Mendingan Mudik Saja

Sejumlah warga antre untuk membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Halaman Kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022). (FOTO: bisnis.com/ Eusebio Chrysnamurti)

COWASJP.COM – BANYAK orang yang marah melihat keadaan. Ekonomi sulit. Kehidupan morat-marit. Pandemi Covid-19 entah sampai kapan berakhirnya. Dengan segala problematika yang ditimbulkannya. Dengan kebijakan PPKM yang terus berlanjut. Lalu terjadi pula kelangkaan beberapa barang kebutuhan pokok. Semua ini seakan sudah jadi azab tersendiri bagi rakyat yang tidak tahu apa salahnya. Sehingga mereka pasrah saja. Karena tidak punya tempat mengadu.

Sekarang, beberapa pengamat mengingatkan. Bahwa sejumlah persoalan hidup yang dirasakan rakyat saat ini akan meningkatkan “distrust” (ketidakpercayaan) anak bangsa terhadap pemerintah. Sebut saja misalnya kelangkaan minyak goreng. Sehingga harganya pun melambung tinggi. Begitu juga kelangkaan dan melambungnya harga kedele. Sehingga produsen tempe dan produk yang berbahan kedele lainnya dibuat kalang kabut. 

Sejumlah persoalan lain juga membuat rakyat mengelus dada. Seperti penderitaan warga desa Wadas yang digerudug ratusan satuan polisi bersenjata lengkap. Rencana  pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang terus mengundang polemik. Masalah vaksin dan swab anti-gen maupun PCR yang terkesan dipaksakan. Keharusan seluruh warga negara memiliki BPJS, agar dapat mengakses pelayanan publik. 

Selain itu, beberapa kebijakan Kemenag yang sepertinya hanya diarahkan kepada umat Islam. Yang mengekang aktifitas keagamaan mereka. Mulai dari kebijakan pengunduran hari besar Islam dari tanggal semestinya. Jama’ah masjid harus berjarak 1 meter antara satu dengan yang lain. Lansia di atas 60 tahun sholat di rumah saja. 

Terakhir, aturan penggunaan pengeras suara. Berikut tudingan radikal-radikulnya yang tidak pernah diarahkan kepada penganut agama lain.  Masalah penganggguran, kemiskinan dan banyak hal lainnya. 

Semua itu seperti tidak disadari pemerintah mengakibatkan meningkatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap segala kebijakan yang dijalankannya. Karena segala bentuk protes tidak ditanggapi sebagaimana mestinya. Seperti bunyi pepatah: biarpun anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. 

Tadi pagi, saya berbincang dengan seorang sahabat. Soal kondisi kehidupan anak bangsa di negeri yang katanya kaya raya. Negeri  yang orang bilang tanah surga. Di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Seperti lirik lagu Koes Plus yang begitu terkenal itu. Tapi rakyatnya menjerit karena dihimpit kesulitan hidup yang tidak terperi. 

Bagi mereka yang pernah merasakan hidup di era awal 1960-an, kondisi kehidupan sekarang dianggap sama dan sebangun dengan situasi di kala itu. Ketika pemerintahan Presiden Soekarno begitu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan tokoh-tokoh bangsa – khususnya para pemimpin Islam yang anti-komunis – banyak yang ditangkapi. Dipenjarakan dalam jangka waktu yang tidak jelas. Tanpa proses pengadilan. Apalagi bagi mereka yang dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. 

“Antri sejumlah barang kebutuhan pokok waktu itu juga terjadi di mana-mana,” kata sahabat saya. 

“Oya?” Sebenarnya saya tidak terkejut. 

“Ya. Bahkan waktu itu lebih parah.”

Beberapa informasi seputar kondisi politik dan ekonomi kala itu tentu membuat kita cukup tercengang. Karena kondisinya sebagian dapat kita saksikan dan kita alami sekarang. 

Di era demokrasi terpimpin Soekarno, banyak orang yang terkapar secara ekonomi. Tapi di saat yang sama terdapat segelintir orang yang justru jadi makmur dan kaya raya. Karena berhasil mendekat ke tampuk kekuasaan. Karena berhasil memperoleh sejumlah konsesi proyek tertentu. Karena rakus juga dan tidak pernah berpikir tentang kehidupan rakyat yang makin sengsara. 

Sebuah tulisan Wartawati senior Nanik S. Deyang hari-hari ini beredar di berbagai platform media. Yang bicara tentang para taipan dan konglomerat Cina pengusaha batu bara yang bisa menghasilkan uang sampai Rp 500 triliun setahun. Sehingga, katanya, dengan kekuatan uang mereka bisa dengan mudah mengendalikan partai. 

Mengutip ekonom senior Faisal Basrie, Nanik menulis: “Dan bagi mereka kecil jika hanya mengeluarkan uang 50 triliun untuk memenangkan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka inginkan.”

Sebegitu parahnyakah? 

Di era 1960-an itu, harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak luar biasa. Berbarengan dengan inflasi yang meningkat tidak karu-karuan. Bahkan sampai beberapa ratus persen. Hal ini diperparah lagi oleh kelangkaan sejumlah barang kebutuhan pokok. Sehingga menjadi pemandangan yang umum di mana-mana. Ketika rakyat harus antri untuk dapat membeli beberapa barang kebutuhan tertentu. 

Yang cukup menarik, bagaimana pemerintah terus mengumbar semangat revolusi yang kian kebablasan. Ambisi Presiden Soekarno agar  Indonesia tampil merdeka secara ekonomi dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan melakukan kebijakan pembatasan masuknya modal asing. Sementara kemampuan pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dalam kaitan dengan itu semakin jongkok. 

tempo.jpgCover Majalah Tempo edisi 7 Februari 2022. (FOTO: indonews.id)

Keputusan untuk mengatasi persoalan dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya justru makin mempersulit keadaan. Apalagi ketika pemerintah memberlakukan kebijakan sanering. Dengan menetapkan nilai mata uang Rp 1.000,- menjadi Rp 100,- Dan pecahan Rp 500,- menjadi Rp 50,- 

Waktu itu, informasi tentang kebijakan sanering masih lambat menyebar. Tidak seperti sekarang yang ditandai sebagai zaman internet. Sehingga mereka yang memiliki pecahan Rp 1.000,- dan Rp 500,- menyerbu pertokoan dan pusat perbelanjaan. Awalnya, para pemilik toko sangat senang. Karena barang dagangan mereka laku keras. Tapi mereka kemudian sadar. Uang Rp 1.000,- dan Rp 500,- yang mereka pegang tidak lagi sama nilainya dengan sebelumnya. Sehingga situasi jadi sangat kacau. Para pedagang itu kemudian menyerbu desa-desa. Membeli produk para petani dengan harga murah. Sementara nilai mata uangnya sudah tidak sama. Karenanya yang mengalami penderitaan terakhir adalah kaum petani yang papa. 

Lalu apa bedanya dengan sekarang? 

Bedanya, kalau dulu pemerintah menetapkan kebijakan pencetakan uang untuk mengatasi keadaan, sekarang dengan cara mencari dan menambah utang. Dulu, di era Soekarno, semangat revolusi untuk menolak segala bentuk imperialisme dan kolonialisme begitu menyala-nyala. Sehingga segala bentuk pengaruh asing ditolak mentah-mentah. Sampai-sampai terjadi kebijakan “ganyang Malaysia”. Karena Soekarno melihat adanya upaya Inggris dalam tanda petik untuk menjajah kembali. Dengan membentuk persemakmuran dengan Malaysia, melibatkan beberapa wilayah seperti Sabah, Serawak dan Brunei. 

Sekarang, semangat revolusi memang tidak ada. Tapi ambisi untuk membangun berbagai infrastruktur dengan tidak berpikir panjang tentang kesiapan dananya juga tidak kurang menyala. Tapi dengan cara seolah menyerahkan leher kita kepada asing, untuk minta dijajah kembali. 

Apakah ini hanyalah perasaan kita saja? Ternyata tidak! Memang begitulah kenyataannya. 

ADA PERSAMAAN

 Situasi dan kondisi dulu dan sekarang memiliki persamaan dalam banyak hal. Karena demokrasi yang diagung-agungkan itu hanya dijadikan slogan tanpa makna. MPR dan DPR, termasuk lembaga-lembaga yudikatif dibuat tak berdaya. Bahkan presiden dapat membubarkan lembaga perwakilan rakyat itu suka-suka dia. Adu domba terjadi di mana-mana. Masyarakat terbelah antara yang pro-komunis dan anti komunis. Selain para tokoh bangsa yang ditangkapi dengan semena-mena, tidak sedikit pula di antara mereka yang dipersekusi dan dikriminalisasi. Dengan berbagai cara. Dengan berbagai modus yang didasarkan kebencian. Atas dasar suka dan tidak suka. 

Akankah keadaan seperti itu kita alami lagi di masa datang? Yang pasti, sekarang anak bangsa ini juga terpecah jadi dua. Antara cebong dan kampret. Antara yang dicap pro dan anti-pemerintah. Yang pro dilindungi, yang anti dilibas. Tidak ada bedanya dengan yang pro dan anti-komunis di era Orde Lama. Bahkan kondisi sekarang lebih diperparah lagi oleh adanya BuzerRp yang main serang dan main hantam sana-sini. Karena dibayar, mereka tidak peduli maju atau pun hancurnya bangsa ini.  

Untuk meraih kehidupan yang lebih baik, sudah menjadi kelaziman orang-orang muda dari desa merantau ke kota. Di era Orla, Orba maupun era Reformasi, sama saja. Tapi ketika kondisi ekonomi semakin sulit, tidak sedikit orang yang tidak dapat bertahan lagi menjalani kehidupan di kota. Sehingga mereka mengambil keputusan untuk mudik alias pulang kampung saja. Dari pada jadi gelandangan. 

Memilih kembali hidup bersahaja. Dengan kembali jadi petani. Agar dapat makan seadanya. Dari pada tinggal di kota tapi dirundung rasa lapar yang terus mengancam jiwa. 

Sekarang tidak sedikit orang yang memutuskan untuk mudik alias pulang kampung. Karena merasa tak mungkin lagi bisa bertahan di Jakarta dan beberapa kota perantauan lainnya. Sebab bagaimana mungkin bisa bertahan, kalau PSBB dan PPKM terus diperpanjang dan diperpanjang. Bagi orang Minang yang kebanyakan pedagang, misalnya, usaha perdagangan kian sulit. 

Terutama karena kesulitan membuka usaha. Sementara daya beli orang pun semakin lemah. Padahal kontrak toko harus dibayar. Kontrak rumah pun sama juga. Bertahan di kota dengan situasi yang tidak menentu sama juga dengan bunuh diri. 

Karenanya, pilihan terakhir: mendingan mudik saja! (*

Bandung, 21 Februari 2022.-

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda