COWASJP.COM – KORUPSI adalah tantangan global yang melemahkan tata kelola, keadilan sosial, dan pembangunan ekonomi. Memahami dan melawan fenomena ini, sejumlah teori anti-korupsi klasik telah dikembangkan dalam literatur akademik.
Teori-teori ini menawarkan kerangka untuk mengidentifikasi penyebab korupsi dan merancang strategi pencegahan.
Berikut teori-teori utama antikorupsi klasik:
Principal-Agent, Birokrasi Weberian, Ekonomi (Biaya-Manfaat), Institusional, Budaya dan Norma Sosial, serta Desentralisasi.
1. Teori Principal-Agent (Teori Keagenan)
Teori Principal-Agent memandang korupsi sebagai akibat dari ketidakseimbangan informasi dan konflik kepentingan antara "principal" (misalnya, masyarakat atau pemerintah) dan "agent" (misalnya, pejabat publik). Menurut Klitgaard (1988), korupsi terjadi ketika agen memiliki monopoli kekuasaan, keleluasaan (discretion) dalam pengambilan keputusan, dan kurangnya akuntabilitas. Rumus klasiknya adalah: Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas.
Untuk mengatasi korupsi, teori ini menyarankan penguatan pengawasan, seperti audit independen, transparansi proses, dan insentif untuk mendorong perilaku jujur. Misalnya, sistem pelaporan keuangan yang terbuka dapat mengurangi peluang agen menyalahgunakan wewenang (Rose-Ackerman, 1978).
2. Teori Birokrasi Weberian
Teori Birokrasi Weberian, yang dikembangkan oleh Max Weber, berpendapat bahwa korupsi muncul akibat penyimpangan dari prinsip birokrasi rasional-legal, yang mencakup meritokrasi, aturan formal, netralitas, dan profesionalisme (Weber, 1947). Birokrasi yang ideal beroperasi berdasarkan prosedur yang jelas dan tidak memihak, sehingga mengurangi peluang penyalahgunaan wewenang. Korupsi terjadi ketika birokrasi dipenuhi oleh nepotisme, kurangnya kompetensi, atau prosedur yang rumit. Solusi anti-korupsi dari teori ini meliputi reformasi birokrasi, seperti perekrutan berbasis kualifikasi, pelatihan pegawai, dan standardisasi proses (Rauch & Evans, 2000).
3. Teori Ekonomi (Pendekatan Biaya-Manfaat)
Teori Ekonomi memandang korupsi sebagai keputusan rasional berdasarkan analisis biaya-manfaat. Individu terlibat dalam korupsi jika manfaat (misalnya, keuntungan finansial) melebihi biaya (misalnya, risiko hukuman). Becker (1968) berargumen bahwa untuk mencegah korupsi, biaya harus ditingkatkan melalui hukuman berat, seperti denda besar atau penjara, sementara peluang korupsi harus dikurangi melalui transparansi dan kompetisi pasar (Shleifer & Vishny, 1993). Contohnya, tender publik yang kompetitif dapat mengurangi peluang suap dalam pengadaan barang.
4. Teori Institusional
Teori Institusional berfokus pada peran institusi dalam mencegah atau memfasilitasi korupsi. Menurut North (1990), institusi yang kuat—dengan aturan hukum, checks and balances, dan transparansi—dapat mengurangi korupsi dengan membatasi peluang penyalahgunaan.
Sebaliknya, institusi yang lemah, seperti sistem peradilan yang korup atau pemerintahan tanpa akuntabilitas, memungkinkan korupsi berkembang. Solusi anti-korupsi mencakup reformasi institusi, seperti memperkuat independensi badan anti-korupsi, meningkatkan transparansi anggaran, dan memastikan penegakan hukum yang adil (Lambsdorff, 2007).
5. Teori Budaya dan Norma Sosial
Teori Budaya dan Norma Sosial berpendapat bahwa korupsi dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma masyarakat. Dalam budaya yang mentoleransi patronase atau nepotisme, individu lebih cenderung terlibat dalam korupsi karena dianggap sebagai bagian dari praktik sosial yang diterima (Husted, 1999).
Banfield (1958) memperkenalkan konsep "familisme amoral," di mana individu memprioritaskan kepentingan keluarga di atas kepentingan publik, memicu korupsi. Solusi anti-korupsi meliputi pendidikan nilai-nilai integritas, kampanye publik, dan perubahan norma sosial melalui keterlibatan tokoh masyarakat (Paldam, 2002).
6. Teori Desentralisasi
Teori Desentralisasi mengkaji hubungan antara pembagian kekuasaan ke pemerintah daerah dan tingkat korupsi. Desentralisasi dapat mengurangi korupsi dengan meningkatkan akuntabilitas lokal, karena pejabat daerah lebih dekat dengan masyarakat dan dapat diawasi langsung (Fisman & Gatti, 2002). Namun, tanpa pengawasan yang memadai, desentralisasi dapat memperburuk korupsi, terutama di daerah dengan kapasitas rendah atau budaya patronase (Prud’homme, 1995).
Solusi anti-korupsi mencakup penguatan pengawasan lokal, transparansi anggaran daerah, dan pelatihan kapasitas pemerintah daerah (Bardhan & Mookherjee, 2006).
Dari semua teori antikorupsi klasik, sebagian besar menjurus ke institusi hanya satu yang terkait agent atau individu. Hanya teori Principal-Agent yang secara eksplisit menempatkan individu sebagai kunci. Tapi perbuatan individu yang bagaimana tidak dijelaskan detail. Menurut penulis, pemberantasan korupsi harus dimulai dari individu terlebih dahulu sebelum menyasar institusi. Jika seorang agen memiliki moralitas yang tinggi, korupsi tidak akan terjadi, meski peluang terbuka.
Moral yang bagaimana? Salah satu elemen perbuatan antikorupsi atau orang tidak melakukan korupsi adalah balik ke individu sendiri. Ini teori antikiorupsi baru. Yakni ada elemen sincerity idealist (SI); ketulusan idealis atau tulus militan.
Orang-orang yang memiliki elemen SI ini nothing to lose. Tidak ada beban melaksanakan kebijakannya yang bertujuan tulus memakmurkan rakyat yang dipimpinnya. Dia vokal, kritis, dan responsif terhadap segala permasalahan yang terjadi di masyarakat yang terkait kemakmuran.
Ketika masyarakat di-bully oleh kekuasaan pemerintahan yang semena-mena, orang-orang ini akan teriak dan turun segera membenahinya. Bukan turun untuk mempromosikan buah-buahan. Itu mah urusan pedagang buah.
Orang-orang tulus militan ini memang tidak ada beban. Dia tidak makan uang korupsi misalkan menyalahgunakan uang hibah. Langkahnya enteng saja bila tujuannya memakmurkan rakyat. Tulus. Dia hanya makan uang halal yang menjadi haknya. Di luar itu tidak mau. Malah bisa jadi gajinya digunakan untuk memakmurkan rakyat.
Tapi orang-orang tulus militan di negeri ini sangat jarang atau langka. 1 banding 1000.
Bila muncul pun di pemerintahan yang defect (cacat), orang SI ini segera dilengserkan padahal ini barang langka.
Orang yang memiliki elemen SI ini bisa jadi pencerah di kelompoknya. Karena dia atau mereka bisa mempengaruhi kelompoknya melakukan hal sama, tulus. Salah satu penyebab korupsi adalah orang yang masuk kategori moral defect. Satu defect bisa pengaruhi kelompok besar dan defect semua.
Satu noda bisa rusak susu sebelanga. Karena itu pilihlah pemimpin yang masuk kategori sincerety idealist atau tulus militan bukan dari orang defect. Karena lingkungan bisa pengaruhi orang di dalamnya.
Orang defect perlu diawasi supaya tidak lakukan korupsi. Pengawasan harus ketat berlapis lapis supaya tidak ada kesempatan lakukan korupsi. Tidak perlu ada kebijakan menaikan gaji supaya orang defect berhenti korupsi. Tetap saja mereka lakukan korupsi. Yang terpenting perketat pengawasan terhadap orang defect.
Pengawasnya harus orang tulus militan. Bukankah kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Orang defect prinsipnya harta segalanya. Teori memakmurkan rakyat menurutnya omong kosong. Lebih baik saya makmur dulu mumpung ada kesempatan menjadi pejabat.
Sebaliknya orang yang tulus tidak perlu diawasi karena mereka sudah otomatis diawasi hati nuraninya sendiri yang tulus (self driven). Kelasnya sudah makrifat. Dia tidak tergoda harta dan tahta. Harta hanya titipan yang harus digunakan memakmurkan rakyat yang dipimpinnya.
Dia tahu benar kekayaannya akan dihisab di akhirat. Para pejabat yang tidak termasuk golongan orang akan lama proses hisabnya. Malahan proses hisabnya yang lebih cepat kuli bangunan atau buruh pabrik. Karena mereka peroleh harta dari keringatnya sendiri tidak makan harta pembayar pajak. Pembayar pajak komplain bisa panjang lagi hisabnya.
Jadi Anda yang menjadi pejabat jangan enak-enakan di dunia dengan gaji tinggi. Anda yang duduk di DPR atau DPRD tertidur ketika rapat besar yang materinya bagaimana memakmurkan rakyat. Ketika Anda tidak tulus dalam jabatannya dan pembayar pajak komplain terhadap kinerja Anda, hisabnya pasti panjang.
Lawan dari elemen ini adalah hypocrite sincerity. Tampaknya tulus tapi fake atau palsu. Tujuannya ingin memakmurkan bangsa tapi menggarong secara halus. Ini sangat berbahaya. Musuh dalam selimut bangsa. Sangat dekat tapi berbahaya.
Mudahan mudahan bangsa ini ke depan cerdas memilih pemimpinnya. Pilihlah orang orang tulus militan yang tulus memakmurkan rakyat bukan orang orang yang fake sincerity yang tulus tapi palsu.(*)