Simalakama Jerman: Ostpolitik v Deindustrialisierung

Ilustrasi menggunakan AI: Bing

COWASJP.COMPerang Rusia-Ukraina menjadi buah simalakama bagi Jerman. Memenuhi komitmen sebagai anggota NATO Jerman, dengan memberi sanksi ekonomi terhadap Rusia berakibat terhentinya pasokan gas. Terhentinya pasokan gas, membuat industri Jerman terpukul. Bagaimana kondisi itu bisa terjadi, berikut analisis menarik dari Yusra Abdi, Energy Investment & PPP Specialist ENRI Indonesia.

***

AKHIR tahun 1960-an, menteri-menteri ekonomi Jerman Barat (Bundesrepublik Deutschland ) melihat perlunya mengurangi ketergantungan Belanda dan menginginkan perlunya suplai gas baru dari Uni Soviet. Mengetahui keinginan Jerman Barat untuk mendapatkan suplai gas dari Soviet, Moskow kemudian secara informal mengutus Alexei Sorokin. Dia adalah Direktur Internasional Mingazprom. Lembaga yang mengurus gas dan industri Soviet. Sorokin ditugaskan membuka komunikasi dengan Jerman Barat untuk membicarakan kerjasama ekonomi khususnya suplai gas alam.

Lama tak ada berita mengenai tindak lanjut pertemuan tersebut, Moskow kemudian memerintahkan duta besarnya di Bonn, Semyon Tsarapkin untuk membicarakannya dengan Menteri Luar Negeri Jerman Barat, Willy Brandt. 

Moskow juga terus menggencarkan diplomasi untuk memasarkan gasnya. Sorokin, pada acara Gas Internasional  (IGU) tahun 1969 di Leningrad, mendekati kembali delegasi Jerman uituk membicarakan soal gas ini. Kali ini Sorokin meyakinkan pihak Jerman bahwa suplai gas dari Soviet akan baik-baik saja sembari memberi contoh mengenai pasokan gas dari Soviet ke Austria yang baru saja dilakukan.

Tidak lama setelah itu Dubes Tsarapkin bertemu kembali dengan Willy Brandt untuk membicarakan kembali suplai gas tersebut. Willy Brandt meminta agar suplai gas Soviet-Jerman Barat sebagai titik tolak untuk menghidupkan kembali kerjasama ekonomi kedua negara dan meminta agar Menteri Perdagangan Luar Negeri Soviet, Nikolai Patolichev untuk menghadiri Pameran Perdagangan dan Industri Jerman di Hannover. Jerman Barat dan Soviet kemudian kembali mengirim tim untuk membicarakan mengenai suplai gas tersebut.

Lansekap politik Jerman Barat kemudian berubah lebih ramah terhadap Soviet ketika Willy Brandt dari Partai Sosial Demokrat  memenangkan pemilu Jerman September 1969. Menggantikan doktrin politik Hallstein yang tidak mengakui Jerman Timur (Ostdeutschland) yang berada dalam Blok Warsawa, Willy Brandt mengusung tema Ostpolitik (politik melihat ke Timur) dan membuat kesepakatan non-agresi dengan Uni Soviet untuk mendukung diplomasinya di Eropa Timur atau Blok Warsawa dan sekaligus mengakui eksistensi dari Jerman Timur. 

Tampilnya Willy Brant sebagai kanselir Jerman Barat membuat soal pasokan gas Soviet ke Jerman Barat kemudian menjadi lebih mudah untuk dikerjakan, dan kemudian menjalani titik terang dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama ekonomi pada tahun 1970 di Essen, di mana suplai gas dari Soviet ke Jerman Barat akan dibiayai oleh konsorsium 17 bank yang dipimpin oleh Deutsche Bank. 

Kerjasama perdagangan antara Jerman dengan Soviet ini juga dikenal dengan istilah "pipe for gas", di mana Jerman memasok pipa tekanan tinggi berukuran 42 inci  yang dipasok oleh perusahaan Thyssen, dan menukarnya dengan pasokan gas. Soviet melalui Souzneftexport yang akan mengirim gas alam sepanjang 2.400 km yang dipasok dari Siberia dengan melewati negara Cekoslovakia sebesar 5,5 bcm kepada perusahaan Jerman Barat Ruhrgas selama 20 tahun. 

Mendapatkan gas yang murah dan calorific value yang tinggi, Jerman kemudian  melanjutkan kerjasama pasokan gas dengan Soviet. Pada tahun 1974 dan 1979 kedua belah pihak menandatangani perjanjian serupa dan pada bulan November 1981, Soyuzgazexport dan Ruhrgas kembali menandatangani kontrak keempat mengenai pengiriman tambahan 8 bcm gas per tahun antara tahun 1984 dan 2008. Melalui kerjasama perdagangan ini Uni Soviet mendapatkan mata uang keras (hard currency) dan teknologi, sedangkan Jerman mendapatkan gas alam yang kompetitif jika dibandingkan dengan pasokan dari Belanda, Norwegia atau Aljazair. 

Bubarnya Uni Soviet yang kemudian menjadi Rusia dan kemudian reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, membuat hubungan kedua negara semakin intensif. 

Sementara Rusia menghadapi defisit anggaran negara yang sangat besar dan sedang berjuang dengan perekonomian yang mengadopsi mekanisme pasar, Jerman adalah negara barat yang paling banyak melakukan investasi di Rusia dan Berlin sangat sigap untuk membantu Moskow untuk mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan internasional dan negara-negara Barat. 

Pasca reunifikasi, Jerman semakin membutuhkan pasokan gas dari Rusia. April 2001, Gazprom, Fortum, Ruhrgas, dan Wintershall mengadakan kesepakatan untuk menyiapkan studi kelayakan bersama untuk pembangunan pipa bawah laut yang menghubungkan Rusia-Jerman. Hasil dari studi  kelayakan ini adalah ditandatanganinya perjanjian dasar mengenai pembangunan pipa gas Eropa Utara pada tahun 2005 antara Gazprom, BASF dan E.ON. 

Pipa gas alam Rusia-Jerman ini yang dikenal dengan Nord Stream 1 ini diresmikan bersama oleh Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Rusia Dimitri Medvedev, Perdana Menteri Perancis Francois dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada sebuah upacara yang diadakan di Lubmin, Jermanpada November 2011. Rusia akan memasok beberapa negara Uni Eropa termasuk Jerman sebesar 55 bcm per tahun selama 50 tahun. 

Jerman juga menambah pasokan gasnya dari Rusia dengan membangun proyek Nord Stream 2 yang akan memasok 55 bcm per tahun. Meski pipanisasi telah selesai namun proyek ini tidak berjalan karena adanya sabotase dengan meledakkan pipa gas ini pada September 2022 di dekat perairan Swedia dan Denmark. Sabotase ini ditengarai dilakukan oleh Amerika menyusul invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Perang Rusia-Ukraina ini membuat simalakama bagi Jerman. Bagaimana tidak? Sebagai anggota NATO Jerman harus memenuhi komitmennya untuk melakukan sanksi kepada Rusia, di sisi lain secara tidak disadari Jerman memiliki ketergantungan yang sangat tinggi atas gas alam dari Rusia karena 55% pasokan gas alamnya dari Rusia. Sedangkan porsi gas alam Rusia dalam bauran energi Jerman adalah 27%.

Jengkel dengan sanksi yang diberikan oleh negara Barat, membuat Moskow melakukan tindakan yang tidak pernah dilakukan selama 50 tahun kerjasama perdagangan gas antara Jerman-Rusia. Yakni mengurangi pasokan gasnya ke Jerman. Gazprom suplier gas ke Jerman berkilah rusaknya kompresor merk Siemens buatan Jerman membuat pasokan menurun. Sementara Siemens sendiri tidak bisa melakukan tindakan karena adanya sanksi ekonomi terhadap Rusia.

Pengurangan pasokan gas dari Rusia ke Jerman dan Eropa ini membuat harga energi melambung tinggi ke angkasa dan ini menjadi pukulan berat bagi Jerman yang juga harus menghadapai persoalan ekonomi pasca pandemi.

BASF industri kimia Jerman mengurangi produksi amonianya di Antwerp dan Ludwigshafen karena harga gas yang melambung Dampak dari pengurangan produksi amonia ini sangat besar mengingat amonia adalah bahan dasar (basic chemicals) untuk industri kimia lainnya seperti pupuk sintetis. Penjualan BASF turun  21,1% pada tahun 2023. BASF pun melakukan upaya penghematan biaya tambahan sebesar USD 1,1 miliar di Ludiwigshafen, dan menyebabkan pengurangan tenaga kerja. 

Tidak hanya BASF yang memangkas beaya dan pemutusan hubungan kerja. Perusahaan pipa Vallourec menutup operasinya di Dusseldorf dan Mulhei. Trinseo perusahaan stirena (styrene) menutup fasilitas produksiya di Bohlen. Perusahaan Amerika Olin yang memproduksi klorida dan kloroform di Stade juga menutup pabriknya karena biaya produksi yang tinggi. Seluruh industi yang memerlukan energi yang besar (energy intensive) seperti industri metal, kimia dan kaca sangat terdampak dengan melambungnya harga energi.

Persoalan lain juga datang dari ribuan industri kecil dan menengah atau mittelstand yang terdampak dari meningkatnya harga energi. Sebagai pendorong utama inovasi di Jerman, hampir 40% dari total omset perusahaan dihasilkan oleh Mittelstand, dan menyumbang 55% nilai tambah dalam perekonomian Jerman. 

Publik kemudian terperangah atas kenyataan dampak harga energi yang tinggi  memukul industri di Jerman dan secara perlahan Jerman memasuki periode deindustrialisasi (deindustrialisierung). Deutsche Bank mengatakan bahwa output industri merosot sebesar 8% sejak 2018, dan pemerintah Jerman memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2024 ini menjadi hanya 0,2%, dengan perkiraan inflasi akan mencapai sekitar 2%. 

Banyak faktor yang memengaruhi lesunya iklim industri dan perdagangan di Jerman, namun tak dapat disangkal bahwa harga gas yang meningkat sangat berpengaruh terhadap persoalan ini. Kombinasi antara penutupan fasilitas pembangkit nuklir, penutupan PLTU batubara dan juga penetrasi energi terbarukan yang terus meningkat membuat Jerman menjadi negara di Eropa yang tarif listriknya paling mahal. Sebagai negara padat energi (energy intensive) Jerman sangat terpukul dengan melambungnya harga energi, khususnya pasca perang di Ukraina.*

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda