Hak Angket DPR Bak Pungguk Merindukan Bulan

Presiden Joko Widodo. (FOTO: voffice.co.id)

COWASJP.COMPENGAKUAN Presiden Joko Widodo bahwa dia memang cawe-cawe menyongsong Pilpres 2024 semakin ramai diperbincangkan di ruang publik. Sehingga banyak orang menilai: Presiden tidak akan netral. Akan mendukung Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Di saat yang sama, akan menghapuskan peluang Anies Baswedan.  Dengan segala cara dan segala kekuasaan yang ada di tangannya. 

Sejumlah pakar hukum menyatakan bahwa itu sebuah pelanggaran. Tidak hanya pelanggaran etika politik. Tapi sekaligus pelanggaran hukum. 

Karena itu, dia dianggap layak dimakzulkan. Seperti diungkapkan pakar hukum tata negara Prof. Dr. Denny Indrayana dalam sebuah surat terbukanya untuk DPR RI, yang belakangan ini viral. Yang mendesak DPR menggunakan kewenangannya menggunakan Hak Angket, dalam upaya memakzulkan Presiden Jokowi. 

Yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Mantan Wamenkumham ini bahkan membandingkan cawe-cawe Jokowi ini dengan skandal Watergate di Amerika Serikat sekitar 50 tahun silam. Yang menyebabkan Presiden Richard Nixon terpaksa mundur karena takut dimakzulkan akibat skandal itu. Ketika kantor Partai Demokrat Amerika dibobol untuk memasang alat sadap pada awal 1970-an.  

Kalau kita perhatikan skandal watergate, seberapa besarkah kesalahan Presiden Nixon? Faktanya: Pertama, sebagaimana yang Nixon akui kemudian, bahwa dia mengetahui adanya upaya untuk menutup-nutupi kasus itu. Misalnya dengan mencoba menghentikan penyelidikan FBI. Kedua, terbongkarnya beberapa fakta yang mengejutkan mengenai korupsi Partai Republik. Ketiga, disebarkannya fitnah terhadap calon-calon presiden dari Partai Demokrat. 

Nah, kalau dibandingkan dengan ini, menurut Denny, pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi jauh lebih berbahaya. Sehingga lebih layak dimakzulkan. 

Menurut Jokowi sendiri, cawe-cawe itu dia lakukan sebagai bentuk tanggung jawab moralnya sebagai presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional. Persoalannya, benarkah presiden punya tanggung jawab moral untuk itu? Apakah presiden tidak bermaksud menentukan calon presiden mendatang sesuai dengan keinginannya, bukan keinginan rakyat pemilih? 

Bagaimanapun, banyak pihak menilai, cawe-cawe itu tidak untuk kepentingan bangsa dan negara. Tetapi lebih banyak diduga untuk kepentingan politik Jokowi sendiri dan lingkaran oligarki politik dan ekonomi yang mendukungnya selama ini.  

Meskipun Jokowi sendiri tidak pernah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Capres Anies Baswedan, namun dari berbagai informasi yang berkembang justru menunjukkan hal itu. Bahkan tokoh penting Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jusuf Wanandi – dalam wawancaranya dengan Rosiana Silalahi belum lama ini – mengkonfirmasikan kecurigaan publik itu. Bahwa pada Pilpres 2024 nanti, penguasa hanya menginginkan dua pasangan calon. Anies yang diusung koalisi perubahan tidak akan jadi. Karena akan dijerat dengan kasus korupsi Formula E.  

Kalau Presiden Nixon memilih mundur karena takut dimakzulkan, antara lain karena menyebarkan fitnah terhadap calon-calon dari Partai Demokrat, bagaimana dengan Jokowi? Melalui para buzer bayarannya, Anies tidak hanya difitnah. Tapi juga dibully, dilecehkan dan dikriminalisasi. Bahkan berita tentang penjegalan terhadap Capres dari Koalisi Perubahan itu sudah menjadi santapan publik sehari-hari. 

Publik semakin yakin bahwa Anies dijegal. Antara lain dengan adanya desakan pimpinan KPK agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu dapat dijadikan tersangka dalam kasus korupsi Formula E. Meskipun tidak ditemukannya bukti-bukti yang kuat. Begitu juga dengan adanya upaya Kepala Sektretariat Presiden (KSP) Moeldoko untuk mencaplok Partai Demokrat. Terakhir dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Yang dikuatirkan sejumlah pihak akan dimenangkan MA. Sehingga pencaplokan Partai Demokrat itu otomatis akan membatalkan pencapresan Anies Baswedan. 

Di samping itu, jangan pula diabaikan berbagai usaha untuk membujuk para pimpinan partai koalisi perubahan agar mengundurkan diri dari koalisi itu. Misalnya, dengan memberikan iming-iming jabatan maupun materi. 

HAK ANGKET

Sebagai kepala negara mestinya presiden bersikap netral. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan bersih. Tidak memihak alias mendukung capres tertentu. Apalagi dengan menghalangi atau merintangi jalannya capres yang lain. 

Presiden mestinya membiarkan rakyat memilih secara bebas siapa sosok calon presiden yang akan mereka pilih untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun berikutnya. Tidak diganggu. Tidak dikriminalisasi. Apalagi dijegal sehingga tidak dapat maju sebagai calon presiden yang bisa jadi sangat diharapkan rakyat.  

Dengan begitu, apakah mungkin Jokowi dimakzulkan melalui penggunaan Hak Angket oleh DPR, sebagaimana diusulkan pakar hukum tata negara Denny Indrayana? Tentu saja, dalam sebuah negara yang menjalankan sistem demokrasi hal itu mungkin saja dilakukan. Masalahnya di negeri yang dilabeli sejumlah kalangan sebagai negeri “konoha” ini hal itu tidaklah mudah. 

Tidak sama dengan Nixon yang takut dimakzulkan, sehingga memilih mundur.  Jokowi justru tampak semakin berani cawe-cawe. Ketika semakin banyak pihak yang mengkritisi sejumlah langkahnya – dengan meng-endorse Ganjar Pranowo suatu waktu, lalu memberikan angin dukungan juga untuk Prabowo Subianto – Jokowi tampak semakin tidak peduli. 

Bila dipertanyakan, mengapa? Karena Jokowi mengkuatirkan dua hal. Pertama, kuatir program pembangunan yang dia jalankan, sesuai petunjuk dan tekanan oligarki, tidak dijalankan oleh pemerintahan yang menggantikannya. Kedua, kuatir sejumlah kebijakan politik dan ekonominya yang dituding tidak pro-rakyat, tapi justru untuk kepentingan keluarga maupun kroninya, akan berujung kasus hukum bagi diri dan keluarganya bila nanti tidak berkuasa lagi.  

Karena itu, Jokowi tampaknya memang tidak peduli dituding melakukan pelanggaran hukum terkait cawe-cawenya menyongsong Pilpres 2024. Semua tentu faham, sebagian besar suara di DPR sudah berhasil dalam genggaman tangannya. Sehingga kemungkinan DPR menggunakan Hak Angket untuk memakzulkannya semakin jauh panggang dari api.  

Jangankan Hak Angket, Hak Interpelasi yang sekadar untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah saja sekarang sulit dijalankan. Pada akhirnya, fungsi DPR yang mestinya bertanggung jawab dalam mengontrol segala kebijakan pemerintah terbukti tidak berjalan sebagaimana mestinya.  

Sejumlah pihak tentu mengakui, Jokowi merasa sangat kuat dan berkuasa. Partai-partai yang ada di Senayan, menurut politisi PDIP Bambang Pacul, berada di bawah kendali para ketumnya. Sedangkan para ketum itu justru takluk kepada Jokowi. Yang menjalankan politik “reward and punishment” yang sangat kasar. Sehingga begitu sulit mengharapkan para anggota dewan untuk menggunakan Hak Angket guna memakzulkan Jokowi. 

Terpentalnya Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Soeharso Monoarfa dari pucuk pimpinan partai berlambang ka’bah itu ditengarai terkait hukuman penguasa terhadapnya. Hanya disebabkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas itu diketahui beberapa kali bertemu dengan Anies Baswedan. Apakah dia “mbalelo” kepada Jokowi? Belum tentu. Tapi yang pasti dia sudah menerima akibatnya. 

Didukung oligarki politik dan ekonomi, kekuasaan mantan Walikota Solo itu sudah begitu besar. Meski masih dinyatakan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai petugas partai, namun banyak kalangan menilai, Jokowi sudah menjadi Raja Jawa. Menurut istilah Rocky Gerung, dia adalah Raja Jawa yang terluka. Yang marah. Karena selalu direndahkan Megawati sebagai petugas partai. Sehingga dia kini boleh jadi akan terus menunjukkan taringnya. Sebagai raja yang rasanya tidak mungkin didongkel. Yang titahnya tidak dapat dibantah. Tidak lagi sebagai presiden dari sebuah negara yang menetapkan keputusan-keputusan pentingnya secara demokratis. 

Meski demikian, sekarang tidak sedikit pula orang yang meyakini, seberapa besar pun kekuasaan seorang kepala negara, bila berbenturan dengan kepentingan rakyat banyak, maka cepat atau lambat tentu akan tumbang juga. Wallahu a’lam! (*) 

Bandung, 08 Juni 2023.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda