Taksi Online vs Pangkalan di Bali

Sopir taksi di Kuta Utara Bali hanya pasrah usai ditangkap polisi. Dia mengaku nekat memalak turis Singapura karena sepi penumpang. (FOTO: Istimewa - sindonews.com)

COWASJP.COMSopir taksi pangkalan di Kuta, Bali, Kadek Eka, 40, memeras turis Singapura, Calysta T. Ng, 27, jadi membesar. Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan, taksi online dilarang seenaknya mengambil penumpang di Bali. Wayan cenderung membela taksi pangkalan.

***

PERISTIWA ini awalnya sepele. Selasa, 20 Juni 2023 pukul 09.30 Wita, Calysta bersama temannya check-out dari vila di Jalan Padang Linjong, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali. Hendak menuju Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

Petugas vila, tanpa persetujuan Calysta, langsung keluar vila, memberitahu ke sopir-sopir taksi pangkalan di Pos Transportasi Padang Linjong, dekat vila itu. Maka, sopir taksi Kadek Eka siap-siap membawa penumpang. Tarif ditentukan Kadek Rp 270 ribu menuju bandara.

Calysta setelah tahu besaran tarif, dia merasa kemahalan. Lalu dia memesan taksi online via HP. 

Tak lama, taksi online tiba di pintu keluar vila. Calysta dan temannya masuk taksi. Ketika taksi berangkat, dicegat Kadek yang merasa berhak membawa penumpang. Taksi pun berhenti.

Kadek menggedor pintu mobil. Calysta dan teman yang duduk di jok belakang, membuka jendela mobil. Terjadilah cekcok. Kadek tak terima, Calysta jadi semakin takut naik taksi Kadek.

Jalan tengah versi Kadek, Calysta diharuskan membayar Rp 150 ribu ke Kadek. Semula Calysta menolak. Setelah cekcok keras, Calysta setuju membayar Rp 100 ribu. Kadek tetap menuntut Rp 150 ribu.

Selama cekcok, teman Calysta merekam video dengan HP. Wajah Kadek sangat jelas di situ. Marah-marah. Saat itu juga video diunggah di YouTube. Durasi enam menit.

Spontan viral. Warganet komentar mengecam Kadek yang membentak-bentak memerintahkan Calysta turun dari mobil. Dialog dalam Bahasa Indonesia. Calysta logat melayu.

Kadek: “Kamu boleh naik taksi online. Tapi turun, jalan dulu sampai keluar wilayah Padang Linjong. Ini wilayah saya.”

Calysta: “Aturan apa itu?”

Kadek: “Aturan adat Desa Canggu. Mari kita selesaikan di kantor desa.”

Calysta: “Tidak bisa.”

Melihat musuhnya keras, Kadek akhirnya meminta Rp 100 ribu yang ditawarkan Calysta. Uang diberikan, diterima Kadek. Taksi online berangkat. Selesai. 

Video itu terpantau polisi. Beberapa menit setelah Calysta pergi, aparat Polsek Kuta Utara menangkap Kadek, dibawa ke Mapolsek Kuta Utara. Di sana Kadek membuat pernyataan minta maaf, direkam video, dipublikasi ke medsos. Isinya begini:

"Saya mohon maaf kepada masyarakat Bali. Apa yang saya lakukan, merusak citra pariwisata."

Kabid Humas Polda Bali, Kombes Stefanus Satake Bayu Setianto kepada wartawan membenarkan kejadian tersebut. Dikatakan: 

"Tim kami mendapati informasi bahwa diduga pelaku berada di sekitar Padang Linjong. Kemudian tim berhasil menemukan terduga pelaku, dan kemudian mengamankan dan membawa ke Polsek Kuta Utara untuk dimintai keterangan lebih lanjut.”

Kadek hanya diberi pengarahan polisi, setelah ia menyatakan minta maaf melalui video. Kadek berjanji ke polisi, tidak akan melakukan hal serupa. Karena merusak citra pariwisata Bali di mata turis asing.

Wartawan mengkonfirmasi ke Bendesa Adat Canggu, Wayan Suarsana tentang pernyataan Kadek. Ternyata, Wayan Suarsana mengatakan, tidak ada aturan yang melarang turis di wilayah Canggu menggunakan ojek dan taksi online. Bahkan, desa adat belum pernah menaungi jasa angkutan transportasi tertentu di situ.

Wayan Suarsana: "Kalau angkutan sampah, ya… ada aturannya. Kalau ini (aturan angkutan umum/sewa) belum ada aturan.”

Masalah kecil ini ditanggapi Gubernur Bali, Wayan Koster. Kepada wartawan, Wayan mengatakan, belum ada aturan terkait operasional taksi online dan taksi pangkalan.

Wayan Koster: “Tapi ojek atau taksi online tidak dapat seenaknya melayani penumpang di seluruh jalanan di Bali. Harus ada wilayah tertentu yang didominasi oleh ojek atau mobil taksi pangkalan, untuk memberdayakan masyarakat setempat.”

Dilanjut: “Saya minta Dinas Perhubungan mengatur itu.”

Kepala Dinas Perhubungan Bali, Samsi Gunarta dikonfirmasi wartawan soal ini, menyatakan, tidak ada larangan bagi angkutan berbasis aplikasi atau ojek/taksi online untuk beroperasi atau melintas di wilayah yang ada angkutan sewa pangkalan. 

Samsi Gunarta: "Kalau sopir ojek atau taksi online memasuki daerah (wilayah operasional) ojek pangkalan, ya… yang online diwajibkan untuk bekerjasama dengan sopir ojek atau taksi pangkalan."

Peraturan Gubernur nomor 40/2019 menyebutkan, perusahaan penyedia aplikasi angkutan di Bali wajib menerapkan pembatasan operasi, dengan menerapkan geofencing bagi penggunaan aplikasi pada wilayah tertentu, di mana tersedia pangkalan berizin sesuai dengan aturan.

Maka, ojek atau taksi pangkalan harus berizin. Jika tidak, illegal. Buat ojek atau taksi pangkalan yang berizin, jika berbenturan (sama-sama dapat penumpang) dengan ojek atau taksi online, diharapkan bekerjasama.

Tidak dirinci bentuk kerjasama antara sopir ojek atau taksi online dengan pangkalan. Apakah mereka mengangkut penumpang secara bersama-sama? Ataukah sopir online memberi uang kepada sopir pangkalan, karena sopir online mengambil penumpang di wilayah sopir pangkalan?

Aturan itu absurd. Maksud aturan itu mungkin begini: “Ya… atur-lah di antara kalian. Salah satu mengalah-lah…”

Sebaliknya, semua orang termasuk sopir, butuh kepastian hukum. Kepastian: Boleh atau tidak mengangkut penumpang?

Selain aturan itu abstrak, pernyataan Wayan Koster seolah-olah ojek atau taksi online bukan pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya, melindungi ojek atau taksi pangkalan adalah memberdayakan masyarakat.

Semua orang tahu, ojek atau taksi online terkait sistem berbasis Teknologi Informatika. Sehingga identitas pengemudi tercatat jelas. Penumpang aman. Juga kualitas kendaraan diatur untuk keamanan dan kenyamanan penumpang. 

Konflik antara ojek atau taksi online versus ojek atau taksi pangkalan, di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, sudah selesai sejak lima tahun lalu. Online sudah menang mengalahkan pangkalan. Seiring perkembangan teknologi.

Sopir ojek atau taksi pangkalan tidak bisa jadi sopir ojek atau taksi online, sebab mereka tidak memenuhi syarat yang ditentukan pengelola online. Antara lain, tidak punya SIM. Usia kendaraan sudah tua membuat penumpang tidak aman dan nyaman. Juga, sopir pangkalan ogah online karena gaptek. 

Betapa pun, pernyataan Wayan Koster itu bagus. Sebagai upaya melestarikan model konvensional. Meskipun berada di Bali yang banyak dikunjungi turis internasional. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda