Abdul Muis Memang Awesome!

Abdul Muis Masduki, mantan wartawan Jawa Pos yang melakukan gerakan solidaritas: nggowes Surabaya - Jakarta. Berjuang menagih 20 persen saham karyawan Jawa Pos beserta devidennya. (FOTO: Dok. Abdul Muis)

COWASJP.COM – Saya sangat bersyukur Abdul Muis bersiap-siap nggowes alias naik sepeda pancal, ke Jakarta. Itu terkait niat pribadinya yang hendak menemui komisaris (pemilik saham) Jawa Pos untuk membicarakan 20 persen saham karyawan Jawa Pos yang diduga kuat telah dicaplok direksinya, dan deviden  mantan pegawai Jawa Pos.

"Saya sekarang lebih banyak istirahat di rumah, Fiq. Sekaligus untuk menjaga kondisi fisik dan mental," kata Muis --demikian saya biasa memanggilnya-- lewat telepon Kamis pagi  (23/11/2023).

Rencananya, Sabtu besok (25/11) pukul 05.30 WIB dia akan mengawali perjalanannya itu. Start-nya di  'Titik Nol' Tugu Pahlawan Surabaya.

Saya pribadi mengenal Muis sejak 1984. Ketika itu kami sama-sama merintis karier sebagai jurnalis di Majalah Mingguan Liberty yang kini sudah berhenti terbit.

Muis adalah sosok yang 'ramai', dan gampang bergaul.  Kritis, sekaligus blak-blakan. Namun, dia juga yang sering bikin teman bicaranya tertawa, lantaran sering melempar candaan di sela-sela obrolan.

Usinya kini sudah 60 tahun. Itu pula sebabnya dia rajin nggowes bersama beberapa komunitas gowes. "Khusus kepergian saya ke Jakarta nanti, murni karena amar ma'ruf nahi munkar. Tidak ada niat lain. Dan, itu murni atas inisiatif saya sendiri. Tidak ada suruhan atau titipan orang tertentu," jelas arek kampung Karangmenjangan, Surabaya ini.

Sesungguhnya Muis sudah lama menahan kegerahan yang luar-biasa atas nasib 400-an orang mantan karyawan Jawa Pos yang merespon ucapan manis  mantan petinggi Jawa Pos, Dahlan Iskan. Mereka --seluruh mantan karyawan itu-- kini bernaung di Yayasan Pena Jepe Sejahtera.

Sebagaimana yang pernah saya ungkapkan di portal berita ini, Dahlan pernah menyebutkan deviden karyawan Jawa Pos selama beberapa tahun masih 'menyangkut' di kas perusahaan. Bahkan Dahlan juga pernah menyebut ke pengurus inti Yayasan Pena Jepe Sejahtera, bahwa 20 persen saham karyawan Jawa Pos  telah berpindah tangan ke direksi Jawa Pos. Tindakan itu dilakukan secara diam-diam, agar tidak melahirkan kegaduhan.

Tentu informasi penting dari Dahlan itu kemudian ditelusuri oleh mantan karyawan senior Jawa Pos. Di antaranya Zainal Muttaqin, Slamet Oerip Prihadi, Dhimam Abror Djuraid, dan Surya Aka.

Saya tak tahu pasti, sampai di mana kelanjutan pengurus yayasan, dalam memproses kabar dari Dahlan tersebut. Namun, saya mendengar informasi bahwa mereka telah memperkarakan masalah itu ke Polda Jawa Timur.

Tidak ada kata yang terlambat, menurut hemat saya, sehubungan dengan pelaporan tersebut. Saya menyambutnya dengan sangat baik. Bahkan sesungguhnya laporan itu sudah seharusnya dieksekusi sejak tahun lalu. Tepatnya pada saat  Dahlan bergelagat hanya mengulur-ulur waktu saja untuk membantu yayasan dalam mengungkap kebenaran soal deviden, dan 20 persen saham karyawan Jawa Pos tadi.

Saya menilai, kali ini pengurus yayasan dan relawannya untuk lebih tancap gas. Kalau tidak demikian, saya sangat pesimis masalah tersebut akan klir. Bahkan, jika tidak ditangani dengan sangat serius plus ketulusan hati yang luar-biasa, maka jangan berharap impian 400-an orang anggota yayasan, menjadi kenyataan.

Tanpa merendahkan peranan beberapa orang mantan karyawan Jawa Pos yang terlibat aktif dalam mengatasi masalah tersebut, saya memberikan acungan jempol untuk Atminarimah dan Umar Fauzi yang sangat getol melakukan upaya ekstra agar deviden dan 20 persen saham tadi benar-benar dalam genggaman anggota yayasan.

Umar dan Atminarimah --akrab dipanggil Minar-- bukan berlimpah harta, pasca berhenti sebagai karyawan Jawa Pos. Umar kini hanya wartawan sebuah portal berita di Jakarta, sedangkan Minar cuma ibu rumahtangga biasa. 

Tetapi sebagaimana relawan lainnya, Umar dan Minar rela membuang jutaan rupiah isi dompetnya, semata-mata untuk mencari kebenaran dan penjelasan riil atas isi pernyataan Dahlan di atas. Tenaga dan pikirannya ikut terkuras.

"Saya merasa terpanggil untuk mewakili ratusan orang mantan karyawan bagian pracetak dan percetakan Jawa Pos. Kami ingin tahu, apa yang sesungguhnya terjadi," alasan Minar.

"Saya punya firasat, ada sesuatu yang disembunyikan oleh beberapa pihak atas deviden perusahaan, dan 20 persen saham karyawan Jawa Pos," lanjut Minar dan Umar, dalam kesempatan terpisah.

Sampai hari ini Minar dan Umar giat bergerak agar misteri deviden dan 20 persen saham karyawan itu, bisa terbuka secara jelas. 

TURUN GUNUNG

Hal itu pula yang dirasakan Muis. Maka,"Saya harus turun gunung, Fiq," tegasnya, penuh semangat. "Soal berhasil atau tidak usaha ini, saya pasrahkan kepada Allah saja," sambung dia.

Muis tahu persis, bahwa di Jakarta nanti dia bak masuk ke dalam hutan-belantara. Arah kompasnya belum jelas. Medan perangnya belum terukur.

Namun, insya Allah Muis akan mumpuni untuk urusan ini. Bahkan dalam catatan khusus saya yang dimuat di portal berita ini pada 10 Juni yang lalu, saya menyebutkan namanya dalam daftar  komandan bagi mantan karyawan Jawa Pos untuk mendukung langkah Tim 9 bentukan Yayasan Pena Jepe Sejahtera yang mendapatkan mandat menyelesaikan kasus itu.

Maksud saya, Muis perlu membentuk tim khusus untuk lebih melakukan penetrasi ekstra. Anggota tim ini adalah para relawan, di luar jalur

Tim 9. Walaupun tujuannya sama, namun pergerakan riil-nya bisa berbeda.

Saya tahu persis, Muis tidak akan pernah masuk dalam Tim 9 yang dibentuk oleh Dahlan. Karena, Dahlan sangat paham bagaimana karakter Muis. Di mata Dahlan, Muis adalah sosok yang sulit dikendalikan. Wataknya keras. Kalau ngomong, ya tedheng aling-aling. Berani jual-beli argumentasi, tanpa pandang-bulu. Pendek kata, Muis sangat sulit untuk ditundukkan.

Namun, justru karena itulah saya sangat mendukung gerakan sosial Muis untuk nggowes ke Jakarta.

Apalagi dia juga telah membekali dirinya dengan menggandeng pengacara Hayomi 'Bram' Gunawan. 

Sudah kompletkah?

Belum lengkap, menurut saya. Sebab, Muis hanya modal nekat saja, plus dukungan moral dari teman-temannya di Cowas (Konco Lawas) Jawa Pos. Modal finansialnya sangat pas-pasan. Beberapa orang teman di Cowas Jawa Pos memang ikut menyokong dana. Mungkin karena sifatnya sukarela, maka  jumlahnya tidak signifikan.

Karena itulah saya masih sangat berharap Muis akan mendapatkan dukungan dana tambahan. Agar dia tak perlu terbebani soal biaya makan-minumnya sepanjang perjalanan. Juga untuk menghidupi istri yang ditinggalkannya selama nggowes tersebut. 

"Saya sudah izin ke istri saya. Alhamdulillah, dia sangat mendukung, Fiq," ujar Muis. Niat baiknya tersebut juga didukung oleh beberapa komunitas gowes, termasuk GESS.

Mereka bahkan rela menemani Muis nggowes ke beberapa titik kota, walaupun tidak di semua kota yang akan dilalui Muis dengan menunggangi sepeda Polygon (hybrid) tersebut.

Karena duit di sakunya hanya pas-pasan, Muis merencanakan untuk bermalam di masjid, atau  di Polsek saja.  "Tidak ada masalah, kok kalau saya harus bermalam di masjid, atau kantor Polsek, Fiq," ucapnya, tenang.

Dalam kondisi normal, dia hanya butuh waktu 2 malam saja untuk tiba di Monas Jakarta. Rencananya, kehadirannya di Monas akan disambut secara khusus oleh beberapa orang mantan wartawan dan pegawai Jawa Pos Biro Jakarta. Muis juga akan disiapkan sebuah kamar hotel berbintang untuk beristirahat.

Saya sangat berharap personel Cowas Jawa Pos Jakarta menggelar seremonial khusus untuk menyambut kehadiran Muis. Itu semata-mata karena saya menilai, Muis telah ikhlas mempertaruhkan jiwa-raganya bagi rekan-rekannya.

Siapa pun pasti tahu, Muis butuh konsentrasi penuh agar selamat dalam perjalanan. Salah fokus, nyawa taruhannya. 

Jadi, dia sangat layak untuk mendapatkan apresiasi spesial. Saya juga menyarankan agar Cowas Jawa Pos Jakarta mengundang sebanyak mungkin media yang berpengaruh, ketika Muis tiba di Monas. 

Dengan banyaknya pemberitaan tentang kehadiran Muis yang menuntut keadilan kepada manajemen Jawa Pos, tentu masyarakat luas ikut menyoroti adanya ketidakberesan dalam tubuh Jawa Pos. Agar tidak terjadi lagi kebuntuan dalam sengketa tersebut, sebagaimana yang telah dialami oleh yayasan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Menurut saya, kasus Yayasan Pena Jepe Sejahtera yang menggugat keadilan terhadap Jawa Pos, juga menjadi pelajaran sangat berharga bagi kehidupan industri pers nasional. Agar kelak tidak terjadi lagi konflik yang sejenis. Lebih-lebih yang terlibat --sebagaimana yang terjadi sekarang ini-- adalah tokoh-tokoh besar bisnis pers di Indonesia. 

Saya membatin,"Koran dan majalah bos-bos itu begitu gampangnya menyoroti ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat luas. Namun, giliran mereka sendiri yang melakukan ketimpangan,  mulut dan telinganya terkunci rapat-rapat. Nuraninya tidak bergerak sama sekali."

Secara pribadi, saya berharap Muis memaklumi sikon saya yang belum bisa terlibat aktif mendukung aksi sosialnya tersebut. Kebetulan lebih dari 10 tahun terakhir ini saya  berdomisili di Palembang.

Namun, saya masih sangat yakin teman-teman Cowas Jawa Pos di Surabaya telah melakukan persiapan untuk melepas kepergian Muis ke Jakarta. Saya sangat percaya senior saya di Jawa Pos, termasuk Slamet Oerip Prihadi,  Minar, Eko Kletek, Eko Dinar, Suryadi, Mansyur Effendi, Surya Aka, Dhimam Abror,  dan Darsono Luluk bakal berada di samping Muis, ketika dia menggenjot pertama kali sepedanya untuk melaju di jalanan menuju Ibu Kota. 

Saya jadi teringat slogan Cowas Jawa Pos: nulis sampek tuek, seduluran sampek matek, yang jika diartikan kira-kira begini: menulis hingga tua, dan bersaudara hingga ajal telah tiba. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda