Jerman dalam Bayang-bayang Sindrom Cina

Foto: Istimewa

COWASJP.COMJerman 17 April ini menutup operasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Isar 2, Neckarwestheim 2 dan Emsland, tiga pembangkit listrik tenaga nuklir terakhir yang masih beroperasi. Penutupan PLTN merupakan merupakan upaya Jerman untuk menggunakan energi (listrik) yang berasal dari energi terbarukan. 

***

ENERGIEWENDE, putar balik atau sering juga disebut transisi energi, adalah upaya kebijakan dari Pemerintah Federal Jerman  yang dicanangkan pada tahun 2010 pasca tragedi PLTN Fukushima di Jepang. 

Pemerintahan koalisi “Lampu Merah” di Jerman saat ini yang dikuasai oleh Partai Hijau (German Die Grunen) sangat bersemangat untuk mewujudkan keinginan puluhan tahun lalu untuk menutup PLTN. DNA Partai Hijau adalah antinuklir dan menutup PLTN adalah cita-cita partai hijau sedari lahir.

Sejarah Partai Hijau dapat dirunut ketika tahun 60an mulai berkembang disiplin Ilmu Ekologi (ecology) yang sebelumnya bagian dari Biologi Lingkungan. Ekologi mengajarkan tentang pentingnya organisme, lingkungan dan interaksi satu sama lain dalam biosfer atau ekosistem, dan masa itu di perguruan tinggi belum ada mata kuliah yang spesifik tentang ekologi.

Keseimbangan lingkungan menjadi isu menarik setelah Rachel Carson seorang ahli biologi kelautan (marine biologist) lulusan John Hopkins, pada tahun 1962 menerbitkan bukunya yang berjudul “Silent Spring”. Dalam buku ini Rachel Carson memperlihatkan bahaya pestisida DDT yang dalam penggunaannya ternyata dapat membunuh ratusan serangga dan mengganggu ekosistem. 

Tidak itu saja, DDT yang merupakan neurotoxin ternyata memasuki rantai makanan dan terakumulasi dalam jaringan lemak hewan (fatty tissue), termasuk manusia, dan menyebabkan kanker dan kerusakan genetik. 

DDT yang merupakan senyawa karbon, hidrogen, dan klorin yang relatif sederhana penggunaannya kemudian menimbulkan debat publik yang panjang.  Para pendukung DDT berpendapat bahwa bahan kimia itu adalah alat terbaik melawan malaria, yang bangkit kembali di sub-Sahara Afrika. Mereka juga berpendapat bahwa Rachel Carson terlalu berlebihan untuk melihat kerugian dari penggunaan DDT. 

“Silent Spring”, membuat era baru bagi sains dimana perdebatan publik begitu luas dan bagaimana sains kemudian dapat membelah masyarakat. 

Akhir 60an menjadi dekade kesadaran baru dimana dunia mengalami beragam revolusi sosial, kombinasi perang dingin dan perang Vietnam yang melahirkan gerakan hippies dan ketakutan akan pecahnya perang nuklir akibat perang dingin tersebut. 

Penelitian Rachel Carson ini kemudian menyentak kesadaran publik tentang pentingya  kesadaran lingkungan dan ekologis, dan kemudian berdampak kepada lahirnya gerakan lingkungan di dunia (environmental movement). Kesadaran lingkungan mengalami transformasi dengan bentuk praksis seperti yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa di Kanada. 

Pada awal tahun 1971 ada sebuah kelompok kecil mahasiswa di Kanada bernama “Don't Make a Wave Committee” yang bertemu di ruang bawah tanah Gereja Unitarian di Vancouver untuk merencanakan perjalanan protes terhadap ujicoba bom hidrogen Amerika Serikat di Alaska. Kelompok pemrotes ini menyewa kapal ikan ke lokasi tempat ujicoba namun dihentikan oleh penjaga pantai Amerika Serikat di Dermaga Akutan. 

Meski pemrotes tidak berhasil mencapai lokasi ujicoba namun dampak pemberitaan sangat besar dan kemudian menimbulkan tekanan publik atas ujicoba bom Amerika tersebut. Dampak dari maraknya protes atas ujicoba bom hidrogen tersebut adalah dibatalkannya ujicoba tersebut oleh Nixon, Presiden Amerika Serikat. 

Gerakan mahasiswa tersebut di kemudian hari berubah menjadi Greenpeace, sebuah organisasi radikal lingkungan hidup dan gerakan antinuklir di seluruh dunia.

Semangat antinuklir tidak saja dilakukan oleh mahasiswa, namun juga oleh dunia perfileman di Amerika. Michael Douglas bersama Jack Lemmon dan juga Jane Fonda, menjadi bintang film “China Syndrome”. Film tersebut ditayangkan di bioskop Amerika pada Maret 1979. Judulnya berasal dari lelucon (joke) di kalangan ilmuwan nuklir tentang kehancuran reaktor nuklir (nuclear reactor meltdown). 

Lelucon itu membayangkan bahwa bahan bakar radioaktif dari reaktor yang rusak dapat membakar kerak bumi hingga ke intinya dan kemudian muncul kembali di sisi lain dunia di China. Ledakan nuklir ini dapat menyebabkan kontaminasi besar-besaran pada tanaman dan air minum. 

Sayangnya film ini bukanlah tentang lelucon namun sebuah ekspresi imajinasi tentang bahaya bencana pembangkit nuklir. Film ini sangat diminati publik dan sukses membangun persepsi publik bahwa pembangkit nuklir adalah teknologi yang sangat berbahaya. Kampanye buruk (demonised) tentang PLTN  akhirnya berlangsung terus menerus hingga hari ini.

 Ketakutan akan bahaya nuklir tersebut kemudian  diperparah dengan peristiwa Three Mile Island di Pennyslvania. Dua belas hari setelah mulai tayang film China Syndrome, PLTN Three Mile Island jenis pressurized water reactors (PWR) dengan daya 880 MWe mengalami kegagalan fungsi pendinginan yang menyebabkan sebagian inti reaktor meleleh dan harus melepaskan gas radioaktif beberapa hari setelah kecelakaan. Meski tidak ada korban jiwa dan juga tidak menimbulkan dampak kesehatan yang serius bagi masyarakat, peristiwa di Three Miles Island ini kemudian menimbulkan trauma panjang dan penanda mengenai bahaya PLTN.

Kemudian datanglah peristiwa menakutkan yang membuat seluruh daratan Eropa panas dingin mengenai bencana nuklir. Pada tanggal 26 April 1986 kompleks PLTN Chernobyl yang memiliki 4 pembangkit listrik masing masing dengan kapasitas 1000 MW, salah satu pembangkitnya di Unit 4 mengalami ledakan. 

 Peristiwa ledakan  dan kebakaran di Unit 4 ini melepaskan sejumlah besar bahan radioaktif ke atmosfer, di mana ia terbawa arus udara dalam jarak yang sangat jauh dan ini mencemaskan seluruh penghuni di daratan Eropa. Ledakan ini mengakibatkan kematian sebanyak 31 orang dimana sebagian besarnya adalah mereka yang terlibat untuk memadamkan PLTN tersebut dan jumlah korban yang tewas tersebut adalah rekor tertinggi dari kecelakaan PLTN hingga hari ini. Sementara bencana nuklir lainnya di Jepang yakni Fukushima pada tahun 2011 menewaskan satu orang. 

Bencana PLTN Fukushima ini yang kemudian membuat Kanselir Jerman Angela Merkel Jerman membuat kebijakan baru transisi energi atau Energiewende. Salah satu persiapan untuk melakukan transisi energi yang dilakukan oleh Merkel adalah mendapatkan tambahan pasokan gas alam dari Russia. 

Sebagai insinyur kimia Merkel sadar bahwa pembangkit termal dari nuklir yang pasokannya sangat stabil (reliable) dan menjadi pemikul beban (baseload)  bagi jaringan listrik (grid) fungsinya tidak mungkin digantikan begitu saja oleh energi terbarukan yang berbasis PLTS dan PLTB dimana pasokan listriknya tidak bisa teratur (variable). Jerman butuh sumber energi termal lain selain PLTN yang bisa dipakai untuk mendampingi PLTS dan PLTB dan gas alam menjadi pilihan yang tepat karena emisi CO2 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit batubara.

Meski sama-sama dapat menghasilkan tenaga listrik, jika menggunakan pengandaian PLTS dan PLTB ini ibarat kendaraan roda tiga Bajaj sedangkan PLTN adalah Ferari. Jika sama-sama start menuju Surabaya dari Jakarta maka Ferari bisa mencapai finish sekitar 5-6 jam sedangkan Bajaj tidak tentu rimba kapan akan sampai. 

Faktor kapasitas (capacity factor) dari PLTN adalah yang tertinggi dari segala jenis pembangkit listrik yakni 96-98 persen dan dapat beroperasi dua puluh empat jam sehari terus menerus (24x7), sementara faktor kapasitas dari PLTS yang tertinggi adalah 22 persen dan tidak bisa beroperasi ketika matahari tenggelam.

Nordstream adalah proyek gas alam sepanjang 1.200 km dari Rusia ke Jerman dengan melewati laut Baltik dengan kapasitas 170 ribu kubik meter per hari. Ini jumlah yang sangat besar namun bagi Merkel belum mencukupi untuk mendukung program transisi energi. Jerman dan Rusia kemudian bersepakat untuk membuat proyek pipa gas alam lagi yang dinamakan Nordstream 2 yang dibangun sejajar dengan Nordstream 1 yang sudah beroperasi tahun 2011.

Pada September 2022 pipa Nordstream 2 terkoneksi dengan Jerman namum belum dapat beroperasi karena menunggu ijin dari otoritas di Jerman dan Uni Eropa. Proyek Nordstream 2 ini kemudian operasinya menjadi tidak jelas karena ada sanksi dari Uni Eropa karena Rusia menyerang Ukraina. Nasibnya semakin runyam karena menurut laporan intelijen yang dikumpulkan oleh wartawan senior Amerika, Seymour Hersh, pipa gas Nordstream diledakkan oleh unit khusus angkatan laut Amerika. 

Sementara pipa gas Nordstream harus masuk “Unit Gawat Darurat” pemerintah Jerman dengan gagah perkasa menutup 3 unit PLTN-nya. Ini kebijakan yang sesungguhnya sangat ceroboh dan dianggap mendahulukan ideologi ketimbang pertimbangan rasional. Selama ini pasokan listrik Jerman datang dari Perancis, negara yang 70 persen listriknya dihasilkan dari PLTN.

Jerman dan Perancis saat ini berdebat terus mengenai peran PLTN dalam menjamin keamanan energi di Eropa. Jerman menolak nuklir dan Perancis mendukung nuklir. Perancis menginginkan agar PLTN dimasukkan sebagai energi terbarukan dalam pembahasan Renewable Energy Directives III (RED III) di Brussel oleh Uni Eropa, salah satunya agar lembaga-lembaga keuangan dapat mengucurkan dananya untuk pembangunan PLTN. 

Jerman yang sangat obsesif dengan energi hijau, saat menutup PLTN-nya mendapatkan 30 persen pasokan listriknya dari batubara dan impor listrik dari Perancis yang listriknya diproduksi oleh PLTN. Pasokan yang besar dari batubara membuat Jerman sebagai negara penghasil emisi CO2 terbesar di Eropa, sesuatu yang sebenarnya dihindari oleh Partai Hijau. (*)

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda