Catatan Jelang Kongres PSSI

Sudahlah, Mari Insan Sepakbola Duduk Bersama

Foto dan ilustrasi/CoWasJP

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Bambang Indra Kusuma

----------------------------------------------

JIKA tak ada aral melintang, Kongres PSSI digelar 10 November di Jakarta. Ini berdasarkan surat FIFA kepada Gatot S. Dewobroto, deputi IV Kementrian Pemuda dan Olahraga. 

Surat tertanggal 14 Oktober 2016 ini, ditandatangani oleh Sekjen FIFA Fatma Saumora. Jadwal semula adalah 17 Oktober.

BACA JUGA: Ke Depan, PSSI dan Pemerintah Pasti Bisa Kerjasama

Surat FIFA menyebut bahwa pengunduran diputuskan Komite Ekskutif FIFA. Namun, FIFA berharap tidak ada lagi pengunduran jadwal hingga 10 November, dengan memberi pengertian pada persoalan yang dihadapi PSSI. Tetapi, surat itu menyiratkan tidak ada tawar menawar lagi.

Sekarang, marilah kita bersama-sama mengamini surat FIFA tersebut. Ini adalah klimaks yang final, dari serangkaian polemik yang menghabiskan waktu pada sepakbola kita. Perselisihan itu tidak akan terjadi jika, ke depan, sepakbola memiliki pengurus yang dapat bekerjasama yang prima antara PSSI terpilih dan pemerintah. 

gatot-cowasx0bAP.jpg

ILUSTRASI: Gatot S. Dewobroto, deputi IV Kementrian Pemuda dan Olahraga dan surat dari FIFA. Ilustrasi/Foto: bola

Salah satu agenda Kongres adalah memilih ketua umum organisasi olahraga tertua di Indonesia ini. Kedelapan nama calon yakni Bernhard Limbong, Djohar Arifin Husin, Eddy Rumpoko, Edy Rahmayadi, Erwin Aksa, Kurniawan Dwi Yulianto, Moeldoko, dan Toni Aprilani.

Pelaksanaan Kongres digulir di tengah semangat pembenahan olahraga Indonesia yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi. Menpora menyebar semangat reformasi sepakbola nasional.

Pada prinsipnya, dia ingin sepakbola –sebagai olahraga profesional— agar menjalankan tertib organisasi, transparan dan akuntabel. Pada ujungnya, kebijakan itu membela dan mengutamakan kepentingan atlet dalam mendulang prestasi. 

Pembenahan ini bertujuan mewujudkan sepakbola yang sehat dan bersih berbasis prestasi. Karenanya, perlu dipimpin oleh seorang teruji dan mampu berkomunikasi dengan baik bersama pemerintah. 

Seorang calon ketum harus sudah teruji dalam memimpin, menjauhkan kepentingan yang melenceng, berazas pada profesionalisme dan menegakkan kembali visi kebangsaan dalam olahraga maha populer ini.
Langkah dan semangat kebangsaan pernah ditekankan Ir Soeratin Sosrosugondo, ketua umum PSSI,

pada pendirian PSSI di Jogjakarta 1930. PSSI ketika itu menjadi cikal bakal tonggak kebangkitan olahraga nasional.

Historikal sepakbola Indonesia ada di semangat kebangsaan yang menitik beratkan pada kebersamaan. Keinginan yang kuat lepas dari aturan penjajah Belanda ketika itu, melalui sepakbola dan PSSI menjadi pelopor organisasi pertama olahraga Indonesia yang berani bersikap ketika itu dalam menentang penjajah. 

Setelah PSSI berdiri, menyusul organisasi lain, seperti Pelti (1935) di Semarang, ISI di Jakarta, Persatuan Bola Keranjang Seluruh Indonesia 1940 dan seterusnya. Hingga, akhirnya Indonesia menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo, 8 -12 September 1948.

Begitu besarnya semangat kebangsaan dan kebersamaan ketika itu. Semangat ini membius olahraga dan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan persatuan negara republik Indonesia. 
Dengan semangat kebangsaan, sepakbola menjadi bagian dalam proses terwujudnya kemerdekaan, dan berdirinya NKRI. Kongres nanti, harus diilhami dengan nilai-nilai kebersamaan dan kebangsaan sebagaimana saat awal PSSI didirikan.
     
Oligarki Baru

Sudah bukan rahasia, sepakbola memang bisa melahirkan oligarki baru. Bahkan, penulis buku Franklin Foer, pernah menyajikan bagaimana sepakbola sesungguhnya dapat menjelaskan yang terjadi di jagat ini (How Soccer Explains the World).

Ada analogi antara politik dan olahraga, berikut paradok-paradoknya. Pada 1990, reputasi Juventus seperti tidak ada yang akan menandingi. Namun kemudian mendapat rival sepadan ketika Silvio Berlusconi ikut campur menangani AC Milan, klub utama Italia itu.

Berlusconi bukan hanya membawa para pemain AC Milan ke lapangan dengan helikopter. Tetapi, ia juga melakukan manuver-manuver sebagai politisi. Menurut kesaksian seorang rekan, Mario Sconcerti, wartawan Corriere delo Sport, saat itu pers disetir sebab Berlusconi juga dikenal sebagai raja televisi di Italia.

Kekuasaan ketika itu memang mendekat pada sosok Berlusconi. Dari raja media 1986-an, ia kemudian terjun ke politik 1994, mencalonkan diri menjadi perdana menteri. Ia benar-benar menggunakan media sepakbola (olahraga) sebagai kendaraan memuluskan langkah meraih kekuasaan.

Salah satu strategi yang terkenal, adalah dia menggunakan Publiitalia, agensi iklan miliknya, menerbitkan slogan-slogan dalam electoral strategy-nya. Di Indonesia pun, slogan itu menjadi terkenal, seperti Forza Italia (Go Italia). Pula, julukan atas tim nasional Italia, the Azzuri.

Faksi Berlusconi cukup kuat. Ia bahkan berhasil menempatkan wakilnya di AC Milan, Adriano Galliani, menjadi ketua Liga Italia –dengan portofolio antara lain negosiasi dengan hak siaran televisi.

Conflict of interest ini pula lah, yang lama-kelamaan mengikis Berlusconi. Korupsi yang menggurita padanya setelah berkuasa, akhirnya menggulungnya sendiri. Terlalu pongah, mengesampingkan filosofi kebangsaan, dan ambisi kekuasaan.

Ia dicatat pula oleh Italia banyak memanipulasi publik melalui operasi pers memihak AC Milan, hingga membuat sepakbola Italia terpuruk. Italia baru merebut Piala Dunia lagi 2006, langkah yang terlalu panjang sejak ukiran prestasi sebelumnya di tahun 1982.

Terbukti, praktik-praktik mafia akan meluluhlantakkan sepakbola. Menghancurkan sepakbola menjadi keping-keping tidak berarti sama sekali.

Akankah oligarki baru muncul dari Kongres PSSI kali ini? Sekali lagi, semangat dalam kongres kali ini adalah reformasi. Sepakbola bukan milik kelompok tertentu, tetapi harus menjadi bersatu dengan masyarakat. Artinya, harus berpijak pada filosofi awal pendiriannya yakni kebangsaan dan kebersamaan. 

Beda pendapat yang muncul, hingga berujung pada sanksi FIFA, harus ditempatkan sebagai obat untuk melangkah pada kondisi yang lebih baik. Komunikasi yang baik antara PSSI dan pemerintah, apapun alasannya harus dibangun berdasarkan kepentingan nasional, dan bukan kepentingan kelompok yang mengedepankan ego sektoral.

Pemerintah sudah bersikap bijak dengan menjamin netralitas sehingga kongres berjalan independen. UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) tetap menempatkan pemerintah (Menpora) sebagai pengayom dan penanggungjawab pembinaan olahraga nasional.

Adanya statuta FIFA jangan diartikan sebagai otonomi kebablasan. Tetapi, harus dipakai sebagai rambu untuk bersama-sama memajukan sepakbola dengan semangat kebangsaan dan kebersamaan tadi. 

Sebagaimana disampaikan Franklin Foer, yang juga editor di The New Republic dan New York Times itu, sepakbola bisa menggambarkan dunia. Artinya, jangan sampai ‘’dunia kita’’ tergambarkan buruk karena sepakbola kita tidak dapat menyelesaikan carut marut di PSSI.

Kita tentu tidak ingin, sepakbola kita menjadi seperti gangster’s paradise-nya di liga negara-negara Balkan, dan juga tidak ingin menjadi arena baru munculnya sarang ‘mafia’.

Ada ucapan mantan PM Inggris Margaret Thatcher yang terkenal, yang patut menjadi renungan sepakbola kita. Saat merespon aksi hooligan di negaranya, Margaret mengatakan, di sepakbola tidak perlu terjadi ‘’a disgrace to civilized society.’’ Tidak perlu terjadi ‘’aib di tengah masyarakat yang beradab.’’ Sekali lagi, hal itu tidak perlu terjadi.

Sudahlah, sudah. Mari kita duduk bersama, fokus pada peningkatan prestasi sepakbola kita di mata dunia.

Wujudkan sepakbola yang sehat dan bersih, serta kepengurusan yang transparan dan akuntabel. Selamat berkongres. (* )

Bambang Indra Kusumawanto, adalah pemerhati sepakbola

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda