MERDEKA

Proklamator Republik Indonesia Bung Karno. (Foto: Tempo)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Dhimam Abror Djuraid

------------------------------------------

TUJUH puluh satu tahun yang silam Proklamator Bung Karno sudah mengingatkan kita bahwa perjuangan yang dilakukannya lebih ringan karena melawan penjajah asing. Tapi, perjuangan kita sekarang ini, kata Bung Karno, jauh lebih berat karena harus menghadapi bangsa kita sendiri.

Sungguh sebuah nujum politik yang betul-betul jitu sekelas Nostradamus dan Joyoboyo. Bung Karno sudah mengingatkan kita secara waskita bahwa justru sekarang inilah perjuangan kita jauh lebih berat karena harus melawan bangsa kita sendiri.

Tujuh puluh satu tahun tentu bukan waktu yang pendek. Untuk umur seorang manusia, 71 tahun adalah masa-masa senja. Tapi, untuk umur sebuah negara, 71 tahun adalah masa-masa pertumbuhan menjelang dewasa. Rata-rata usia merdeka negara-negara di kawasan Asia dan Afrika ada pada kisaran itu. Saat itu, setelah Perang Dunia Kedua berakhir, kolonialisme-imperialisme pun ikut tamat riwayatnya. Negara-negara Asia-Afrika pun merdeka seperti bunga mekar di musim semi.

Negara-negara pantaran Indonesia sudah mulai bermekaran menjadi negara yang maju. Di Asia dan di Afrika, negara-negara yang merdeka sepantaran Indonesia sudah menapak jalan kesejahteraan. Tapi, kita di Indonesia masih terbelit dalam lingkaran setan kemelaratan dan keterbelakangan.

Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang banyak diharapkan bakal membawa harapan baru ternyata masih tetap menjadi harapan tanpa kenyataan. Seharusnya kita gembira menyambut usia ke-71. Tapi yang terjadi malah kita belum kunjung take-off. Rasanya tim belum terbentuk. Bongkar pasang kabinet masih terus saja terjadi. Begitu isu resafel menggelinding kasak-kusuk politik terjadi berbulan-bulan. Ketika resafet terjadi, saling jegal saling tendang pun terjadi. Seorang menteri yang baru dilantiik beberapa hari terpaksa diberhentikan lagi. Sekarang, ketika kontroversi muncul lagi setelah menteri itu dicopot muncul wacana baru untuk mengangkatnya kembali.

Saat kita punya harapan besar agar bangsa kita lebih dihormati di kancah internasional, ternyata sampai sekarang kita masih juga tergantung kepada bangsa asing. Kita belum berani berkata tegas kepada keinginan bangsa asing. Bahkan, di tengah terbatasnya lapangan kerja kita justru kebanjiran tenaga kerja dari luar negeri yang skill-nya tak beda jauh dengan skill tenaga kerja lokal. Mana kedaulatan politik kita?

Mana Trisakti yang sempat diteriakkan sebagai jargon politik kita? Di bidang kebudayaan jelas kita masih jauh dari kepribadian Indonesia. Serbuan budaya asing melalui globalisasi kita telan mentah-mentah karena kita tidak mempersiapkan diri dengan membangun karakter bangsa supaya kita punya kepribadian dalam budaya sebagaimana amanat Trisakti.

Meminjam istilah ilmuwan Amerika Francis Fukuyama, sebenarnya Indonesia sekarang bukan saja berada dalam keterjajahan politik tapi justru berada dalam fase "pembusukan politik".

Dalam kajian dua volume buku berjudul "The Origin of Political Order" (2014), Fukuyama menengarai sebuah bangsa akan mengalami pembusukan. sistem jika gagal dalam melakukan "state building" dan "nation building".

Nah, Anda yang mempelajari pemikiran Bung Karno pasti tidak asing dengan dua konsep itu. Tujuh puluh tahun yang silam Bung Karno sudah meneriakkan pentingnya "nation and character building".

Ternyata, Fukuyama menghidupkan kembali konsep itu (tetapi tidak menyebut Bung Karno) sebagai hal yang masih sangat relevan untuk membentuk bangsa yang kuat.

Francis-Fukuyama-youtubeRq8Nd.jpg

 Ilmuwan Amerika Francis Fukuyama. (Foto: Youtube)

State building, dalam konsep Fukuyama, adalah pembangunan birokrasi negara yang kuat dan profesional sehingga imun terhadap pengaruh politik. Fukuyama secara khusus menyebut Jerman sebagai negara dengan kualitas birokrasi paling top, sehingga tak akan bisa ditembus oleh kepentingan politik. Jerman bisa mencapai level ini karena sejarah birokrasinya yang sangat panjang dan berusia ratusan tahun sejak masa Bavaria. Tradisi ini kemudian menular ke seluruh Eropa, terutama di bagian barat, sehingga sekarang mempunyai pemerintahan yang bersih dan profesional.

Nation building adalah pembangunan karakter bangsa yang bisa menjadi ruh bagi sebuah jasad dalam bentuk negara. Di Eropa pembangunan karakter ini mempunyai sejarah yang sangat panjang karena dulunya benua ini terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling serang dan saling menghancurkan. Sampai kemudian datanglah Perang Dunia Pertama yang menghancurkan.

Lalu muncul Perang Dunia Kedua yang lebih menghancurkan. Eropa kemudian sampai pada satu titik ketika mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah institusi dalam bentuk negara yang bisa mewadahi kepentingan mereka bersama. Maka kemudian kesamaan budaya dan pandangan hidup itu menjadi sebuah konsep yang oleh Ben Anderson disebut sebagai "Imagined Community" yang menyatukan mereka dalam sebuah bangsa dan negara.

Dua hal inilah yang membuat bangsa Eropa kuat dalam birokrasi dan hebat dalam karakter. Dua resep inilah yang menjadi dasar kemajuan dan kekuatan bangsa Eropa.

Dalam hal ini, Fukuyama justru melihat bangsa Amerika akan berada pada posisi sulit. Politik Amerika, oleh Fukuyama, dinggap rentan dan rawan oleh korupsi karena birokrasinya yang lemah dan gampang ditembus kepentingan politik.

Salah satu contoh yang dinukil Fukuyama adalah bermunculannya kelompok-kelompok lobi yang beroperasi secara bebas dan legal yang bertujuan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu. Praktik legal dan sah dalam sistem politik di Amerika. Karena itu, banyak terjadi kebijakan pemerintah yang dikendalikan oleh kelompok kepentingan tertentu.

Kepemilikan senjata api, misalnya. Meskipun sudah ditentang secara luas dan mudharatnya sudah jelas tapi tetap saja bebas diperjualbelikan. Itu hanya contoh kecil kuatnya kelompok lobi dalam mempengaruhi kebijakan politik Amerika.

Fukuyama tanpa ragu menyebut sistem politik Amerika sedang memasuki fase pembusukan.

Bagaimana dengan Indonesia? Kalau memakai standar Fukuyama tentu kita menjadi ngeri. Kalau Amerika saja sudah disebut berada dalam fase pembusukan, apalagi Indonesia. Bisa jadi kita sudah masuk dalam kategori busuk sampai ke akar-akarnya.

Birokrasi kita jauh dari profesional sehingga mudah ditembus oleh kepentingan politik. Inilah sumber korupsi yang paling besar, yaitu korupsi yang dilakukan para "rent-seeker" pencari rente, pemburu proyek. Jenis korupsi seperti ini relatif tidak ada di Amerika.

Jenis korupsi kedua adalah "clientelism", korupsi yang terjadi karena hubungan patron-klien. Korupsi jenis ini terjadi manakala penguasa membagi-bagikan kekuasaannya kepada klien yang sudah membantu dalam sebuah proses perjuangan politik. Klientelisme, dalam kasus Amerika, terjadi dalam bentuk munculnya undang-undang yang menguntungkan salah satu pihak sepeti dalam kasus industri senjata api itu.

 *  *  *

Di Indonesia, kedua jenis korupsi itu sedang ganas-ganasnya menggerogoti eksistensi kita sebagai bangsa. Korupsi "rent-seeker" para pencuri proyek terjadi dalam bentuk paling vulgar. Korupsi "patron-klien" dalam bentuk bagi-bagi kekuasaan kepada kroni politik terjadi lebih vulgar di depan mata.

Kalau Amerika saja, oleh Fukuyama, disebut sedang mengalami pembusukan politik, entah apa sebutan yang cocok untuk Indonesia. Apakah mungkin kita sedang memasuki fase pembusukan sampai ke akar-akar kebangsaan kita? Semoga saja tidak.

Merdeka! (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda