Laporan dari Swiss (27)

Belanja Makanan Halal Tidak Sulit, Kita Diajari Gaya Hidup Nol Sampah

Okky Putri Prastuti (penulis) belanja Indomie. Ternyata orang Swiss juga suka Indomie. (FOTO: Fariz Hidayat)

COWASJP.COM – Apa saja sih ketakutan yang dirasakan saat pertama kali pindah keluar negeri? Bahasa sehari-hari, biaya tinggi, jauh dari keluarga, ketersediaan makanan halal, dan masih banyak pertimbangan lainnya. 

Namun di samping itu banyak juga hal positif yang bisa kita dapatkan. Pengalaman hidup di negeri orang, membuka mata selebar-lebarnya bahwa ada dunia yang lebar dan luas di luar sana. Dan pastinya dapat bonus menikmati keindahan alam sekitar.

Sejak berprofesi seorang dosen, impian untuk kuliah S3 di luar negeri tentu ada. Sebutlah ingin melanjutkan kuliah di Eropa. Suami -- Papi Fariz Hidayat -- mendukung sepenuhnya untuk segera kuliah. Namun sepertinya Tuhan belum memberikan restunya. Nilai tes Bahasa Inggris saya masih pas-pas-an. Belum mencapai standar minimal yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. 

Hehe. 3 tahun lalu sempat terceletuk ingin kuliah di Swiss karena kantor Philip Morris (tempat kerja suami saya) ada di Lausanne-Swiss. Sehingga suami tetap bisa lanjut bekerja dan saya kuliah.

BACA JUGA: Alhamdulillah Lingkungan Ramah dan Saya Ditempa Jadi Ibu Sejati

Alhamdulillah, doa tersebut didengar oleh Tuhan, masih dikabulkan sebagian.

Bahasa sehari-hari. Salah satu kendala ketakutan saya kalau berada di luar negeri. Dalam membuat satu kalimat mungkin masih campur aduk grammar-nya belum expert seperti suami. Namun ternyata berkomunikasi langsung dengan bule juga tidak perlu grammar 100% betul. Ha ha ha. 

Sekarang minimal setiap hari sudah berkomunikasi dengan tetangga apartemen, guru di sekolah, sesama orang tua yang menunggu anak keluar kelas, dan juga mulai mengajari DoubleZ percakapan sederhana di rumah. 

BACA JUGA: Berakhir Tahun di Pusat Belanja Aubonne, Banyak Diskon dan Serba Murah

Makanan halal, seputar belanja ayam dan daging halal. Ini adalah pertanyaan pertama yang pernah saya sampaikan ke teman sebelum berangkat ke Lausanne. Alhamdulillah sudah menemukan 3 toko yang menjual daging dan ayam halal. Semua letaknya sangat terjangkau oleh bus. Meskipun masih harus pindah bus dan berjalan kaki beberapa ratus meter. 

tempe.jpgDi Swiss, tempe jadi makanan mewah. Rp 77.500 per lempeng. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Pemilik toko ini berasal dari Turki dan India. 1 kg ayam seharga 10-12 CHF = Rp 155.000 - Rp 186.000. (1 CHF = Rp. 15.500). Sedangkan 1 kg daging seharga 14-16 CHF = Rp 217.000 - Rp 248.000. Mereka juga menjual sosis, nugget, salami, daging burger dan juga beraneka seafood frozen. 

Sekali belanja di sana bisa menghabiskan 100 CHF = Rp 1.550.000 untuk kebutuhan bahan masakan selama 2 minggu. 

Masakan Indonesia terkenal dengan sedapnya karena bumbu rempah-rempah yang digunakan sangat komplit. Pernah memasak pepes mackerel tapi kurang sedap, langsung diberikan saran oleh teman bahwa bumbu empon-emponnya wajib ditambahi. Biar semakin mantep rasanya. 

Toko Asia menjadi destinasi setiap 2 minggu sekali untuk mengisi stok bumbu dapur. Bawang merah, bumbu instan Bamboe, tahu, dan tempe contohnya. Coba tebak berapa harga 1 papan tempe? Kalau di Indonesia mungkin Rp.5000 sudah dapat ya. Di sini juga sama lho harganya yaitu 5 CHF = Rp 77.500. Sama-sama 5 kan ya? Hihihi. Cuma kalau dikurskan ke rupiah jadi Rp.75.000 per 1 papan tempe. Tahu pun juga harganya sekitar itu. 

tempe-LN.jpg1.jpgBumbu Instan Bamboe pun lengkap. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Selamat menikmati murah meriahnya tempe dan tahu di Indonesia ya kawan. Sedangkan bumbu instan cukup terjangkau yaitu 1-2 CHF.
Beberapa makanan khas Korea, Jepang, Thailand, Vietnam, India, Malaysia juga terlihat ada di Toko Asia. 

Yang paling dicari yaitu Indomie. Segala macam rasa juga ada lho. Jadi tak perlu khawatir kehabisan stok indomie. Sebungkus harga Indomie bisa didapatkan dengan harga 1 – 1,5 CHF. Kadang kalau ada promo 1 paket isi 5 biji, jatuh harga perbijinya bisa 0,7 CHF.  Ternyata Indomie tidak hanya digemari oleh orang Indonesia saja lho. Teman kantor Papi Fariz juga ternyata suka Indomie. 

Di Swiss juga ada toko online bernama pasar-indonesia.ch yang khusus menjual barang-barang dari Indo. Saya belum pernah mencobanya. Tapi sudah punya list barang apa saja yang ingin dibeli. Salah satu yang ada di list adalah teh botol Sosro dan aneka krupuk. Tapi jangan salah ya, harganya sudah dinaikkan hampir 3x lipat dari harga indo. 

tempe-LN.jpg1.jpg2.jpg

Kami biasanya belanja setiap hari Sabtu, tapi kalau hari Sabtu sudah berencana pergi liburan, maka sudah belanja di hari weekday sepulang Papi Fariz dari kantor. Herannya, supermarket selalu ramai pada hari apapun dan jam berapapun. 

Meskipun di dalam 1 mall metropole terdapat 3 supermarket yang berbeda (Migros, Aldi, dan Denner), semuanya selalu ramai pengunjung. Sama halnya dengan di Indonesia, mereka menyediakan katalog brosur 2 mingguan yang berisi barang-barang yang sedang diskon. Ada diskonan daging, buah, sayur, dan cemilan. Itulah salah satu yang membuat kami nomaden dalam berbelanja. Kadang-kadang mengikuti diskonan yang ada. 

Daging, ayam, dan ikan yang biasanya hampir mendekati expired date, juga diskon 50%. Bisa menjadi salah satu alternatif belanja murah. Tapi konsekuensinya harus segera dimasak. Sedangkan toko Asia jarang terlihat ada diskon. Suasana toko cenderung lebih sepi dan hanya terlihat wajah-wajah Asia yang keluar masuk. Namanya juga Toko Asia ya moms. 

Oh ya, yang menjadi pembeda adalah kalau belanja di Toko Asia masih dapat kresek untuk membungkus belanjaan. Sedangkan kalau di supermarket sudah benar-benar tidak ada kresek. Wajib membawa tas belanjaan atau bisa membeli paper bag di supermarket. 

ZERO WASTE LIFESTYLE

Ngomong-ngomong terkait kresek atau kantong plastik, di Lausanne ini ada kebijakan kantong sampah yang wajib dipatuhi. Masih ingat sekali kalau di Indonesia tinggal beli kresek hitam buang sampah apapun, diletakkan di tong sampah depan rumah. Setiap hari ada tukang sampah yang mengambilnya, tapi kalau sudah berhari-hari tidak diambil sampah selalu menumpuk dan sudah bau tidak enak. 
Ujung-ujungnya emosi karena sudah bayar kebersihan di lingkungan rumah, tapi sampah tidak kunjung diambil.

tempe-LN.jpg1.jpg4.jpgKantong sampah istimewa. Mudah terusai. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Di sini (Swiss), kami wajib membeli kresek khusus yang berwarna dominasi putih. Harganya 20 CHF dapat 10 pcs berukuran 35 Liter. Jadi 1 kresek seharga 30ribuan. Harga yang mahal ini karena kita tidak memisah sampah. Jadi karena asal buang apapun maka perlu biaya untuk sortir sampah. Kantong sampah ini hanya bisa didapatkan di kasir supermarket Migros dan Coop. 

Saking mahalnya, harus dipastikan kresek wajib penuh. Biasanya 3 hari sekali saya buang sampah. 

tempe-LN.jpg1.jpg3.jpgTong sampah khusus buang minyak. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Dari sini saya belajar mengenai pilah sampah. Sampah kertas, botol kaca, botol plastik, botol berbahan PET (Polyethylene Terephthalate - plastik yang serbaguna dan nantinya akan di-recycle), baterai, lampu, bungkus aluminium atau kaleng dipisahkan tersendiri. Ada tempat-tempat tertentu yang menampung bahan-bahan tersebut. Termasuk sampah kompos (sisa makanan, sayur, buah), minyak bekas penggorengan, bahan tekstil juga ada tempatnya. 

Sampah diambil secara rutin sehingga lingkungan tetap bersih dan sama sekali tidak bau. Semoga di Indonesia bisa mengadopsi kemudahan dalam membuang sampah seperti ini. Dan masing-masing individu mau belajar untuk memilah sampah. Zero Waste Lifestyle. Mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup nol sampah.(*

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda