Jangan Sampai Sakit di Portugal, Biayanya Mahal dan Antrinya Lama

Salah satu RS besar di dekat rumah penulis. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

COWASJP.COM – Apa persamaan tinggal di negara dengan 4 musim dengan tinggal di Indonesia? Apalagi di akhir tahun sekarang. 

Ya, sama-sama semarak mempersiapkan Hari Natal bagi ummat Kristen. Tapi bukan hanya itu kawan pembaca. Bulan November – Desember adalah cuaca kritis karena akan memasuki musim dingin. Di Indonesia banyak anak kecil terserang batuk pilek karena kualitas cuaca yang buruk. 

Di Eropa, musim gugur adalah musim pancaroba. Dari tingginya temperatur saat musim panas. Tiba-tiba dingin, berangin, hujan menuju musim dingin. Dingin menusuk ke tulang.

Suhu musim gugur di Eropa beragam. Di Eropa bagian utara seperti Latvia, Lithuania, dan Rusia sudah wajar turun salju saat musim gugur. Suhunya sudah di bawah nol derajat celcius. Di Rusia bahkan sudah minus 20an derajat celcius. Semakin ke selatan suhunya semakin tinggi. Turun sedikit ke Swiss pada bulan Desember seperti ini suhu udaranya sudah mencapai minus 5 – 10 derajat celcius. Salju juga sudah mulai turun. 

Berbeda dengan di Portugal.

Musim gugur di Portugal jelas tidak ada turun salju. Musim dingin pun juga tak bersalju. Kecuali Portugal bagian utara dan di atas gunung. Baru ada salju. 

Masih sangat beruntung karena sinar matahari masih bersinar terang. Tapi jangan coba keluar rumah hanya pakai kaos lengan pendek. Meskipun matahari bersinar juga masih terasa dingin. Ada kalanya seminggu full berkabut, ada seminggu full hujan, ada juga yang full matahari bersinar. Tak lupa dengan beranginnya ya.

Cuaca seperti ini benar-benar membuat badan dibuat pusing. Sistem imun tubuh sedang beradaptasi dengan perubahan suhu udara yang cukup ekstrem. Pagi dingin, siang panas, sore berangin kencang, dan malam mendadak dingin. 

Pernah suatu ketika masih merasakan hangatnya 20 derajat di siang hari mendadak turun jadi 9 derajat di malam hari. Lantai apartemen terasa terlapisi es batu.

oki1.jpgDoubleZ (Zirco dan Zygmund) yang sudah kembali ceria setelah melewati demam bersama ayahnya Fariz Hidayat. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Pernah suatu ketika ada kegiatan lomba lari di sekolah Zirco (anak sulung penulis). Hanya intern di kelas masing-masing. Lomba lari diselenggarakan di lapangan sepakbola. Keliling 1 putaran lapangan. Pada pagi hari cuaca mendung dan hujan. Sudah komplit ke sekolah pakai baju hangat atau biasa disebut long john, seragam sekolah, dan jaket. Cuaca mendadak cerah pada siang hari. Lomba pun dilaksanakan. 

Suhu waktu itu sekitar 14-15 derajat celcius. Pulang sekolah dengan keadaan baik-baik saja. Hanya mengeluh capek. Tapi ternyata keesokan harinya Zirco demam. Tidak begitu tinggi sih, sekitar 37-38 derajat celcius. 

Sekarang saya paham mengapa pemain sepakbola di Eropa fisiknya kuat. Karena mereka berlatih di berbagai musim. Daya tahan tubuhnya telah dilatih berlari di udara dingin sejak kecil. 

Bagi teman-teman Zirco lainnya mungkin hal ini biasa, lari di cuaca dingin habis hujan lagi. Coba kalau sekolah di Indonesia mengadakan acara seperti ini. Mungkin diprotes orang tua karena habis hujan cuaca dingin koq malah murid disuruh lari-larian. Hahahaha

Berbeda halnya dengan Zygmund (anak kedua penulis), dia demam hingga 40 derajat celcius. Mendadak tanpa gejala apa-apa. Harus langsung dibawa ke UGD rumah sakit. 

Ini pertama kalinya demam tinggi untuk Zygmund. Kejadian itu sekitar jam 7 malam. Di UGD langsung banyak dokter dan suster yang sigap menangani pasien. 

Ternyata banyak juga orang yang pergi ke UGD.
Jika tinggal di Eropa, kita tidak bisa sewaktu-waktu pergi ke dokter praktek. Beda dengan di Indonesia yang ada jadwal praktek dokter. Bahkan dokter anak favorit memiliki jadwal praktek setiap hari, meskipun di rumah sakit berbeda. Jadi bisa didatangi kapan saja. 

oki2.jpg3.jpgSuasana ruang tunggu IGD rumah sakit di Portugal. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Di sini (Portugal) harus melalui appointment atau terjadwal. Ada aplikasi RS yang bisa kita pilih hari dan jadwal dokternya. Kecil kemungkinan menemukan jadwal kosong pada hari yang sama. Bahkan untuk general control untuk Zygmund kami sudah booking 1 bulan sebelumnya. 

Itulah sebabnya jika kondisinya urgent semua orang di Portugal pasti langsung menuju UGD. Dan, biaya di UGD Portugal jauh lebih mahal dari dokter biasa. 

Sekali datang di UGD dipungut biaya 60 Euro (Rp 1.000.000). Bandingkan dengan ke dokter praktek yang hanya 15 Euro (Rp 250.000), belum termasuk obat yang diresepkan. 

Kunjungan ke dokter praktek ini artinya harus booking lewat aplikasi jauh-jauh hari sebelumnya. 

Oh ya, semua warga di Eropa wajib memiliki asuransi kesehatan. Ini hal pertama kali yang ditanyakan oleh pegawai administrasi selain kartu identitas.

Saat di UGD ada 3 kategori tindakan yang akan dilakukan:

Pertama, kalau kasusnya sangat urgent, seperti anak kejang-kejang, muntah atau diare berlebihan langsung mendapat pertolongan. Langsung tanpa daftar ke bagian administrasi. Langsung ditangani dokter dan suster untuk pertolongan pertama. Pemberian infus dan obat-obatan. Bagian administrasi akan meminta data di sela-sela tindakan. 

Kedua, mengambil tiket antrian untuk mendaftar ke bagian administrasi. Dilakukan pengecekan. Apabila dirasa urgent, maka langsung masuk kamar untuk observasi lanjut. Ada pengecekan pengambilan darah, cek covid, dan tes urine. Kira-kira dibutuhkan waktu 4 jam observasi sampai pasien dinyatakan boleh keluar dari kamar UGD. 
Apabila memasuki jam lunch atau cemilan, si pasien juga mendapatkan snack dari RS, seperti buah, biskuit, dan jus untuk anak-anak. Ada tambahan 7 Euro (Rp.120.000). Jadi total bayar 67 Euro (Rp 1.120.000).

oki2.jpg4.jpgGelang pasien yang wajib dikenakan selama di rumah sakit. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Sedangkan yang ketiga, hampir seperti di Indonesia. Mengambil tiket antrian, duduk manis hingga dipanggil. Dicek terlebih dahulu oleh perawat. Disuruh menunggu di luar lagi untuk pemeriksaan oleh dokter. Menunggu lagi sampai ada hasil observasi atau langsung pulang dengan membawa resep. Proses menunggu ini sangaaat lama, karena tidak masuk kategori urgent. 

Untuk biaya kesehatan atau rawat jalan rumah sakit seperti ini, kami bertiga mendapatkan cover 80% dari kantor PMI (Philip Morris International) dan 20% dibayar oleh kami sendiri. Sedangkan untuk Papi Fariz (suami penulis karyawan PMI) dicover 100% oleh PMI. 

Perbedaan ini karena tergantung dari top up asuransi yang kami bayarkan ke pihak asuransi. 

Bagaimana dengan warga lokal lainnya? 

Ada juga yang sistemnya seperti kantor PMI. Ada pula yang membeli asuransi sendiri. Prosedurnya seperti reimburse atau rekanan rumah sakit sehingga tidak perlu membayar. 

HARUS BAYAR DI MUKA

Kami memakai asuransi multicare, sistemnya kami harus membayar biaya rumah sakit terlebih dahulu baru reimburse ke kantor PMI. 

Slogan jangan sampai sakit di Eropa itu benar sekali adanya. Karena belum tentu mendapatkan jadwal dokter sesuai yang diinginkan. Harus siap uang lebih juga kalau memilih ke UGD. 

Sehat itu mahal. Tapi percayalah sakit juga tambah lebih mahal. Dana darurat untuk biaya kesehatan jangan lupa dipersiapkan juga. Salam sehat selalu kawan pembaca.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda