Dua Wajah Eifel dan Monas

Tugu Monumen Nasional ( Monas) Jakarta. (FOTO: nativeindonesia.com)

COWASJP.COM – Paris dengan menara Eifel-nya bukan Jakarta dengan Monasnya. Dua kota besar ini menggambarkan dengan kontras disparitas nasib, kebudayaan, dan peradaban dua bangsa. 

Paris dengan Eifel-nya menggambarkan wajah peradaban kaum aristokrat Eropa. 

Meskipun kaum ini di masa lalu memerintah dengan gaya feodal yang menyiksa para budak, tapi masih menyisakan karya abadi yang menjadi simbol bahwa berkuasa –seotoriter dan sekejam apa pun– masih menyisakan estetika dari keagungan sebuah perabadan. 

Karena itu, Paris dengan menara Eifel-nya, tak cuma menyimbolkan kesombongan para mendiang kaum aristokrat. Ia, hingga kini dicatat sebagai salah satu kota budaya paling indah di dunia ini. 

Paris juga tak cuma digambarkan oleh deretan panjang bangunan kuno yang tetap dipelihara dengan bangga untuk menunjukkan kesombongan rezim purba masa lalunya. 

Gedung-gedung tua yang memanjang angkuh sepanjang metropolis Paris dari stasiun  KA Gar de Les sampai ke kawasan indah Tro Cadero dengan kafe-kafe dan kaki lima yang tertib di seputar menara Eifel, menggambarkan sebuah eksotisme Prancis sebagai rahim subur kelahiran para kreator mode. 

Kini, orang banyak tetaplah mencatat Paris sebagai salah satu pusat mode dunia. Karena keindahan dan eksotisme itu pula, Bandung pernah disebut tuan penjajah Belanda sebagai Paris van Java. Entah pantas atau tidak.

***

Lalu apa yang tersisa dari Jakarta dengan Monas-nya di kala rezim penguasa yang membangun tugu tertinggi di tanah air ini sudah mendiang? Jakarta yang indah? Peradaban yang tinggi semenjulang Monas? 

Bung Karo membangun Jakarta dan Monas dengan mimpi indah mirip kaum Aristokrat Prancis. Angkuh demi pembebasan. Ingin berdiri di kaki sendiri. Dengan berkuasa agak condong ke politik  yang revolusioner, dengan politik anti Nekolim (neo kolonialisme dan imprealiasme), Bung Karno dengan gagah berani mengatakan: ‘’go hell with your aid’’ (persetan dengan bantuanmu) untuk menyatakan sikap tak mau didikte Barat dan AS.

Jakarta dengan Monas-nya bagi Soekarno dan kawan-kawannya ingin digambarkan sebagai simbol gagah perkasa  bangsa baru yang sarat nasionalisme, mandiri,  tetapi tetap estetik dan eksotis.

Tetapi, dalam perjalanannya cita-cita indah itu tak pernah berlabuh. Jakarta dengan Monas-nya tetap tak menjadi inspirasi dan referensi historis untuk mengubah perjalanan bangsa ini agar bebas keterbelakangan,  pergolakan, penderitaan, dan kebergantungan pada asing.

eifel.jpgMenara Eiffel dibangun pada 1889 untuk merayakan 100 tahun terjadinya Revolusi Prancis. (FOTO: instagram.com/ ednakannan.tv - idntimes.com)

Rezim demi rezim silih berganti sejak Bung Karno turun panggung kekuasaannya. Dari Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Megawati –putri Bung Karno sendiri–, Pak SBY, dan Pak Jokowi  yang sekarang sedang berkuasa, bangsa ini berjalan tak makin mandiri. Tak makin berdiri di atas kaki sendiri. Malah makin bergantung pada Tiongkok, Eropa, dan AS, bahkan ke tetangga kecil Singpura. 

Bukan sebaliknya. Bukan makin berani mengulang retorika Bung Karno: ’go to hell with your aid’, tetapi makin terjebak pada utang luar negeri yang sangat merisaukan.

Lihat ini bro. Kata Bank Indonesia (BI), per kwartal II – 2021 Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir kuartal II-2021 atau akhir Juni 2021 mencapai US$ 415,1 miliar.

Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.300 ULN Indonesia cukup mewaswaskan kaum muda yang kelak bakal berkuasa memimpin negeri ini. Angkanya?  Kata BI sekitar Rp 5.977 triliun. Utang luar negeri ini terdiri dari utang pemerintah, BUMN, dan sektor swasta.

Negara mungil tetangga Indonesia, yaitu Singapura, masih menjadi negara pemberi utang terbesar. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang diperoleh dari Singapura mencapai US$ 64,83 miliar per Juni 2021, atau lebih dari Rp 933 triliun.

***

Paris dengan Eifelnya dan Jakarta dengan Monasnya kini melambangkan kontras antara kemajuan, estetika peradaban,  keterbelakangan, serta ketidak mandirian. Barat yang terus bergulat dengan postmodernisme dan Timur yang terus bergulat dengan keterbelakangan serta ketidakmandirian.

Paris bagi Jakarta bukan menjadi wahana empati dari cita-cita bangsa yang ingin mengejar kemajuan, tetapi menjadi harapan yang ibarat untuk menyambung hidup. Paris bagi Jakarta bukan tempat saling sharing untuk bermetamorfosis dengan peradaban, tetapi menjadi ibarat wahana pengemis tua yang renta untuk meminta-minta untuk bertahan hidup.

Lalu di mana duduk perkara dari kontras kemajuan dan keterbelakangan ini? Kata Raymond Aron, kekuasaan jenis apa pun dari sebuah rezim bukanlah perkara menakutkan atau smart. Bukan persoalan elitis atau populis, otoriter atau demokratis, tetapi kontribusinya pada peradaban dan kemandirian. 

Dengan kata lain, kekuasaan macam apa pun sesungguhnya tetap punya makna bagi kemanusiaan sejauh hanya dipakai sebagai alat. Bukan tujuan untuk berkuasa. (*)

Oleh: MAKSUM, Wartawan Senior di Surabaya 

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda