Sang Begawan Media

Cinta Sejati

Miah Cerrillo, 11 tahun, saksi mata pembantaian brutal di Robb Elementary School, Uvalde, Texas. (FOTO: Miah Cerrillo family photo - cp24.com)

COWASJP.COMPENASARAN menimbulkan kepo. Atau sebaliknya. Atau sama saja: bagaimana bisa, satu grup polisi takut pada satu remaja. Padahal remaja itu membahayakan begitu banyak siswa yang masih SD. Ia sedang menembaki murid-murid di dalam kelas mereka.

Dari duka beralih ke marah. Setidaknya geram. Paling tidak mempertanyakan: mengapa remaja itu baru bisa dilumpuhkan satu jam kemudian. 

Memang remaja itu bersenjata. Tapi seorang diri. Dan lagi ia sudah terjebak di dalam satu kelas: kelas 4 SD di bagian barat Texas.

Betapa mencekamnya keadaan di dalam kelas itu. Betapa lama suasana mencekam itu. Terutama bagi 17 siswa yang masih hidup. Dalam keadaan terluka. Atau pura-pura sudah mati. Tergeletak di lantai. Bersimbah darah. Darah mereka  sendiri. Darah dari teman sekelas mereka. Terutama darah 19 siswa yang mati. Dan darah dari dua orang guru kelas yang juga sudah tewas.

Selama lebih satu jam. Atau  hampir satu jam. Atau 45 menit sekalipun. Betapa mencekamnya. Sementara si pembawa senjata masih ada di dalam kelas itu.

Yang tercekam juga orang tua mereka. Yang berdatangan ke sekolah itu. Yang menunggu dengan cemas, berpuluh menit, apa yang terjadi di dalam sekolah. Apalagi mereka masih mendengar ada suara tembakan.

Beberapa ibu meneriaki polisi. Agar cepat berbuat. Anak mereka sedang terancam nyawa. Polisi bergeming. Desakan kian kuat.

Seorang bapak mendatangi polisi: berikan pada saya rompi dan senjata Anda itu. Saya akan masuk ke sana.

Polisi itu justru marah. Mereka menjawab: sulit mengambil tindakan karena orang tua murid memengaruhi polisi. Akhirnya polisi ''mengusir'' mereka. Tidak boleh bergerombol di depan gerbang. Mereka harus pindah ke area parkir.

Di hari ketiga setelah penembakan kemarin banyak hal mulai terungkap. Lebih jelas. Lebih detail. Begitulah liputan peristiwa besar yang mendadak. Apalagi di zaman sosmed. Di hari pertama yang penting beritanya cepat tersiar. Baru di hari kedua info yang salah-salah bisa dibenarkan. Kelak, seminggu kemudian, semuanya baru bisa gamblang.

Termasuk soal bagaimana cara remaja bernama Salvador Ramos, 18 tahun, itu bisa masuk kompleks SD Robb Elementary School. Yang di pinggir kota amat kecil Uvalde, Texas.

Berita hari pertama: Ramos lewat pintu belakang. Pintu arah barat. Di situ Ramos sempat berbantah dengan polisi sekolah. Sore harinya ada berita baru: Ramos masuk dengan loncat pagar.

Di hari kedua semuanya baru jelas: ternyata Ramos lewat pintu biasa. Yang tidak dijaga. Tidak pula dikunci. Begitu keterangan resmi polisi setempat.

Dan itulah yang menimbulkan kemarahan. Mengapa tidak ada polisi di situ. Juga bagaimana pintu tersebut tidak dikunci. Padahal sekolah ini punya SOP pengamanan rinci sekali. Semua sudah diatur: petugas harus selalu siap. Pintu harus selalu terkunci.

Biar pun terpencil –SD ini di dekat perbatasan Amerika-Meksiko, hanya satu jam dengan mobil– punya anggaran khusus keamanan. Besar. Tahun 2020 lalu USD 450.000 –setara Rp 6 miliar. Naik dari tahun sebelumnya yang USD 250.000. Hanya untuk sistem keamanan sekolah. 

BERDOAnyar.jpgSeorang lelaki berdoa di makam para korban penembakan sadis Salvador Ramos, 18 tahun. (FOTO: Liz Moskowitz for NBC News)

Rupanya polisi setempat ingin menutupi kelemahannya itu. Makanya sampai ada berita ''lewat pintu belakang dan sempat berbantah dengan polisi penjaga pintu''.

Kalimat itu sendiri sudah menimbulkan tanda tanya besar. Anda pun, yang di Indonesia,  mempertanyakan kalimat itu: kalau memang sempat berbantah dengan polisi mengapa tidak ditembak saja. Atau, setidaknya, diberi bogem mentah. 

Toh remaja itu kerempeng. Atau direbut saja senjatanya.

Ya sudahlah. Di mana-mana orang pandai berkilah. Kadang kilahnya keterlaluan ngawurnya.

Di saat para orang tua murid mendesak polisi, sebenarnya sudah ada polisi di dalam. Tujuh orang. Heran. Mengapa tidak segera mendobrak masuk ke dalam kelas. Kedatangan 7 polisi itu pun sangat telat: setelah 12 menit dari penembakan awal.

Yang disebut penembakan awal, kini juga kian jelas: Ramos menembak dua orang di dekat SD itu. Waktu itu Ramos baru saja mencerobokkan mobil pikap yang ia kemudikan di sebuah parit tak berair di sebelah SD. Di pedesaan Amerika parit itu lebih berupa cekungan tanah. Bukan parit yang ada plengsengannya.

Setelah keluar dari pikap –di Amerika disebut truk– Ramos mengambil senjata dan ransel. Ia sudah memakai rompi. Saat itu ia melihat ada dua orang muncul di jalan itu. Dari sebuah rumah perawatan mayat di dekat SD Robb. Ramos kaget. Dua orang itu juga kaget. Ramos pun menembak dua orang itu. Kena. Tapi meleset. Hanya terluka ringan. Tidak membahayakan.

Dari situ Ramos masuk ke sekolah. Menuju koridor. Lalu masuk kelas terdekat: kelas 4. Sebelum masuk kelas, kini baru lebih jelas. Meski belum jelas sekali. Guru kelas itu, Irma Garcia, melihatnya. Membuka pintu. Bicara dengannya. Ramos hanya menatap mata guru itu. Dengan tatapan yang tajam. Lalu ia mengucapkan kata ini: "Good Night!". Dor!

Ketika Ramos menatap tajam matanyi, Garcia mundur. Akan menutup pintu kelas. Lalu menguncinya. Tapi Ramos sudah lebih dulu menguasai pintu itu. Sambil terus menatap mata Garcia. Yang diakhiri dengan ucapan "Selamat Malam!" itu. Dan dor itu.

Keterangan itu diberikan oleh saksi mata yang melihat sendiri adegan itu. Dia adalah Miah Cerrillo, siswi umur 11 tahun.

Miah juga melihat remaja bersenjata itu menembak guru satunya lagi: Eva Mireles. Mulailah ia menembaki siswa di kelas itu.

Sebagian siswi sempat menyelinap di bawah meja –seperti latihan yang sering mereka jalani. Miah pun sempat sembunyi di balik meja. 

Dia melihat remaja bersenjata itu pindah ke kelas sebelah. Melakukan hal yang sama. Miah berpikir cepat. Dia takut Si penembak kembali ke kelasnyi. Maka Miah putuskan untuk pura-pura mati. Dia menggeletakkan tubuh di lantai. Dia usapkan darah temannyi ke seluruh badannyi.

BERDOAnyar.jpg1.jpgGuru kelas 4 memeluk salah seorang siswinya yang selamat. (FOTO: Wally Skalij/Los Angeles Times)

Miah sempat meraih HP guru yang tewas di sebelahnyi. Dia hubungi 911. Dia minta tolong operator: help. Hanya itu. Lalu kembali pura-pura mati. Lama sekali.

Baru itu yang terungkap. Tentu masih akan banyak lagi detik yang ditunggu. 

Satu-dua hari lagi akan terungkap bagaimana adegan yang rinci di dalam kelas itu. Apa reaksi para siswa saat melihat guru mereka ditembak. Apa yang dikatakan Ramos berikutnya.

Miah melihat remaja bersenjata itu sembunyi tanpa rinci sembunyi di mana. Mungkin di balik meja juga. 

Selebihnya masih gelap. Termasuk bagaimana yang 17 siswa yang masih hidup. Apakah mereka juga pura-pura mati seperti Miah. 

Yang juga masih diselidiki, apakah pintu kelas itu akhirnya dikunci dari dalam. Atau di barikade dengan meja. 

Kok polisi tidak bisa masuk. Kalau pun terkunci bukankah ada cara lain untuk memaksanya: didobrak.

Begitu lama keadaan itu status quo. Sampai akhirnya tiba pasukan polisi penjaga perbatasan. Itu sudah lebih 1 jam setelah penembakan pertama. 

Mereka itulah yang memaksa masuk kelas. Lalu menembak Ramos. Salah satu anggota pasukan itu sendiri tertembak oleh balasan Ramos –tapi tidak parah, akan selamat.

Media besar seperti CNN juga mulai bisa mewawancarai kakek Ramos. Meski hasil wawancara itu minim sekali. Sang kakek tidak ada di rumah saat Ramos menembak istrinya –yang berarti juga nenek Ramos. "Saya tidak habis pikir bagaimana Ramos bisa menembak istri saya," ujarnya pada CNN. "Istri saya itu kan yang merawat Ramos. Memasak untuk Ramos. Juga menjemput Ramos dari tempat kerja kalau pulangnya terlalu malam," tambahnya.

Ramos bekerja sore-malam di resto fast food Wendy's di Uvalde. Dari situ ia punya uang untuk membeli kado ulang tahun bagi dirinya sendiri: dua buah senjata semi otomatis. Hari itu ia genap berumur 18 tahun –boleh memiliki senjata.

Kasus Ramos ini jadi bahan kajian yang rumit. Ramos tidak punya catatan kriminal. Juga tidak ada riwayat kelainan jiwa. Hubungan dengan nenek, orang tua dan masa SD-nya akan menjadi bagian penting dalam kajian.

Tentu Sang Nenek masih lama untuk bisa didengar keterangannyi. Wajahnyi hancur ditembak. Kena rahang dan pipi. "Harus dilakukan rekonstruksi wajah yang berat untuk bisa pulih," ujar Sang Suami.

Kajian itu mungkin juga hanya sebatas ilmu pengetahuan. Tidak akan ada pengaruh apa-apa terhadap perubahan kebijakan. Organisasi senjata api di Amerika (NRA) terlalu kuat.

Pun kemarin (Jumat pagi waktu Texas) tetap diselenggarakan acara itu: konferensi nasional NRA dan pameran besar senjata. Di Texas. Di Houston. Mantan Presiden Donald Trump tetap datang dan memberikan pidato. Tidak ada rasa sungkan dengan tragedi yang baru saja terjadi.

Saya pernah ikut konferensi seperti itu. Selama dua hari. Beberapa tahun lalu. Di Nashville. Saya mendaftar resmi. Bayar USD 100. Tidak ditanya apa pun. Cukup isi formulir. 

Di sela-sela konferensi itu saya melihat pameran senjata. Saya tidak membelinya. Untuk apa. Sulit juga dibawa pulang. Lihat IG @dahlaniskan19. 

Sampai sekarang, tiap tiga bulan, saya dikirimi majalah NRA. Di alamat saya di Amerika.

Mereka tidak mau perdagangan senjata disalahkan. Yang salah adalah orangnya.

Maka penembakan seperti di Uvalde itu belum yang terakhir. Tetap akan terjadi lagi.

Apa boleh buat. 

Berita duka lainnya: suami guru Garcia meninggal dunia. Hanya dua hari setelah sang istri tewas. Mereka mempunyai 4 anak. Yang sulung sedang pendidikan militer. Yang nomor 2 masih kuliah. Yang bungsu masih berumur 13 tahun. "Ia meninggal karena terlalu sedih campur kaget," kata sepupunya. Dua hari ditinggal sang istri ia begitu murung. 

Sang istri adalah cinta sejatinya. Cinta seumur hidupnya. Cinta sejak sama-sama di SMA. (*)

Penulis: DAHLAN ISKAN, Sang Begawan Media.

Komentar Pilihan Dahlan Iskan pada Tulisan Buya Perhatian

edi hartono

Selamat jalan Buya. Tokoh besar penjaga persatuan bangsa. Satu per satu negara ini ditinggalkan guru2 bangsa. Sebelumnya yg sudah mendahului adalah cak Nurcholis Madjid juga KH Hasyim Muzadi. Nama guru2 bangsa yg pernah saya lihat semasa hidup. Yang selalu mengingatkan pentingnya persatuan dan kerukunan; di saat2 dimana muncul figur2 yg mencolokkan perbedaan dan identitas pribadi mereka di mata publik yg beragam warnanya. 

Mirza Mirwan

Man of Integrity. Itulah sebutan yang tepat untuk Buya Ahmad Syafii Maarif, Guru Bangsa yang berpulang kemarin pagi. Saya beberapa kali bertemu beliau, justru setelah beliau tidak menjadi Ketum PP Muhammadiyah. Di Yogya (Perumahan Nogotirto) maupun di Jakarta. Kalau apartemen yang dimaksud Pak DI tadi yang di Kuningan, sebenarnya pemberian seoran pengusaha (saya lupa namanya) yang tidak sampsi hati bila tokoh panutannya harus tinggal di hotel tiap kali ke Jakarta. Maka kalau ditanya soal apartemen itu, beliau bilang punya teman beliau. Beliau hanya sekadar menempati. Kalau saja pengusaha tersebut bilang sebelumnya, beliau pasti menolak. "Kalau tidak sanggup bayar hotel, toh saya bisa tidur di Maarif Institute," kata beliau. Buya berpantang menerima pemberian orang. Maka sia-sia saja bila orang mencoba memberi gratifikasi dalam kedudukan beliau sebagai anggota BPIP, sejak masih menjadi Unit Kerja Presiden. Jauh sebelum meninggal beliau pernah dirawat juga di RS PKU Muhammadiyah. Sebagai mantan Ketum PP, pihak RS menggratiskan biaya perawatan beliau. Tetapi beliau ngotot ingin membayarnya. Ceritanya berbeda kalau soal urusan royalty buku-buku beliau. Meski jumlahnya tidak seberapa beliau pantang dirugikan. Menurut saya, Buya benar-benar meneladani akhlak Pak AR -- bukan Amien Rais, lho, tetapi Abdul Rozak Fakhrudin. Sayangnya, kalau saya teruskan pasti terhalang batas karakter. Tabik.

Johan

Selamat jalan Guru Bangsa. Terima kasih untuk karya dan kontribusinya yang luar biasa untuk bangsa. Saya komentar sedikit mengenai Popwe yang Abah DI sebut di artikel. Potongan bilah bambu bernomor yang dikocok dikenal dengan nama Ciam Sie, (Mandarin : Qian Shi). Sebuah sarana untuk meramal yang bisa ditemukan di Kelenteng Konghucu, Tao, Tridharma, dan Budha Mahayana Tiongkok. Ciam Sie ini merupakan teknik meramal yang disederhanakan dari teknik meramal Yijing (Book of Changes / Kitab Perubahan). Dimana setiap bilah bambu diberi nomor atau langsung ditulis dengan syair atau cerita singkat yang diambil dari puisi dan cerita Tiongkok klasik. Hasil kocokan akan dibaca dan ditafsirkan oleh imam atau tetua agama yang bertugas di kelenteng. Mengenai akurasi dan kemanjuran hasil ramalan tergantung yang minta diramal dan kelihaian yang menafsirkan ramalan. Praktik Ciam Sie ini disamping meramal juga sebagai media konsultasi atas permasalahan hidup yang dihadapi orang yang minta diramal.

thamrindahlan

Berduka cita sedalam dalamnya atas wafat Bapak Bangsa Buya Syafii Maarif. Pemahaman kebangsaan Buya terkait keberagaman sungguh satu hal menyejukkan hati siapa saja. Hal ini menimbulkan kesadaran kesejatian diri bersebab manusia dilahirkan di muka bumi ini tidak bisa memilih. Siapapun seharusnya pasrah atas kejadian dirinya ketika dia berkulit putih, hitam dan juga coklat atau warna lainnya. Itulah takdir. Domain dan otonomi mutlak Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak perlu di permasalahkan lagi. Demikanlah sikap Buya Syafii Maarif nan penuh perhatian kepada siapa saja. Sikap itu terpatri di jiwa Gus Dur serta Bapak Dahlan Iskan dan tentunya kita semua. Dengan demikian kedamaian tercipta ketika perbedaaan itu hanya berkisar pada sebarapa besar sumbangsih kebaikan setiap anak manusia untuk keluarga tercinta, lingkungan, bangsa dan negara dan dunia. Insha Allah Buya Syafii Maarif Husnul Khatimah. Aamiin Ya Rabbal Alamin. Salamsalaman

Mudzakkir H.

Bedakan berpikir liberal dan perpikir moderat... Buya itu berpikir moderat bukan liberal atau sekuler. beliau kaya akan karya dan pemikiran namun tanpa kehilangan identitas keagamaan.

Budi Utomo

Bila Gus Dur dijuluki sebagai Neo-tradisionalis maka Cak Nur dan Buya Syafi’i dijuluki Neo-modernis sekembali Beliau berdua dari Chicago. Gus Dur menyebut Beliau berdua sebagai para pendekar dari Chicago. Apa istimewanya Chicago? Karena baik Cak Nur dan Buya Syafi’i menimba ilmu dari guru Neo-modernis yang sama: Fazlur Rahman Malik (1919-1988). Fazlur Rahman adalah ulama kelahiran Pakistan yang pandangannya semerdeka Gus Dur sampai-sampai difatwa halal darahnya oleh ulama Konservatif di Pakistan. Karena Fazlur Rahman menekankan kontekstual bukan tekstual dari Qur’an. Tahun 1968, Fazlur Rahman bermigrasi ke Amerika Serikat demi keselamatan dirinya. Di Amerika, Fazlur Rahman mengajar di Universitas California dan Universitas Chicago. Buya Syafi’i berkenalan dengan ajaran Neo-modernis dari Fazlur Rahman ketika kuliah S3 di Universitas Chicago. Demikianlah sejarah singkat Sang Neo-modernis, Guru Bangsa, yang inklusif, toleran. Gus Dur nya Muhammadiyah. Selamat jalan Buya. Selamat berkumpul kembali dengan Cak Nur dan Gus Dur. 

Lena Wati

Kl ada keadilan , Tak akan ada persoalan yg mengganggu persatuan , Kl ada keadilan , Tak kan ada persoalan kemiskinan , Semoga pesan Guru Bangsa kt ini , Selalu menggema. Bangsa kita dan Generasi muda nya, Tertulari semangat Beliau u/ menggelorakan sila ke 5. Kl tdk ada keadilan , u apalagi kt hidup , apalagi hidup ber"Bangsa" , Selamat Jalan Guru Bangsaku, Murid2 dan Kader2mu senantiasa bertumbuh di Indonesia, bahkan u Dunia.

Jimmy Marta

Perginya guru bangsa. Buya Ahmad Syafii Maarif memberi keteladanan dalam kehidupan sehari hari. Berintegritas tak mau menerima macam2 fasilitas. Tak mempan rayuan harta dan tahta. Berpikiran jernih tempat meminta nasehat. Pemikiran yang moderat. Bervisi untuk persatuan bangsa. Negara Indonesia yg adil sejahtera. Selamat jalan buya. Semoga semuanya dipermudah untuk buya.

Gianto Kwee

Teringat Iklan Sampoerna Mild di tahun 2000 an, "Menjadi Tua Itu PASTI, Menjadi Dewasa Itu PILIHAN" Saya sangat kagum akan beliau dan terus belajar untuk makin Dewasa sampai menjadi Dewasa yang sempurna, yaitu tinggal dirumah Type 21

Mirza Mirwan

Mungkin banyak yang tidak tahu kalau Buya itu humoris. Kalau bercerita riwayat rumahtangganya, siapapun yang mendengar pasti geli. "Lif itu kan cantik, anak saudagar pula, kok ya mau jadi isteri orang miskin seperti saya," kata Buya. Lif adalah panggilan isteri beliau, Nurkhalifah. Beliau juga memanggilnya "si Kecil", karena perawakan Bu Lif yang kecil. Buya bilang, dulu menikahi Bu Lif tanpa modal -- semuanya ditanggung mertuanya. Juga cerita bahwa rumahtangganya seperti kebanyakan rumahtangga lain. Sesekali terjadi juga pertengkaran kecil. Tapi begitu selesai bertengkar ya sudah. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalau mesti marah ya marah saja, jangan ditahan, nanti malah jadi penyakit. "Makanya saya itu heran, punya isteri satu saja ribut, gimana yang 3, 4, itu, ya!" kata Buya. Buya juga memuji Bu Lif sebagai sangat dermawan. Buya mengaku kalah soal kedermawanan itu. Itulah Buya Ahmad Syafii Maarif, Guru Bangsa, yang meninggal dalam usia 87 tahun (kurang 4 hari). Sebagai penerima Bintang Mahaputera Utama, Buya pasti tahu bahwa kalau meninggal ia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tetapi ia malah sejak Februari lalu sudah pesan 'kavling' di Pemakaman Muhammadiyah Khusnul Khatimah, di Kulon Progo. Kemarin itu saya sedih juga. Rencananya bakda Jumatan mau berangkat ke Yogya, tspi anak teman saya bilang jenasah Buya akan dimakamkan bakda Ashar. Jadinya hanya bisa Shalat Ghaib seusai shalat Jumat.

Akagami Shanks

Libur dulu bahas itunya. Besok saja. Mau menghormati ini dulu. Bukan itu poin kenapa saya ngeyel ini harus di bahas. Tapi ini saja sedikit bocoran. Pawang buaya harusnya berjaga. Supaya buaya-buya tidak melewati tembok pembatas. Jika sampai melewati tembok pembatas. Maka buaya-buaya akan gercep untuk membuka kulkas yang di dalamnya ada daging segar.

Waris Muljono

Semula hati saya "bombong" . Sy ini selevel sama buya, sang guru bangsa. Yaitu dlm hal sama sama pembaca disway. Semenit kemudian bombong saya ilang, ketika menyadari bahwa di level pembaca disway pun sy ga bisa di sandingkan dgn buya. Buya bisa langsung WA ke penulis disway, sy tidak. Utk menghibur diri, sy kembalikan bombong sy. Komentar sy di disway pernah jadi komentar pilihan, buya rasanya tak pernah. Heheh Lalu bombong sy ilang lagi. Karena komentar buya langsung ke WA , bahkan langsung di follow up. Bukan sekedar komentar, bahkan di buatkan tulisan obituary. Selamat jalan buya, sang guru bangsa

Juve Zhang

Sekalian turut berduka buat pak Ridwan Kamil yg anaknya hilang di sungai di Swiss, walaupun belum ketemu ,logika nya sulit bertahan di arus kuat dengan suhu dingin karena air lelehan salju. Beberapa hal kita catat dari berita. 1. Dilarang Berenang di sungai Aaree itu ditulis dalam 10 bahasa. Mengapa tidak baca pengumuman? 2. Istri pak RK dan anak wanita nya juga berenang , sungguh bahaya kalau semuanya hanyut. 3. Pak RK tidak mendampingi, kalau ada mungkin bisa ngasih warning, ingat kata kata Don Corleone, sang Godfather, "wanita dan anak anak boleh ceroboh, tapi Laki laki dewasa tidak boleh ceroboh". 4. Eril anak Pak RK ke Swiss dalam rangka cari beasiswa buat S2, acungkan jempol buat niat cari beasiswa, biasanya kalau anak setingkat bupati/walikota saja malas nyari beasiswa karena di rumah sudah numpuk "cek " ,"giro" " emas batangan" "valas" berbagai negara, beasiswa itu sudah"kuno" menurut anak anak pejabat tinggi.

Komentator Spesialis

Bulan 5 baru awal musim panas. Bukan cuman air sungai. Buat kita di katuliatiwa kondisinya masih terasa dingin. Bisanya berenang itu bulan 7-8.

Mbah Mars

Ada kelakar di kalangan Muhammadiyah. Begini: Meski merokok adalah haram menurut Muhammadiyah, tetapi banyak juga para pimpinannnya yang merokok. Ketika ditegur, dengan enteng mereka menjawab, "Kami ini, para perokok di Muhammadiyah adalah pengikut Madzab Maliki. Sedang yang tidak merokok adalah pengikut Madzab Syafi'i". Yang dimaksud Madzab Maliki adalah kelompoknya Pak Malik Fajar yg perokok berat. Sedang Madzab Syafi'i adalah Buya Syafi'i Ma'arif yg tidak merokok.

Mbah Mars

Buya Syafi'i memang pegiat pemikiran yg liberal di Muhammadiyah bersama-sama dengan Prof Amin Abdullah dkk. Meski pemikiran liberal tetapi jangan tanya kesalehan personal beliau. Jika kita mau menemui beliau, biasanya akan ditemui di masjid, selepas shalat berjamaah. Terasa sejuk dan nyaman, bertemu beliau di masjidnya.

Komentator Spesialis

Salah satu hal yang kontroversi dari beliau adalah pembelaannya terhadap ahok. Entah apakah beliau masih bahagia melihat ahok dalam mengelola Pertamina yang kabarnya akan rugi besar itu. Tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Tapi gercep menaikkan harga bbm saat naik. Bukan rahasia lagi beliau adalah pengusung paham Islam liberal di tubuh Muhammadiyah sendiri. Ada JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan juga Ma'arif Institute. Saya saat awal berdiri sering ke kantor Ma'arif Institute di Menteng, karena kebetulan banyak teman disitu. Di Muhammadiyah ada pemikir dan ulama. Ulama tempatnya di majlis tarjih. Syukurlah masih banyak mereka yang tidak terpengaruh pemikiran Islam liberal. Terlepas dari semua itu, jasa beliau kepada Muhammadiyah dan bangsa ini sangat besar. Kesederhanaan beliau. Kejujuran beliau. Tidak ambisi. Itu yang harus kita teladani. Kita doakan beliau Buya Syafi'i Ma'arif rohimahulllah husnul khotimah. Dilapangkan kuburnya, dan diberikan tempat yang baik di sisi Allah SWT. Selamat jalan Buya ! Selamat kembali ke kampung akhirat.

Liam Then

Intelektual sekaligus ahli agama yang sangat langka. Lantang berkata dan jelas bertindak .Terang pemikiran Pak Syafi'i Ma'arif mencerahkan pemikiran anak bangsa. Semoga damai abadi disana. 

*) Diambil dari komentar pembaca http://disway.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda