Melestarikan Mesin Addo-X di JAYA BAYA

Parmi asyik dengan mesin hitung Addo x. (Foto: Sudirman/CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Sudirman

----------------------------------

KREK…. Krek bunyi ini itu frekuensinya terdakang cepat, lambat, dan berhenti. Lalu tak lama kemudian berbunyi lagi dengan nada yang sama. Itulah suara mesin hitung merk Addo-X, yang masih digunakan oleh kasir Majalah Mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya.

Mesin hitung langkah ini dibuat sekitar tahun 1935-an di negeri Kincir Angin Belanda. Mesin hitung Addo-X beratnya  5 Kg. Sejak Adoo-X jadi penghuni abadi di Jaya Baya tak pernah rusak. Selama dipakai hanya diservis saja. “ Enak pakai mesin hitung ini tidak pernah rewel. Kalau hasil print tidak terang cukup mengganti pita mesin ketik biasa”, kata Bu Suparmi, seorang kasir di majalah ini.

Menurut Bu Parmi, tukang servis mesin ini sulit dicari. Dulu kalau servis dibawa ke  kawasan Jalan  Petemon. Di sana ada servis mesin ketik dan mesin hitung manual. “ Sekarang tempat servisnya sudah ngak ada”, katanya.

adoxkCsGh.jpg

Mesin hitung Addo x buatan Belanda. (Foto: Sudirman/CoWasJP)

Sarana kerja di majalah tersebut yang masih ada  tinggal mesin hitung merk Oliverti. Mesin merk ini umurnya lebih muda dari mesin hitung Addo-X. Namun demikian alat  jenis ini sudah masuk kategori langkah. Di sana masih ada beberapa  mesin ketik manual. “Alat kerja di sini sudah saat nya untuk dipindahkan ke museum pers,’’ ujar seorang tamu yang pernah sowan ke dapur Jaya Baya.

Sementara di devisi pemasaran , keuangan, dan akunting sudah menggunakan computer. Sedangkan untuk mencetak label, laporan dan lain-lain masih menggunakan printer doot metric. Semua personil di perusahaan media cetak di sini  usianya lebih dari 55 tahun. 

Proses packing majalah di majalah ini juga masih dikerjakan secara manual. Majalah yang terbit setiap minggu sekali tersebut dipacking dengan menggunakan tali rafia dan lak ban berwarna coklat.

packingZELsa.jpg

Pengerjaan packing majalah pun masih manual.(Foto: Sudirman/CoWasJP)

Pekerjaan yang memerlukan waktu lama tersebut  dikerjakan secara tekun oleh karyawan dari devisi pemasaran/ekspedisi. “Kalau memakai mesin streping dan talinya terlalu keras banyak diklaim para agen. Bagian tepi majalah sering rusak. Karena itulah, kami tetap menjaga kualitas majalah agar sampai di agen tidak rusak,’’ kata seorang karyawan.

Pembaca Jaya Baya tersebar di Surabaya, Jatim, Jateng, Jabar dan beberapa luar pulau Jawa. Bagi pelanggan luar pulau dilayanai dengan sistem berlangganan lewat kiriman paket Pos dan Titipan kilat. Seperti diketahui, sebelum krismon pelanggannya sampai ke Suriname. Namun sekarang dihentikan karena ongkos kirim lewat udara jauh lebih mahal dari harga majalahnya.

Majalah Minggon Jata Baya terbit sejak 1 Desember 1945. Terbit perdana di kota tahu Kediri. Majalah yang tetap eksis dari zaman-ke zaman ini tetap mempunyai missi Uri-Uri bahasa daerah dan melestarikan kebudayaan Jawa. Sebagai cikal bakal majalah ini adalah Bapak Tajib Ermadi (alm). Berkat perjuangan yang gigih Pak Tajib, terus berusaha mengembangkan majalahnya, sehingga akhirnya bisa terbit di Surabaya, meskipun kini beralih menejemen.

redakturM7vay.jpg

Sriyono seorang redaktur senior yang sudah lansia tapi masih aktif. (Foto: Sudirman/CoWasJP)

Jaya Baya yang sudah berusia 71 tahun ini memang memiliki pembaca yang fanatik. Hampir sebagian pembacanya adalah lansia. Mereka terdiri pensiunan, PNS,  dan guru.

“Almarhum ayah saya dulu pelanggan setia. Bahhkan langganan Jaya Baya sudah bertahun-tahun,’’ ujar Hartono, salah saorang pelanggan.

Dinas Pendidikan kita kini sudah mulai lagi menerapkan pelajaran bahasa daerah untuk diajarkan di sekolah tingkat dasar dan menengah pertama . Bagi guru yang tergabung dalam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) bahasa daerah kini banyak membaca Jaya Baya untuk referensi mengajar di kelasnya.

Upaya untuk melestarikan kebudayaan Jawa kini mulai terasa kembali. Hal ini terbukti para siswa yang wajib ikut  ektra kulikuler diharuskan ikut pelajaran bahasa daerah. Bahkan, setiap perpustakaan sekolah kini disediakan majalah Jaya Baya sebagai acuannya untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa.

Dulu Jaya Baya merupakan salah satu media cetak yang dijadikan sarana koran dan majalah masuk desa. Sejak Presiden Soeharto, tidak menjadi orang nomor satu di negeri ini koran masuk desa habislah riwayatnya .Meski demikian majalah ini sudah lebih mandiri dan tetap eksis dari zaman ke zaman. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda