Pemikiran Pembunuh Mutilasi di Koper Merah Bogor

Penemuan mayat termutilasi (tanpa kepala dan kaki) dalam koper merah di Tenjo, Bogor (FOTO: Istimewa - news.detik.com)

COWASJP.COMMayat pria termutilasi dalam koper merah di Bogor belum terungkap. Ditemukan warga Rabu (14/3) pukul 07.30 WIB, sampai 24 jam kemudian polisi belum tahu indentitasnya. Menunggu warga lapor kehilangan keluarga.

***

TANPA laporan warga, mungkin sulit diungkap. Deskripsi mayat berupa tubuh dari leher sampai pangkal paha. Ada juga potongan kedua tangan. Sedangkan kepala dan kaki tidak ada.

Lokasi penemuan koper merah isi potongan mayat itu di Kampung Baru, Desa Singabangsa, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Letaknya strategis. Di pinggir jalan raya penghubung Bogor ke Tigaraksa, Tangerang. Koper tergeletak dalam kondisi tertutup di rerumputan, pinggir jalan.

Penemu pertama warga setempat. Diceritakan Isah kepada pers: “Rabu (14/3) pagi adik ipar saya hendak berangkat kerja. Sebelum berangkat, ia naik motor membonceng anaknya masih balita, keliling sebentar. Saat itulah ia melihat koper itu.”

Adik ipar Isah lalu memberitahu temannya. Lalu datang teman lainnya lagi. Ukuran koper cukup besar. Beroda. Ada yang bilang, mungkin isinya uang. Akhirnya dibuka. 

Isah: “Yang buka kaget. Isinya seperti daging gitu. Ternyata badan orang, telanjang. Tanpa kaki tanpa kepala.” sempat divideokan, diunggah ke medsos. Viral. Akhirnya polisi tiba di lokasi.

Kapolsek Tenjo, Iptu Suyadi kepada pers, menyatakan, tidak ada kartu identitas pada mayat. Diyakini akibat pembunuhan. Ada banyak luka lebam di sekujur tubuh. Juga, tangan diikat tali rafia kuning. Ada tato gambar wajah orang di lengan.

Polisi meminta keterangan warga. Sedangkan, mayat dikirim ke RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur. Diperiksa tim forensik. Hasilnya, diumumkan polisi sangat minim, begini:

Mayat pria, usia sekitar 40-45. Waktu kematian sekitar 12 jam sebelum otopsi. Berarti pembunuhan diduga terjadi pada Selasa ((14/3) sekitar pukul 20.00 WIB.

Iptu Suyadi: “Kami masih mencari potongan anggota tubuh yang lain.”

Pasti sulit. Mencari kepala dan kaki yang entah dibuang ke mana. Bisa di Bogor yang begitu luas, bisa juga di kota lain. Bagaimana kalau dikubur, seperti korban dukun Wowon? Atau dicor seperti kasus dua perempuan  di Bekasi?

Polisi menunggu bantuan laporan dari warga. Termasuk laporan orang hilang. 

Minimnya publikasi otopsi harus dibaca sebagai strategi polisi, menghindari pelaku panik, sehingga berusaha sekuat tenaga menutupi jejak. Kalau itu terjadi, menyulitkan pelacakan. 

Walaupun semua pelaku kriminal pasti menghilangkan jejak. Tapi kalau polisi tenang, minim publikasi, penjahatnya bakal ikut tenang. Penjahat bakal menganggap, penyelidikan polisi mentok. Saat itulah (polisi berharap) penjahatnya lengah. Lalu melakukan kesalahan kecil. Akhirnya ditangkap.

Sebaliknya, pembunuh kasus ini sangat pede. Koper diletakkan di pinggir jalan ramai. Warnanya merah sehingga sangat mencolok tergeletak di atas rerumputan. Tidak, misalnya, dibuang agak menjorok ke kebun di dekat TKP. Supaya ditemukan warga agak lama. Dan, pembusukan mayat menyulitkan penyelidikan.

Atau dikubur sekalian. Di tempat pembunuhan. Tapi ini tidak. Pelakunya terlalu pede, bahwa polisi bakal kesulitan.

Empat kriminolog dan pakar forensik Amerika Serikat (AS), Leonard J Paulozzi 1, Christine S Cox, Dionne D Williams, Kurt B Nolte dalam karya mereka bertajuk: “John and Jane Doe: the epidemiology of unidentified decedents” (2008) disebutkan:

Salah satu tantangan buat polisi dan ahli forensik dalam mengungkap pembunuhan adalah, jika pembunuh menempatkan mayat korban di lokasi terang (ramai orang) tapi sangat minim tentang identitas korban. Sebab, pembunuhnya tahu, polisi harus mengungkap identitas korban dulu, sebelum melacak pembunuh. Tidak mungkin dibalik.

Pendapat di karya itu, mirip dengan deskripsi penemuan koper merah di Bogor ini.

Di AS dan Inggris, mayat tak dikenal diistilahkan John Doe (pria) dan Jane Doe (wanita). Untuk mengungkap identitas mayat yang sudah rusak, ada empat jalan: 

1) Sidik jari. 
2) Komposisi gigi. 
3) Logam implan tulang. Maksudnya, jika korban pernah patah tulang lalu implan logam (pen). Nah, pada pen ada data spesifik yang mencantumkan kode produksi dan rumah sakit tempat pemasangan. 
4) DNA (deoxyribonucleic acid) sebagai profil genetik.

Dikaitkan kasus koper merah, sidik jari belum diumumkan polisi. Sangat mungkin tak terlacak, meskipun potongan tangan ada dalam koper. Seumpama terlacak, pasti sudah diumumkan polisi secepatnya. Demi kepastian informasi terhadap keluarga korban.

Komposisi gigi tidak ada, kepalanya hilang. Data pen, sangat jarang bagi masyarakat kita. Dalam hal ini, sangat mungkin tidak ada. Sebab kalau ada, pasti sudah diumumkan polisi.

Terakhir, DNA ada. Tapi harus dicocokkan dengan anggota keluarga terdekat korban. Sedangkan, kalau belum ada orang melapor kehilangan anggota keluarga, maka polisi terpaksa menunggu. Pasif. 

Pada seluruh koper merah, termasuk tali rafia warna kuning pengikat potongan tangan korban, pasti tertinggal DNA pelaku. Tapi, ini juga bersifat pasif. Menunggu calon tersangka yang ditangkap. Kemudian dilakukan tes DNA tersangka, barulah dicocokkan dengan temuan DNA di koper.

Kasus koper merah menandakan kualitas kejahatan, khususnya pembunuhan di Indonesia, naik. Kian berkualitas. Tampak pada jarak waktu berdekatan, antara kasus dukun Wowon, lantas dua wanita dicor di Bekasi, dan koper merah ini. 

Polisi, mau tidak mau, harus meningkatkan kualitas penyelidikan. Pembunuh tidak boleh dibiarkan lolos. Apalagi di kasus koper merah ini sudah viral. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda