Pembinaan Olahraga Perlu Restart

Foto dan ilustrasi CoWasJP

COWASJP.COMPESTA olahraga olimpiade sudah tuntas. Indonesia berhasil merebut 1 medali emas, dan 2 perak dalam pesta olahraga terbesar di dunia ini. Satu emas diraih pasangan ganda campuran Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad, dan 2 perak oleh lifter Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan.

Ini hasil maksimal, dalam proses pembinaan yang harus diakui serba terbatas. Bagaimana pun, sukses ini harus dijadikan momentum evaluasi pada pembinaan selanjutnya yang tidak boleh terputus dan harus berjalan berkesinambungan.

Sambil berbenah, kita tidak boleh lengah menatap event selanjutnya sebagai tuan rumah Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Adalah mengangkat maruah jika kita bisa menorehkan catatan prestasi yang gemilang, di saat kita menjadi tuan rumah.

Bulutangkis berhasil kembali meraih tradisi emas, karena menjalankan pembinaan yang bagus. Atletnya selalu mengikuti turnamen dalam level kompetisi yang keras. Tradisi emas bertahan sejak Olimpiade 1992 di Barcelona, walau sempat terputus pada Olimpiade London 2012.

Tidak semua cabang olahraga memang seperti bulutangkis. Tetapi, kita harus mulai berani menerapkan skala prioritas pada cabang-cabang lain yang berpotensi meraih prestasi tingkat dunia –olimpiade—pada urgensi pembinaan olahraga ke depan.

Dalam kajian Satlak Prima, sebenarnya Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu terbaik Asia, setelah China, Jepang, Korea dan beberapa negara Asia Timur pecahan Uni Soviet. Namun, pada level Asia Tenggara kita harus bersaing ketat dengan Thailand yang mengalami kemajuan pesat.

Olahraga memerlukan dukungan semua pihak. Tidak boleh setengah hati. Bukan masalah anggaran semata, tetapi pengelolaannya harus baik dan bertanggungjawab. Sebab, kalau tidak, akan bermuara pada prestasi yang stagnan.

LILIYANA-NATSIR18U2n.jpg

Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad adalah penyumbang peraihan medali emas di Olimpiade 2016 Rio de Jaenario. (Foto:liputan6)

Olahraga kita, ibarat sebuah komputer, harus di-restart lagi. Pembinaan harus dimulai dari level grass root (paling bawah). Di sinilah letak pentingnya menumbuhkan lingkungan (environments) berolahraga, mulai dari keluarga dan sekolah.

Jika berjalan dengan baik, maka akar rumput itu akan mulai tumbuh. Ibarat kepompong, kita akan memiliki ribuan calon atlet muda yang berbakat. Pada level ini, Indonesia sebenarnya sudah memiliki SKO (Sekolah Olahraga) dan PPLP ((Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar). Sejak 2012 kita memiliki 12 SKO, tetapi hanya dua (Kaltim dam Sumsel) yang sudah siap melakukan revitalisasi peleburan antara PPLP dan SKO. Bandingkan Thailand yang kini sudah memiliki 22 setingkat PPLP – Ragunan.

Eko-Yuli-Irawan-dan-Sri-Wahyuniantaranewsw52u1.jpg

Dua lifter angkat besi Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni memamerkan dua medali perak yang diraihnya di Olimpiade 2016 Rio de Jaenario. (Foto:antaranews)

Tentu saja kita masih jauh di bawah China yang memiliki ratusan ribu atlet muda pada level bawah ini. Pembinaan mereka berjenjang, yang pada akhirnya China memiliki 3200 atlet tersaring.

Kita sendiri baru memiliki sekitar 500 atlet. Namun, dengan parameter (bench mark) Asia, jumlahnya tidak sebanyak itu lagi. Hanya sekitar 124 atlet saja yang tersaring. Sedangkan pada level Olimpiade hanya 28 atlet (yang dikirim pada Olimpiade Rio 2016).

Untuk meningkatkan lagi, perlu konsep yang lebih matang. Untuk mengembangkan kemampuan olahraga harus dilakukan dengan kerjasama serentak, mulai dari akar rumput. Setiap lembaga harus memiliki kewenangan yang jelas. Tidak tumpang tindih seperti sekarang.

Dimulai dari pemerintah daerah, lembaga olahraga, satuan pendidikan (SD, SMP dan SMA) bekerja sama serentak. Kemudian berlanjut pada tingkat nasional. Pada level ini, sudah federasi olahraga, kampus (pendekatan sport science) dan pemerintah juga harus bekerja sama dengan apik.

Gebrakan inilah yang harus dilakukan. Dengan singkat kata, pembinaan olahraga perlu komitmen nasional. Termasuk di dalamnya soal pendanaan. Semua bekerja sama menuju satu sasaran prestasi, yakni Olimpiade.

Berkaca pada sukses Inggris di Olimpiade Rio 2016 (menempati urutan kedua pada perolehan medali, di bawah Amerika Serikat), berkat kecermatan UK Sport. Dalam 20 tahun terakhir, UK Sport menempa atlet elite. Dukungan dana mereka luar biasa, yakni sebesar 350 juta poundsterling. 

Berawal dari hasil Olimpiade Rio 2016, mari kita melakukan evaluasi bersama. Pembinaan olahraga harus memiliki konsep yang jelas. Menggalakkan kembali environment olahraga, menggairahkan munculnya atlet muda, menata SKO dan PPLP yang ada, sebelum akhirnya tersaring dalam pelatnas Satlak Prima. Seluruhnya harus bekerjasama, dan dipacu oleh semangat dan komitmen nasional untuk memajukan olahraga. Salam olahraga! 

(* penulis adalah staf di Kemenpora)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda