Sang Begawan Media

Ekstradisi Paulus

Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos. (FOTO: kolase)

COWASJP.COM – CALON yang akan ditangkap sudah ada: Paulus Tanos. Saya kenal orang itu: sembunyi secara terbuka di Singapura. Kabarnya sudah pula ia jadi warga negara tetangga itu. 

Suatu hari Paulus mengajak saya makan pagi. Di sebuah hotel bintang lima+ di dekat rumah saya: SCBD, Jakarta.

Waktu itu saya belum lama menjabat dirut PLN. Saya tahu: setahun—atau dua tahun? — sebelumnya, Paulus memenangkan proyek besar di PLN. Yakni membangun pembangkit listrik ukuran terbesar saat itu: 800 MW. Di Suralaya, Banten. 

Kalau sekarang, proyek sebesar itu bisa berharga lebih dari Rp 6 triliun.

Tentu saya mau memenuhi ajakannya: tinggal jalan kaki menyeberang jalan. Saya ajak serta Robert Lai, teman saya dari Singapura.

Kepentingan saya satu: agar proyek itu tidak mangkrak. Saya tidak bertanya bagaimana cara ia memenangkan proyek itu. Bahkan, rasanya, ia juga memenangkan proyek yang lebih besar lagi di Cilacap: PLTU Adipala.

Selesai sarapan Paulus memanggil pelayan: Ia akan membayar sarapan itu.

"Sudah diselesaikan....," ujar Si pelayan sambil melirik wajah Robert.

Sambil berjalan pulang Robert membisiki saya: "Anda tidak boleh dibayar orang yang punya proyek di PLN."

Robert tidak hanya menjaga saya di bidang kesehatan —waktu itu saya masih dalam pengawasan khusus setelah transplant hati— tapi juga hal-hal seperti itu.

Belakangan, ternyata, Paulus punya masalah besar. Bukan soal proyek di PLN itu, tapi di proyek triliunan rupiah  berikutnya: E-KTP.

Saya baru tahu dua tahun kemudian. Yakni setelah dilantik menjadi sesuatu dulu. Hari itu justru saya yang ingin bertemu Paulus: mengenai urusan E-KTP. Yakni setelah saya tahu: ternyata ia yang memenangkan proyek itu. 

Saya tidak akan bertanya bagaimana ia bisa memenangkan proyek sebesar itu. Saya hanya ingin bertanya: mengapa pencetakan E-KTP tersendat-sendat. Pun sejak tahap perekaman datanya.

Ini menyangkut nama BUMN: ketua konsorsium yang memenangkan tender itu adalah perusahaan BUMN. Yakni PT PNRI —Percetakan Negara Republik Indonesia.

Saya heran. Kok PNRI bisa menang tender begitu besar. Bukankah PNRI itu perusahaan kecil sekali.

Sejak lama saya tahu kondisi sulit PNRI: sesama bisnis percetakan masing-masing tahu isi perut yang lain. 

"Kalian ini hanya dipakai ya? Hanya jadi kuda tunggangan ya?" kata saya pada dirut PNRI saat itu.

Saya tidak memerlukan jawaban. Di BUMN, PNRI digolongkan ke BUMN duafa.

Rupanya Paulus Tanos itu yang mengajaknya bergabung dalam satu konsorsium tender E-KTP. Tanpa itu mana mungkin perusahaan duafa menang tender proyek Rp 2,3 triliun. 

PT PNRI memang perusahaan percetakan, tapi tidak punya mesin untuk mencetak e-KTP.

Saya pun meninjau fasilitas mesin cetak yang disiapkan Paulus. Di Jalan Gatot Subroto. Di sebuah gedung baru tinggi. Itu mesin baru. Setidaknya baru didatangkan. 

Saya pun bisa langsung menilai: mesin itu tidak akan mampu menyelesaikan proyek besar.

Maka saya bicara apa adanya pada dirut PNRI: sekarang ini, satu kaki Anda sudah di penjara. Pasti. Ini akan terbongkar. Tinggal tunggu waktu.

Proyek e-KTP adalah mulia. Agar sistem kependudukan Indonesia membaik. Ini soal yang amat strategis untuk menyelesaikan persoalan mendasar bangsa. Proyek ini harus selesai. Tapi tidak mungkin dengan alat seperti itu.

Akhirnya KPK turun tangan. Dirut PNRI masuk penjara. Pejabat tinggi bidang kependudukan Kemendagri dihukum juga.

Paulus Tanos lari ke Singapura.

Paulus-Tannos.jpg1.jpgPaulus Tannos ketika memberikan kesaksian melalui telekonferensi pada persidangan Kamis 15 Februari 2018. (Foto: Sindonews.com/Dok - iNews.id)

Awalnya banyak yang mengira Paulus takut pada KPK. Belakangan muncul dugaan: Paulus takut pada seseorang —yang bisa membunuhnya.

Paulus dinilai berkhianat dalam bisnis. Ia tidak mau menggunakan peralatan dari pihak yang merasa mendapat komitmen untuk itu.

Bisa juga itu hanya dalih Paulus untuk tidak mau pulang.

Di Singapura Paulus tidak benar-benar ngumpet. Ia sering memberi keterangan pers. Berarti ia tidak bersembunyi. 

Pun dua hari lalu: ia masih bicara kepada media. Bahwa putrinya, Paulin Tanos, tidak tahu apa-apa soal proyek e-KTP. "Begitu tamat SMA di Jakarta tahun 2007, Paulin kuliah di luar negeri," ujar Paulus kepada media.

Sang putri memang dikabarkan dipanggil KPK. Sekarang ini. Soal yang sama. Tapi Paulus membantah itu. Tidak ada satu pun surat panggilan untuk Paulin.

Paulin aman. Paulus pun aman. Biar pun kini ada perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Presiden Jokowi dan PM Lee Hsien Loong Selasa lalu. Apalagi kalau Paulus sudah benar-benar menjadi warga Singapura.

Atau tidak bisa aman. Perjanjian ekstradisi itu berlaku mundur: mencakup tindakan 18 tahun sebelumnya.

Media di Hongkong juga menyebutkan kewarganegaraan Paulus tidak berpengaruh. Dalam perjanjian ekstradisi itu berlaku: kan masih warga negara Indonesia saat tindakan kriminal itu dilakukan. 

Hebat sekali. 

Kalimat-kalimat heroik pun mewarnai jagat media awal pekan ini: terkait keberhasilan Presiden Jokowi merebut kedaulatan udara di atas Riau Kepulauan (Disway 26/1/2022). Juga atas keberhasilan membuat Singapura mau menandatangani perjanjian ekstradisi. 

Dengan demikian penjahat yang ngumpet di Singapura bisa ditangkap di sana. Untuk dikirim balik ke Indonesia. 

Dan sebaliknya —kalau ada.

Sebenarnya Presiden SBY juga sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Tahun 2007 lalu. Tapi perjanjian itu tidak diratifikasi oleh DPR saat itu. DPR tidak setuju. Perjanjian itu pun batal berlaku.

DPR, waktu itu, tidak setuju karena dikaitkan dengan permintaan Singapura agar militernya bisa berlatih memasuki wilayah Indonesia. Terutama yang dekat Singapura.

DPR menganggap yang seperti itu bisa mengganggu kedaulatan negara. 

Singapura memang sulit melakukan latihan militer, terutama angkatan udaranya. Dengan wilayah Singapura yang begitu kecil, pesawatnya hanya bisa naik hampir tegak lurus. Lalu turun setengah menukik.

Perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Presiden Jokowi ini pun harus diratifikasi DPR. Memang belum ditentukan waktunya, tapi sudah bisa dipastikan persetujuannya. (*)

Penulis: DAHLAN ISKAN, Sang Begawan Media.

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar di http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul: Bambang Margiono

Tyang Mjk

teman aku sudah menjalani cuci darah 2x seminggu selama 8 tahun hampir 9, sebulan lalu meninggal dalam kecelakaan lalin saat mau pergi rs untuk cuci darah

Aryo Mbediun

Beberapa hari yg lalu, hujan deras usai ashar hingga maghrib. PLN tidak apa2. Saat adzan isya', pas tepat adzan, tiba2 lampu mati sound system juga. PLN giliran.  Lu bisa aja bilang PLN anti adzan PLN dzalim. Terserah Lu. Untungnya banyak orang masih bisa berpikir lebih jernih.

Menanak nasi pakai panci Lauknya tuna diiris belati Jinak-jinak merpati Kalo dah jinak sering makan ati

Mbah Mars

Diantara barisan orang sial adalah: Orang yg saat muda boleh makan apa apa namun tidak punya apa apa. Saat tua punya apa apa tetapi tidak boleh makan apa apa.

SEA LEAD

Mbah Mars,,, kok komen kita berdua skrg jarang dipilih Abah ya??,, Eehh koq qta sich?? inyong aja kali,,, apa qta perlu kirim satu sisir Musang King yg semlohai ke abah ya??? Wkwkkwkwkwkkwkwkwkkw kabooooor

Cu Nuryani Heryana

Dulu...dulu sekali ketika saya masih SD, emak saya kalau sehari/dua hari mendekati hari lebaran suka masak banyak untuk dibagikan ke sanak saudara dan tetangga. Saat masakannya masih banyak pembagian lauk pauk ke dalam rantang atau piring yang akan dibagikan bisa terbagi secara rata dan banyak. Tapi pas mendekati piring/rantang terakhir, lauk pauk sudah menipis, yang harus diberi juga masih banyak, sendokan lauk pauk pun mulai diancer-ancer agar kebagian rata semuanya. Kadang rantang/piring terakhir itu sering tidak lengkap lauk pauknya, potongan tempenya kehabisan atau sambal goreng kentangnya hanya kebagian secuil. Demikian pula dgn omicron ini, yang kebagian banyak korbannya kan sudah di AS, Inggris, dan Prancis. Indonesia sih kebagian juga tapi hanya kebagian seperti yang dialami rantang/piring terakhir.

Gambit X-Men

Mohon izin koreksi seputar EYD, semoga bisa jadi masukan berharga untuk admin, agar direvisi demi sempurnanya artikel Abah kali ini. # perhari = per hari, dengan spasi 1 ketuk # warning = dicetak miring, seperti halnya "stand by" # PWI = perlukah diberi keterangan "Persatuan Wartawan Indonesia"? Ini semisal dgn singkatan ICU. # ketahuan lah = partikel "lah" digabung saja # Kg = satuan internasional ini tidak perlu kapital di awalnya # se Indonesia = butuh kata hubung (-) sebagai jembatan menuju nama diri  # gunung Galunggung = beda mazhab sepertinya Abah, seperti penulisan "rumah sakit Pertamina", tidak dikapitalkan penyerta nama diri tersebut; atau memang terlupa? # dari = daripada, memang khas jurnalis, walau saya tetap condong perlu dibedakan dlm konteks perbandingan Sekian. Afwan. Jika terkesan lancang.  #

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber : Disway.id

Komentar Anda