ISBN, QRCBN dan Penerbit Tukang Jahit

Wali Kota Madiun Drs. H. Maidi, SH, MM, M.Pd menyerahkn buku Pernak-Pernik Kota Madiun kepada penulis termuda Chayara Alima Salsabila, siswi SDN 03 Nambangan Kidul.(FOTO: Santoso)

COWASJP.COMPerpustakaan Nasional sudah tidak mengeluarkan ISBN (International Standart Book Number) bagi beberapa jenis buku. Bukan karena sudah ada QRCBN (Quick Responce  Code Book Number). Tapi juga ada penyebab lainnya. Apa itu? Berikut catatan Santoso alias Akung Bondet, wartawan senior di Madiun.

**

SAAT mengikuti seminar pada Hari Kunjung Perpustakaan ke 27 di Madiun  beberapa hari lalu, ada satu peserta yang menanyakan soal ISBN. Saya sudah menerbitkan 2 buku, semuanya ber-ISBN. Tapi untuk buku ketiga kok tidak bisa. Mengapa? begitu pertanyaan Bu Martini, Kepala SDN 03 Nambangan Kidul, Kota Madiun.

Coba nanti saya tanyakan ke Perpusnas sebagai lembaga yang punya kewenangan mengeluarkan ISBN. Dan akan saya coba bantu, kata Drs. Supratomo M.Si  dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, sebagai nara sumber.

Memang. Perpusnas tidak mengeluarkan lagi   ISBN bagi buku antologi, cerpen, quotes, dan puisi. Karena terlalu banyaknya jumlah buku di Indonesia yang diberi nomor ISBN. Lonjakannya dinilai tidak wajar, jadi Perpustakaan Nasional Indonesia ditegur oleh Perpustakaan Internasional. 

Akibatnya, penggunaan ISBN dikurangi. 

Produksi judul buku di Indonesia dianggap tidak wajar dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020 saat pandemi mulai melanda, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan 2021 mencapai 63.398 judul.

Lonjakan seperti itu sudah lama saya prediksi. Begini penjelasan sederhananya:

Sebelum tahun 2000 penulis atau pengarang hanya punya satu pintu untuk menerbitkan karyanya. Yakni melalui penerbit mayor, seperti Gramedia dan sebagainya. Karena penerbit itu perusahaan swasta, jelas orientasinya ke keuntungan (profit oriented). 

Buku yang akan diterbitkan benar-benar melalui seleksi ketat. Misalnya buku itu laku di pasaran  atau tidak. Penerbit tentu tak mau rugi dengan menerbitkan buku yang tidak layak jual. Maka seleksipun amat sangat ketat. Hingga tidak gampang ditembus penullis pemula.

Setelah dinilai layak jual, sebelum dicetak masih melalui proses editing yang sangat prima. Dengan demikian buku yang diterbitkan benar-benar berkualitas. Baik dari konten maupun bahasanya.

Kisaran tahun 2015 mulai marak penerbit PoD (Print on Demmand) atau bisa disebut penerbit indie.

Penerbit ini mempunyai jargon Menerbitkan satu buku OK, ber-ISBN lagi. Mencetak buku satuan jelas tidak menggunakan mesin cetak offset. Pun  tidak melalui seleksi. Kalau toh ada editing standar-standar saja. Bahkan bisa juga sekadar koreksi naskah.

maidi.jpg1.jpg

Santoso (kanan, penulis) saat jadi nara sumber Webinar dengan tema Menulis Itu Mudah dan Menyenangkan.(FOTO: istimewa)

Pokok bayar, dicetak. Tak peduli buku itu bisa dipasarkan atau tidak. Karena penerbit indie tidak punya beban biaya cetak. Biaya cetak sudah dibayar penulis sendiri. 

Saya pernah menulis artikel di blog dengan judul ISBN dan Buku Sampah. Dalam arti kata banyak buku yang diterbitkan dengan kualitas penulisan apa adanya.

Saya pernah ditawari untuk editing buku oleh salah satu penerbit PoD. Namun saya tolak. Lha gimana gak ditolak. Bayarannya dihitung per buku yang laku 6 persen. 

Jadi satu buku seharga Tp 30.000 saya dapat Rp1.800. Kalau satu penulis mencetak sepuluh buku, maka bayaran saya satu buku setebal 200 halaman Rp 18 ribu. Apalagi saya tahu pasar penerbit itu  adalah guru-guru yang menulis untuk naik pangkat. Gak mungkin mencetak ribuan buku hehehehe.

Awalnya sih mencetak buku indie taripnya lumayan mahal. Namun sekarang, dengan semakin banyaknya penerbit serupa taripnya pun anjlog. Satu buku 200 halaman berkisar Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribuan untuk buku setebal 200 halaman.  Tak ubahnya tukang jahit baju.

Dipangkasnya pemberian ISBN, adakah ini akan berpengaruh? Atau justru akan diwadahi dengan QRCBN? Kita tunggu saja. 

ANGIN SEGAR

Di Kota Madiun sekarang mulai bertiup angin segar bagi penulis. Sebuah langkah maju, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Madiun mulai beranjak ke penerbitan.

maidi.jpg2.jpg

Gambar ISBN dan QRCBN.

Penerbitan perdana Pernak-Pernik Kota Madiun diawali dari Web Seminar (Webinar) dengan thema Menulis Itu Mudah dan Menyenangkan. Kebetulan saya dipercaya sebagai nara sumber.

Dari webinar ditingkatkan lagi menjadi Kelas Menulis untuk membekali calon penulis yang akan mengisi penerbitan perdana itu. Dengan pola penerbitan seperti ini, setidaknya sedikit banyak  bisa meningkatkan kualitas buku yang diterbitkan.

Dengan menjadi penerbit ber-ISBN, diharapkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan yang dipimpin oleh Drs Heri Wasana, bisa lebih meningkatkan dunia literasi di Kota Madiun. Akan semakin banyak bermunculan penulis-penulis muda. Apalagi Kelas Menulis yang baru diadakan itu diikuti dari siswa SD sampai kepala sekolah yang bertitel S2.

Anak-anak SD merupakan harapan kita semua, agar literasi di Indonesia semakin maju dan semakin grow and glow di tingkat dunia. Tidak seperti sekarang. Menurut PISA (programe International Student Assesment) kita selalu berada di anak tangga 10 besar.......dari bawah.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda