Media Barat Sontoloyo

FOTO: abc.net.au

COWASJP.COM – SESEKALI mungkin kita perlu mengkritisi media Barat. Laporan tentang apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, misalnya, ternyata tidak semuanya benar. Hal ini antara lain mengingatkan kita akan invasi Amerika Serikat (AS) ke Iraq pada 2003. Setelah Presiden George W. Bush menuduh Presiden Iraq Saddam Husein memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan tak berdasar yang digoreng habis-habisan oleh media Amerika dan sekutu-sekutu Baratnya. 

Perhatikan saja tanggal bersejarah dalam aksi pendudukan yang main hakim sendiri itu. Invasi dimulai pada 20 Maret 2003. Tanggal 9 April pasukan AS berhasil merebut Baghdad. 

Tanggal 1 Mei 2003, Bush mengumumkan akhir dari operasi penggulingan Saddam Hussein. Yang ditandai juga dengan aksi perampasan banyak sekali harta kekayaan rakyat Iraq. Khususnya minyak. 

Lalu pada 2 Oktober 2003, AS mengakui TIDAK DITEMUKAN SENJATA PEMUSNAH MASSAL.

Sungguh aneh bin ajaib. Karena alasan utama dilakukannya invasi terhadap pemerintahan yang berdaulat di Iraq adalah karena tuduhan adanya senjata pemusnah massal. 

george-w-bush.jpgPresiden George W. Bush dan jajaran administrasinya bohong. Mereka bilang di Iraq ada senjata pemusnah masal. Sebenarnya tidak ada. Dan tidak pernah ada. (FOTO: tirto.id)

Lalu tanggal 2 Oktober 2003, Saddam Hussein ditangkap di dekat kampung halamannya di Tikrit. Setelah sembilan bulan lebih dalam pelarian. Diberitakan secara bombastis layaknya binatang yang digali dari dalam tanah. Seperti bangkai hidup yang berharap belas kasih. Lalu menjalani hukuman gantung dengan tegar dan penuh keberanian tiga tahun kemudian. 

Memperlihatkan dirinya yang berjuang demi kebenaran dan menolak segala bentuk kemungkaran. 

Dan media Barat memberitakan aksi penangkapan dan perburuan yang luar biasa itu secara sangat bombastis. Tanpa merasa malu bahwa tuduhan yang mereka goreng selama ini ternyata palsu. Menghancurkan negara orang dengan alasan BOHONG. Seenaknya sendiri. 

Mereka begitu jumawa memberitakan peristiwa-peristiwa besar. Dengan mengabaikan segala bentuk fakta. Dengan menutup mata terhadap pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM), yang selalu mereka agung-agungkan.

Apakah sekali itu saja media Barat berbohong dan membodohi masyarakat dunia? 

gedung-di-irak.jpgAsap membubung ketika Gedung Kementerian Perencanaan Iraq dihantam rudal Amerika Serikat, 20 Maret 2003. (FOTO: RadioFreeEurope Radio Liberty - rferl.org)

Ternyata hal itu seringkali terjadi dan dilakukan berulang-ulang. Untuk sekadar menyebutkan beberapa contoh, di luar kejadian yang banyak sekali. Lihat saja misalnya pemberitaan tentang Serangan 11 September 2001. 

Sampai hari ini, jika kita buka Wikipedia, masih tertulis bahwa Serangan 9/11 adalah serangkaian serangan bunuh diri oleh kelompok teroris Al Qaeda. Dengan target beberapa tempat penting di New York City dan Washington, D.C. 

Padahal belakangan diakui sendiri oleh pemerintah AS bahwa serangan terhadap menara kembar the World Trade Center (WTC) di New York City adalah rekayasa pemerintah AS sendiri. Karena gedung itu memang sudah direncanakan untuk dihancurkan. Lalu kemana berita tentang 3.000 jiwa lebih korban reruntuhan yang menurut tuduhan akibat serangan teroris Al Qaeda?

Seperti dilansir the Onion, AS mengakui bahwa CIA telah dengan terburu buru menghakimi Al Qaeda sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. 

Karenanya Direktur CIA Gina Haspel mengeluarkan permintaan maaf kepada keluarga Osama bin Laden, Rabu (20/10/2021). Setelah mendapatkan bukti-bukti baru bahwa pemimpin organisasi yang dicap teroris itu tidak ada sangkut pautnya dengan Serangan 11 September. 

rudal.jpgRudal Tomahawk pertama yang ditembakkan ke Iraq dari USS Bunker Hill di Teluk Persia, 20 Maret 2003. (FOTO: rferl.org)

“...........Kami memahami bahwa tidak ada yang bisa kami lakukan atau katakan akan mengembalikan Osama. Tetapi kami berharap keluarga bin Laden akan menerima ganti rugi $ 18 juta, sebagai pengakuan atas rasa sakit dan penderitaan mereka. Tidak ada yang layak untuk menanggung apa yang telah Anda lalui," demikian Haspel seperti dikutip sejumlah media. 

Begitu pula aksi penangkapan dan pemenjaraan secara tidak berprikemanusiaan terhadap sejumlah orang yang dicap teroris. Di penjara paling menakutkan sejagad di Teluk Guantanamo. Yang dilakukan secara semena-mena. Tanpa adanya perlindungan sama sekali dari pemberitaan media Barat. 

RUSIA vs UKRAINA

Konflik Rusia vs Ukraina sekarang ini tak dapat dihindari jadi santapan lezat media-media besar Barat. Yang tidak peduli terhadap ketentuan “cover both side”. Yang tidak mau tahu apakah pemberitaan mereka obyektif atau tidak. Mengandung unsur keadilan yang berdasarkan fakta lapangan atau tidak. Padahal masyarakat dunia mestinya diberi tahu gambaran besar dari peristiwa yang sedang berlangsung. 

Sejumlah kebohongan dan aksi tutup mata dari media Barat terhadap apa yang berlangsung di Ukraina sekarang  mulai terbuka sedikit demi sedikit. Dalam sebuah video yang beredar di youtube beberapa hari lalu, Kremlin membongkar kejahatan yang dilakukan pemerintah Ukraina saat mendapatkan serangan dari militer Rusia. 

Direktur Departemen Informasi dan Pers Kementerian Luar Negeri Federasi Rusia,  Maria Zakharova,  mengungkapkannya dengan kata-kata: Aksi rezim Ukraina mengungkapkan sifat kriminalnya. 

Dinyatakan oleh Zakharova, operasi militer khusus Rusia di Ukraina sejak 24 Februari 2022 memiliki tujuan spesifik. Yaitu untuk menyasar pemimpin Ukraina yang selama delapan tahun anti-kebijakan Rusia. Sejak menggulingkan pemerintahan yang sah secara inkonstitusional pada 2014, mereka mengabaikan hak-hak masyarakatnya. 

Dijelaskannya, semua itu akhirnya disalahgunakan kekuatan Neo-Nazi dengan dukungan dunia barat. "Angkatan Bersenjata Ukraina dan neo-Nazi menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia. Mereka menyebarkan senjata di daerah pemukiman," ujar Zakharova. "Ini adalah taktik teroris yang menyandera orang biasa hingga menganggapnya hal biasa," tandasnya.

Banyak pengamat menilai, Rusia tampak bermain tenang dalam invasi ke Ukraina ini. Mestinya dalam tempo singkat Rusia mampu merontokkan kepemimpinan Presiden Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy. Sekarang sudah lebih dari 10 hari, kok sepertinya tidak banyak kemajuan? Sehingga melahirkan pertanyaan: Apakah Rusia tidak ingin mengorbankan rakyat sipil yang dijadikan perisai hidup? 

Sementara itu, sejumlah laporan bicara lain. Di antaranya, sejak aksi kudeta 2014, pasukan Ukraina yang bernuansa Neo-Nazi membunuh warganya yang berbahasa Rusia di Donbass di bagian Timur negeri itu. Ini berlangsung hampir setiap hari. Sehingga Rusia meminta jaminan hukum atas perlakuan tersebut. Tapi dunia Barat, termasuk PBB dan media Barat lainnya diam. 

Jangankan memberikan tanggapan positif, NATO, AS dan Uni Eropa malah tanpa malu-malu menjadikan Ukraina sebagai negara yang kebal hukum. Dan PBB lagi-lagi diam. USA dan EU membiayai Ukraina dengan impunitas, dan PBB diam. Ketika Rusia meminta Ukraina memperlihatkan komitmennya sesuai Perjanjian Minsk 1 dan 2 – termasuk tidak lagi melakukan serangan terhadap penduduk sipil di Donbass – tetap tidak ada tanggapan dari Presiden Zelensky. 

Sedangkan AS dan sekutunya membangun laboratorium senjata biologi di Ukraina dan sementara Ukraina menyatakan ingin bergabung dengan NATO. Laboratorium2 itu adalah seperti laboratorium di Wuhan yang diduga mengembangkan virus Wuhan sebagaimana terungkap dalam email di laptop Fauci yang disita dan dibocorkan. 

Wajar jika Putin mengambil tindakan tegas mengakhiri ancaman itu bagi rakyatnya dan juga bagi Dunia.

Meskipun sebagian besar media Barat tutup mata terhadap perlakuan Ukraina, namun ada juga di antara tokohnya yang menaruh simpati terhadap Rusia. Thomas L. Friedman, kolumnis ternama dan pakar hubungan luar negeri Amerika, menegaskan dalam ulasannya di the New York Times. Bahwa pemerintah AS seharusnya bertanggung jawab atas memburuknya hubungan Amerika dengan Rusia. Karena memberi lampu hijau untuk perluasan NATO. 

Saat ini NATO sudah beranggotakan 30 negara. Termasuk tiga negara bekas Uni Sovyet. Yaitu Estonia, Latvia dan Lithuania. Sementara Georgia yang juga bekas Uni Sovyet telah melamar menjadi anggota Uni Eropa. Di luar itu, sejumlah negara bekas Sovyet lainnya juga terus dirayu untuk bergabung. Satu hal yang oleh Rusia dipandang sebagai tindakan yang terus mengancam eksistensinya. 

Dipandang dari sudut geostrategis, negara mana pun yang dalam posisi tertekan seperti Rusia tentu akan melakukan perlawanan. Apalagi Rusia bukan negara “kaleng-kaleng”. 

Sisa-sisa kekuatan bekas Uni Soviet masih dimilikinya. Dan walaupun sudah lebih terbuka secara ideologis, Rusia masih dipandang dengan hormat oleh beberapa negara komunis, seperti Cina maupun Korea Utara. Karenanya upaya AS untuk mengadu domba Rusia dan Cina belakangan menjadi isu yang sexy juga. Karena berhasil membangkitkan kemarahan Cina sekaligus membangkitkan semangat setia kawannya terhadap Rusia. Begitu juga Korea Utara, yang walaupun tidak banyak bicara, tetapi telah siap-siap untuk berada di belakang Rusia bila keadaan memburuk. 

Dan kebanyakan orang juga lupa bahwa pemberitaan tentang Putin seringkali dilakukan seperti pemberitaan terhadap Saddam Hussein maupun Presiden Libya Moamar Khadafi tempo dulu. Sebelumnya, bukankah cukup santer dalam pemberitaan media Barat yang sontoloyo tentang Presiden Republik Afrika Tengah, Jean-Bedel Bokassa, yang dituduh kanibal alias pemakan daging manusia? Begitu juga tudingan terhadap Presiden Uganda Idi Amin Dada sebagai peminum darah manusia. 

Dan jangan lupa pula bahwa Rusia kini lebih terbuka kepada warganya pemeluk agama. Sehingga kegiatan peribadahan – baik oleh umat Islam maupun Kristen – belakangan tampak semarak. Bahkan pemimpin negara Islam Chechnya, Ramzan Khadirov, baru-baru ini menyatakan bahwa negaranya siap bergabung dengan Rusia dalam konflik melawan Ukraina. Dan alasan utama bergabungnya Khadirov – menurut Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES), Dina Y Sulaeman, bukan semata-mata untuk menyerang Ukraina. Tapi untuk menyerang kekuatan besar di belakang Ukraina, terutama Amerika Serikat. 

Sekarang kita menyaksikan konflik ini berlangsung tidak begitu offensive. Tapi siapa tahu ini akan memicu pecahnya perang yang lebih dahsyat.(*) 

Bandung, 5 Maret 2022.-

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda