Hoax Bertebaran di Masa Pandemi, Jangan Mudah Terprovokasi

DESAIN GRAFIS: shutterstock.

COWASJP.COMIni tulisan seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang. Prodi sosiologi. Namanya Alvidha Ayu Sudiono​, usia 21 tahun. Dia ingin belajar menulis. Ingin mendapat kesempatan tulisannya ditayang di CoWasJP.com. Berkat bimbingan dosennya: Aan Sugiharto (mantan Jawa Pos). Tentu harapannya perlu diapresiasi. Demi perkembangan bakat, kemampuan dan pemikiran ilmiahnya. Inilah tulisannya:

***

Pandemi Covid-19 merupakan suatu fenomena yang mengubah kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Hal tersebut menimbulkan banyak bentuk adaptasi dan juga perilaku baru yang diterapkan oleh masyarakat dalam bentuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. 

Berbagai aspek terpengaruh oleh pandemi. Contohnya di bidang ekonomi yang mengalami banyak pergeseran. Dan perubahan karena keterbatasan ruang yang disebabkan oleh pandemi. 

Pola hidup konsumtif tidak hanya berbentuk material tetapi juga konsumtif dalam informasi. 

Masyarakat konsumtif muncul ketika informasi menjadi  komoditas. Memang, kebutuhan  informasi terus meningkat dan masyarakat dituntut untuk selalu up to date. Baik terhadap peristiwa-peristiwa di dalam maupun luar negeri. 

Namun, terdapat kontradiksi dari kemudahan dan kecepatan mengakses informasi tersebut. Yakni sulitnya membedakan berita yang benar dan yang salah, atau yang sering disebut hoax.

Perubahan ini mengakibatkan masyarakat memiliki pola hidup konsumtif meningkat. 

Mengapa? 

Hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu: kebutuhan yang semakin banyak. Sebab, kehidupan sehari-hari banyak dilakukan di dalam rumah. Pembelian barang rumah tangga menjadi lebih meningkat daripada sebelumnya. Tambahan alat kesehatan dan obat-obatan juga meningkat. 

Ini semua dilakukan sebagai upaya masyarakat tetap sehat dan menghindari virus Covid-19. 

Munculnya rasa panik dan khawatir terhadap varian baru dari virus. Sementara itu situasi diperkeruh oleh berita maupun postingan hoax yang tersebar di media sosial. Yang berpotensi menyulut kepanikan massal. 

Hoax tumbuh subur dalam  masyarakat konsumtif, di mana segala sesuatu harus terjadi secara instan dan cepat. Orang-orang atau individu-individu memiliki kebiasaan membagikan foto, video, atau teks tertentu yang dianggap "berita" tanpa memperhatikan keaslian dan akurasi informasi tersebut. 

Informasi dengan nilai akurasi dan manfaat yang tinggi banyak dicari oleh masyarakat. Tetapi masyarakat umum bahkan pengamat mengatakan bahwa pemerintah menghadapi kesulitan komunikasi dalam menjelaskan kondisi dan kebijakan terkait Covid-19. 

Banyak orang yang bukan ahlinya tiba-tiba menjadi ahli Covid-19. Semuanya dikomentari. Informasi yang belum dikonfirmasi disebarluaskan begitu saja melalui jejaring sosial. Warga pun makin bingung. 

Di tengah pandemi Covid-19, jejaring sosial menjadi sumber informasi penting dalam memantau perkembangan kasus, serta pencegahan dan pengobatan Covid-19. 

Semakin lama masyarakat terkurung oleh kondisi pandemi yang mengharuskan menjaga jarak. Masyarakat mulai terbiasa di rumah dan mulai meningkatkan belanja untuk mendapatkan hiburan. Selain itu pembelanjaan di sektor alat kerja juga meningkat karena penyesuaian work from home yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan demi menjaga keselamatan pekerjanya. Maka dalam memenuhi kebutuhan, terjadilah pembelanjaan yang sebelumnya tidak terjadi. 

Sektor hiburan yang memanfaatkan digitalisasi atau teknologi menjadikan masyarakat melakukan pembayaran secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan hiburan. Mengingat jam berada di rumah semakin tinggi menjadikan tingkat biaya internet pun meningkat secara masif. Karena aktivitas online dalam bersosial media pun menjadi tinggi.

Tulisan ini memetik teori Masyarakat Konsumsi yang dikemukakan oleh Jean Paul Baudrillard untuk menganalisis. Teori tersebut memberi penjelasan mengenai adanya nilai guna dan nilai tanda dalam setiap kegiatan konsumsi yang dilakukan. 

hoax.jpgGRATIS: shutterstock

Baudrillard mulai merambah ke pemikiran Marxis dengan fokusnya terhadap masyarakat konsumer. Baudrillard juga mengadopsi pemikiran Sausure mengenai bahasa. Baudrillard melihat objek konsumsi sebagai sesuatu yang mempunyai makna tertentu dari sebentuk ekspresi yang telah lebih dulu ada sebelum komoditas. Bagi Baudrillard bahasa lebih diartikan sebagai suatu sistem klasifikasi terhadap objek. Pada masyarakat konsumer “kebutuhan” ada karena diciptakan oleh objek konsumsi. 

Objek yang dimaksud adalah klasifikasi objek itu sendiri atau sistem objek. Bukan objek itu sendiri. Sehingga konsumsi diartikan sebagai suatu tindakan sistematis pemanipulasian tanda-tanda (systemic act of manipulation of signs). Dengan demikian apa yang dikonsumsi tersebut sebenarnya bukanlah objek itu sendiri melainkan sistem objeknya tersebut. 

JANGAN MUDAH TERPROVOKASI

Maraknya, fenomena masyarakat konsumer saat ini bisa dilihat melalui komoditas apa yang mereka konsumsi. Mayoritas masyarakat modern saat ini lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, dan mengabaikan fungsi asli dari komoditas yang dikonsumsi tersebut. 

Pola konsumtif masyarakat yang tinggi dapat disesuaikan dengan tingkat pendapatan yang kian meningkat, mengingat banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi dan juga kebutuhan tambahan yang harus dilengkapi. 

Masyarakat harus memiliki cara inovatif dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhannya. 

Pemanfaatan teknologi harus dilakukan secara bijak dan sadar agar dapat terkontrol dengan baik oleh masyarakat. Yang dibutuhkan saat ini yaitu kecerdasan dan kedewasaan untuk berpikir tentang berbagi informasi atau berita. 

Jangan mudah terprovokasi dengan informasi yang tidak diketahui asalnya yang disebarluaskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. 

Jangan asal membagikan (nge-share) apalagi dibarengi dengan ujaran kebencian. Stop menyebarkan informasi yang tidak akurat. 

Kita perlu cerdas  menyaring apa yang berguna dan apa yang tidak. Saring sebelum berbagi.(*) 

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda