Hasil Penyidikan Bayi Siti Tertukar

Siti Mauliah dan bayi yang tertukar (Muhammad Galuh Rangkuti). (FOTO: jabarekspres.com)

COWASJP.COM – Dipastikan secara hukum, bayi yang dilahirkan Siti Mauliah, 37, setahun silam di RS Sentosa Bogor, tertukar. Hasil penyidikan Polres Bogor terhadap 15 orang paramedik RS tersebut, terungkap, label dua bayi lelaki tertulis sama: “Ny Dian”. Akibatnya tertukar.

***

KONFIRMASI secara ilmiah, berupa uji DNA silang terhadap para pihak, dilaksanakan di Pusat Laboratorium Forensik Polri di Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Senin, 21 Agustus 2023.

Kuasa hukum Siti Mauliah, Rusdi Ridho, kepada wartawan, Senin (21/8/2023) mengatakan, pelaksanaan uji DNA silang disaksikan pihak Polres Bogor dan Rumah Sakit Sentosa. “Hasilnya baru diketahui tiga hari lagi (Kamis, 24/9),” katanya.

Uji DNA silang dilakukan terhadap enam orang: Siti dan suami, Muhammad Tabrani, 52, dua bayi yang tertukar, serta Ny Dian dan suami (identitas ortu bayi satunya masih rahasia, karena mereka syok berat).

Meskipun kepastian tertukar sudah terkonfirmasi secara hukum, tapi kepastian secara ilmiah masih menunggu sampai Kamis, 24 Agustus 2023.

Maka, dalam penantian itu para ortu kedua bayi, pastinya sangat cemas. Karena mereka sudah sama-sama merawat dan menyayangi bayi-bayi mereka sebagaimana anak kandung, selama setahun sebulan. Jika hasil uji DNA silang memastikan bahwa bayi itu tertukar, konsekuensinya - terpaksa - mereka bertukar anak. Pilu sekali.

Rusdi Ridho menghormati Ny Dian yang semula menolak keras uji DNA, karena dia merasa tidak tahan seandainya terbukti bahwa bayi itu tertukar. Kemudian Ny Dian berubah (terpaksa) bersedia uji DNA, setelah disidik Polres Bogor.

Rusdi: “Kami tanggapi positif sikap Ny Dian mau dites DNA. Hal ini yang kita tunggu. Mudah-mudahan dengan hasil ini semua bisa terungkap, bisa menemukan titik terang semua.”

Bagaimana sikap RS Sentosa? Juru Bicara RS Sentosa, Gregg Djako, kepada wartawan mengatakan, awalnya ada 15 orang yang akan dikenai sanksi. Namun, jumlah itu diseleksi lagi, berdasar tingkat kelalaian.

Gregg Djako: "Awalnya 15 orang mau disanksi, tapi kan kita harus melihat dong berapa orang yang kemudian terlibat. Akhirnya, lima orang diberhentikan dari tugas mengurus pasien, beralih ke bagian administrasi. Sisanya kena surat peringatan satu.”

Lima peramedik yang diberhentikan sementara, tapi masih harus tetap bekerja, karena masih harus menyelesaikan urusan penyidikan polisi. Setelah penyidikan selesai, manajemen RS Sentosa akan memutuskan lagi nasib kepegawaian mereka.

Gregg Djako: “Pihak RS Sentosa bertindak tegas terhadap pegawai yang lalai dalam kasus ini.”

Diungkap di penyidikan polisi, kronologinya begini: Senin, 18 Juli 2022 di RS Sentosa lahir puluhan bayi. Tapi cuma ada dua bayi lelaki. Anak Siti dan Dian. Lahir selisih jam.

Entah bagaimana (belum terungkap detil) paramedik membuat label yang diikatkan di kaki bayi, dua label dengan nama ibu yang sama: “Ny Dian”. Mungkin, itu dibuat dua petugas berbeda. Lalu, diikatkan pada kaki dua bayi itu. 

Mestinya, label sama itu bisa segera terbaca, baik oleh perawat maupun ortu para bayi. Kenyataannya, itu tak dibaca para perawat dan ibu bayi. Sampai, masing-masing bayi dibawa pulang para ortu. 

Sehari setelah Siti berada di rumah, dua petugas RS Sentosa mendatangi rumah Siti. Minta label itu. Tapi label sudah dilepas Siti, juga belum dibaca. Dan, dicari Siti sekeluarga di rumah, tidak ketemu. Petugas pulang tangan hampa.

22 Juli 2023 label ditemukan. Siti baru membaca label itu: “Ny Dian”. Segera ia ke RS Sentosa, mengembalikan label sekaligus protes, kemungkinan bayi tertukar. Tapi pihak RS bersikukuh, bayi tidak tertukar. Cuma labelnya tertukar.

Siti memberi nama bayi itu Muhammad Rangkuti Galuh. “Dapat nama dari mimpi,” ujar Siti kepada kuasa hukumnya, Rusdi Ridho.

Kendati, hari demi hari Siti merasa bahwa itu bukan anaknyi. Mei 2023 Siti semakin yakin, bahwa itu bukan bayinya. Maka dia protes lagi ke RS Sentoso. Lalu dilakukan tes DNA di laboratorium di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Terbukti: Tidak identik. Artinya, Rangkuti Galuh bukan anak biologis Siti.

Siti tidak terima. “Saya sayangi Rangkuti seperti anak sendiri. Ia gesit. Umur delapan bulan sudah bisa jalan secara bener. Tapi setiap malam saya selalu tidak bisa tidur, memikirkan, di mana anak saya malam ini berada?”

Ini problem luar biasa. Mungkin, biasa bagi orang lain, tapi tidak buat Siti. Pastinya, juga sangat berat bagi Ny Dian. 

Kendati berat bagi mereka, lebih baik bayi ditukar segera. Daripada berlarut.

Di Jepang, bayi tertukar baru diketahui setelah dua bayi lelaki sama-sama tua, usia 60. Nasib mereka bagai bumi dan langit.

Krishnadev Calamur dalam bukunya bertajuk, “Japanese 'Prince' Switched at Birth Was Raised A Pauper” (2013) mengisahkan bayi tertukar sampai sama-sama menua. Kisah nyata itu juga diceritakan Calamur di radio Amerika Serikat, National Public Radio (NPR) dipublikasi 29 November 2013.

Nama para pelaku dirahasiakan, sesuai permintaan yang bersangkutan. Katakanlah bayi A dan B. Mereka lahir di Rumah Sakit San-Ikukai, Tokyo, Jepang, 14 Maret 1953. Di bangsal yang sama, bernama Bangsal Sumida. A lahir pada 13 menit lebih dulu dibanding B.

Pada zaman itu di Jepang, semua wanita melahirkan dibius (anestesi) total. Mereka baru sadar beberapa jam setelah persalinan. Akibatnya, para ibu itu tidak melihat langsung saat bayi mereka baru keluar rahim.

Berdasar putusan Pengadilan Tokyo, 10 Maret 2013, setelah melalui hasil investigasi rumit dan panjang, terungkap, bahwa bayi A dan B tertukar ortu. Itu berarti, kejadian bayi A dan B tertukar pada enam puluh tahun sebelumnya. 

Putusan pengadilan itu selain melalui investigasi panjang, juga hasil uji DNA terhadap A dan ibunya pada Januari 2009. Hasilnya: DNA A dengan ibunya tidak identik, berarti A bukan anak biologis ibunda A. Itu sangat mengejutkan A dan ibunya, yang tidak tahu terjadi pertukaran bayi.

Penyebab A mengajukan gugatan ke pengadilan, karena sejak ia kecil, selama puluhan tahun, selalu diledek teman, bahwa ia sama sekali tidak mirip dengan ibunya. 

Berbekal hasil uji DNA, pihak pengadilan melacak dengan gigih, mencari ortu biologis A. Dan ketemu. 

Jadilah konstruksi perkara begini: A anak konglomerat kaya. B anak orang miskin. Setelah tertukar, terjadi kebalikan.

Ortu B (sebenarnya ortu A) menyekolahkan semua (empat) anak mereka ke sekolah paling bagus di Tokyo. Sampai semuanya sarjana. Dilanjut pasca-sarjana.

Ortu A (sesungguhnya ortu B) miskin. Sang ayah meninggal dunia saat A usia dua tahun. Ibunda A tidak menikah lagi, membesarkan A dan dua adiknya dengan perjuangan keras. Kendati, setelah A lulus sekolah setingkat SMP, A langsung bekerja di bengkel. Karena, ia kasihan melihat perjuangan keras ibunya mencari nafkah keluarga.

Dari pegawai bengkel, A kemudian jadi sopir. Pada usia senja ia punya truk dan menyopiri sendiri truk untuk mencari muatan di Tokyo. Jadi, saat menggugat ke pengadilan, status pekerjaan A adalah sopir truk.

Sebaliknya, B pada 2013 adalah Presiden Direktur perusahaan properti besar di Tokyo. B juga pemilik saham di perusahaan itu. 

Pastinya menyakitkan bagi A. Tapi gugatannya terhadap perusahaan rumah sakit tempat ia dilahirkan, dikabulkan Pengadilan Tokyo. Nilai gugatan 317.000 USD (sekitar Rp 4,85 miliar), dan segera dibayarkan. 

Kisah ini diliput jurnalis NPR berbasis di Tokyo, Lucy Craft. Lalu disiarkan di Radio NPR oleh pembawa acara Ari Shapiro. Bentuknya, Shapiro mewawancarai Craft berdasar hasil liputan kisah itu di Tokyo.

Lucy Craft: "Ini benar-benar kisah tentang seorang pangeran dan orang miskin.” Kalimat Craft langsung menohok.

Hasil interview Lucy terhadap A, disimpulkan bahwa A senang sekaligus sedih. Senang, karena gugatannya dikabulkan pengadilan. Sedih, karena ia merasa kehilangan identitas diri selama enam dekade.

A berkata begini: "Saya membayangkan, bisa memutar balik waktu. ... Ketika saya mengetahui tentang orang tua kandung saya, saya berpikir: Oh… betapa saya berharap mereka membesarkan saya, dulu."

Tetapi Lucy mencatat bahwa A menunjukkan sikap bijaksana dan rendah hati.

Lucy: "Ia (A) mengatakan, bahwa ia merasa berterima kasih kepada keluarga yang telah membesarkannya, juga kepada orang tua kandungnya. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak merasakan permusuhan atau kebencian atau kepahitan terhadap anak laki-laki yang bertukar tempat dengannya (B)." 

Dilanjut: “Ia bilang, ditujukan untuk orang yang tertukar (B), bahwa kita sama-sama korban dalam hal ini. Aku tidak bisa marah padanya (B)."

Ditilik dari usia A (saat 2013), harta dan kekuasaan sudah kurang berarti lagi. Maka, ia bersikap bijak. 

Atau bisa juga begini: Betapa pun keras A marah, toh jalan hidup manusia tidak mungkin diputar ulang. Semua sudah berlalu, tidak akan kembali lagi. Maka, yang berlalu biarkan pergi. Yang datang uang hasil gugatan itu.

Beberapa tahun setelah putusan pengadilan, koran Jepang Asahi Shimbun memberitakan, bahwa hubungan A dengan B justru akrab. B kemudian banyak membantu A dalam beberapa hal. Mereka bagai saudara.

Kisah mengharukan itu tidak bakal terjadi pada Rangkuti Galuh, anak Siti Mauliah. Sebab, ia baru berusia setahun, dan segera bertukar ortu. Tapi, ortu mereka yang galau. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda