumpuh. Bukan untuk ikut campur dalam peperangan antara Iran dan Israel. 

Lantas, orang langsung percaya? Tentu saja tidak. 

Sebenarnya sudah bukan rahasia lagi bahwa AS sangat bernafsu menyerang Iran, setelah negeri itu gencar melancarkan serangan terhadap sekutu dekatnya, Israel. Yang meluluhlantakkan sejumlah lokasi strategis di Tel Aviv dan beberapa tempat lainnya. 

Trump sempat mengultimatum. Agar Teheran menghentikan serangannya tanpa syarat. Dan Trump juga menyatakan memberi waktu dua minggu untuk menyerang. Bila Iran tidak berhenti menyerang Israel.

 Tapi dalam tempo dua hari, ia memerintahkan serangan terhadap tiga situs pengembangan nuklir Iran di  Natans, Fordow dan Isfahan, Sabtu (21/25). 

Lucunya, tidak sampai 24 Jam, yaitu hari Minggu pagi waktu setempat melalui Wakil Presidennya, JD Vance, Trump membantah bahwa serangan itu sebagai tindakan perang melawan Iran. 

"Kami tidak berperang dengan Iran. Kami berperang dengan program nuklir Iran," kata Vance dilansir CNN, Minggu (22/6/2025).

Penolakan Publik Amerika

Beberapa kebijakan Trump menyebabkan kian menurunnya kepercayaan publik Amerika terhadap pemerintahannya. Terutama dari kalangan politisi Partai Demokrat. Disebutkan bahwa 88% dari kalangan politisi Partai Demokrat tidak setuju dengan keputusan Trump melancarkan serangan terhadap Iran.

Sementara itu ketidakpercayaan juga datang dari kalangan generasi muda. Yang berusia di bawah 35 tahun. Menurut hasil survey yang ada, Jumlahnya sekitar 68%. Lebih besar dari kelompok masyarakat yang lebih tua. 

BACA JUGA: Ibarat Orang Lagi Kasmaran​

Meski demikian, Trump tidak peduli. Dia perintahkan pasukannya melancarkan serangan pada Sabtu (21/25) malam.  Bahkan tanpa adanya  persetujuan dari Kongres atau parlemen Amerika. 

Dalam pidatonya di Gedung Putih usai serangan, dengan bangga Trump menyebut serangan itu sukses mencapai sasaran. Padahal merespon pidato itu, Iran menyebut serangan itu tidak meruntuhkan apa-apa.

Kolumnis Matt Spetalnick dalam sebuah tulisannya di media kantor berita Reuters, hari Minggu (22/25) menyentil keputusan itu. Menurut dia, serangan terhadap Iran tidak lebih dari perjudian terbesar dan penuh resiko yang diambil Trump dalam kebijakan luar negerinya. 

Dijelaskannya, Trump telah melakukan sesuatu yang sejak lama dia hindari. Karena keputusannya melibatkan diri secara langsung akan membuat Amerika terjebak dalam perang yang bereskalasi lebih luas. Yaitu “forever wars” atau peperangan yang berlarut-larut seperti yang pernah dia bayangkan sendiri di benaknya. Pengalaman buruk akibat keputusan bodoh yang pernah dialami Amerika di Iraq dan Afghanistan. 

Adikuasa Yang Selalu Kalah

Pengalaman buruk itu memberikan trauma tersendiri, khususnya bagi warga Amerika. Sehingga memprotes dan menentang keterlibatan negara mereka dalam peperangan di belahan dunia mana pun. Apalagi di sebagian besar peperangan itu Amerika selalu kalah. Sehingga layak disebut negara adikuasa yang selalu kalah.

Lihat saja peperangan Amerika di Iraq, misalnya. Dimulai sejak 2003, tujuannya menggulingkan pemerintahan Presiden Iraq Saddam Hussein. Karena Saddam Hussein dituding sedang mengembangkan sistem persenjataan pembunuh massal. Tuduhan yang sama sekali tidak terbukti sampai AS menarik pasukan terakhirnya pada 2011.

Setelah peristiwa 11 September 2001, AS melakukan invasi bersama negara sekutunya ke Afghanistan. Untuk menggulingkan rejim Taliban, yang dituding melindungi kelompok teroris Al-Qaeda. Ini peperangan terpanjang dalam sejarah Amerika. Selama hampir 20 tahun. Dan Amerika babak belur. Jumlah tentaranya yang pulang dalam keranda mayat luar biasa banyak. Dan itu sangat memalukan.

Begitu pula di Vietnam. Ketika pasukan terakhirnya ditarik pada 1973, AS dikalahkah oleh pasukan Vietnam Utara dan sekutu gerilya mereka, Viet Cong. Lalu dalam Perang Korea, yang secara keseluruhan menewaskan 5 juta orang. Termasuk hampir 36 ribu tentara Amerika. 

Apakah Donald Trump akan mengulang kembali sejarah buruk dan memalukan itu?(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda