Salah Satu Episode Sejarah Persebaya (5)

Jejak Kontroversial Almarhum Haji Santo

Foto Almarhum Haji Santo, ketika masih menjadi Ketua Harian.Persebaya sedang cukur rambut. (Foto: emosijiwaku)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Slamet Oerip Prihadi

-------------------------------------------------

ERA Green Force Persebaya di bawah rentang kendali Almarhum Haji Santo adalah era sarat kontroversi. Di tangannya Persebaya bisa juara, tapi musim berikutnya terbanting di lembah degradasi. Memang, pucuk pimpinan Persebaya bukan beliau, tapi perjalanan Persebaya tak lepas dari geliat strateginya. Pucuk komando boleh dipegang oleh Walikota Bambang DH atau Saleh Ismail Mukadar, tapi kendali manajemen berada di tangan Haji Santo.

ATTACK 7 

Haji Santo bekerja all out untuk Persebaya. Bekerja, makan, tidur di markas Persebaya di Mess Karanggayam, adalah hal biasa bagi beliau. Tidak punya pengalaman mengelola klub sepakbola, apalagi klub sebesar dan selegendaris Persebaya. Namun, Haji Santo adalah jago lobi. Cerdas dan cepat menguasai bidang kerja yang baru. Beliau adalah orang kepercayaan Gubernur Jatim (waktu itu) Basofi Sudirman. 

Musuh pun bila perlu beliau datangi dan diajak dialog. Hampir pasti, sikap kompromi pun akan terajut. Orang akan terkesima pada cara pendekatan dan cara bicaranya. Santun, seperti telah kenal lama, santai, tapi efektif. Kedekatan dengan para wartawan pun terjalin. Bak konco plek (sahabat kental), informal, dan cair. Karakternya adalah pesilat. Suka menolong siapa pun yang kesulitan dan kesusahan. Tanpa banyak bicara bantuan finansial beliau berikan. 

Sebelum menemui orang yang dianggap penting dalam kerjanya, beliau pelajari dulu biodata orang tersebut. Apa kesukaannya, bagaimana karakternya dan sebagainya. Karena itu, Haji Santo akan langsung bisa nyambung jika berbicara dengan orang tersebut. 

Tahun 2002, Haji Santo yang waktu itu jadi manajer Persebaya memerintahkan para pemain mogok main di kandang Pupuk Kaltim Bontang. Akibatnya PSSI pun menjatuhkan skornya pada Persebaya. Dikurangi 3 poin dan denda. Itu musim Kompetisi Ligina (Liga Indonesia) VIII tahun 2002.

Tapi tahun 2004, Haji Santo yang menduduki posisi Ketua Harian Persebaya bersama manajer Saleh Ismail Mukadar sukses mengantar Green Force menduduki tahta juara Ligina X. Saat itulah terjadi pemangkasan siklus juara 10 tahunan Persebaya. Siklus 10 tahunan terjadi sejak Persebaya juara 1977, 1977/1988, dan 1997. Tapi di tangan Haji Santo Persebaya sudah bisa juara 7 tahun kemudian, yaitu tahun 2004.

mursyid-dan-bejo3SGPU.jpg

Mursyid Efendy dan Bejo Sugiantoro, dua pemain belakang andalan Persebaya Surabaya. (Foto: emosijiwaku)

Ini prestasi luar biasa!

Memangkas siklus 10 tahunan. Green Force Persebaya bisa merengkuh gelar juara Ligina X yang dimulai 4 Januari 2004 sampai 23 Desember 2004.

klasmenY1Z4x.jpg

**

SUKSES besar ini mengusung risiko (baca: malapetaka) yang besar pula. Dan, itu terbaca dalam kisah perjalanan Persebaya di musim Kompetisi Ligina XI 2005. Malapetaka itu terjadi di episode 8 Besar Divisi Utama 2005. Namun, sebelum bercerita tentang malapetaka tersebut, kami ingin mengungkap perkenalan kami dengan Haji Santo.

Sebagai redaktur olahraga Jawa Pos waktu itu, kami hanya mengenal Haji Santo sebatas nama dan kisah kiprahnya. Bertemu tatap muka dengan beliau belum pernah. Para wartawan Jawa Pos di lapanganlah yang sudah kenal dekat dengan beliau. Antara lain Abdul Muis dan Almarhum Kholili Indro.

Medio Januari 2005 (saya lupa tanggalnya) malam di kantor Jawa Pos, Graha Pena Surabaya, tiba-tiba ada telepon dari Sekretaris Persebaya, Mas Supriyanto. Kami diminta untuk bisa ke markas Persebaya besok siang, karena Ketua Harian Persebaya Haji Santo perlu bantuan.

“Bantuan apa, Mas Pri?” tanya saya.

“Saya kurang tahu. Besok saja sampean dijelaskan di Karanggayam,” jawab Mas Pri.

“Kalau memang Persebaya perlu bantuan kami, sebaiknya besok kami ke Karanggayam. Baik Mas,” kata kami. Hubungan Jawa Pos dan Persebaya memang sudah terjalin baik sejak 1985. 

Siang keesokan harinya, kami menemui Haji Santo. Baru kali ini kami bertatap muka langsung dengan beliau. Beliau duduk di meja kerjanya, dan kami duduk di hadapannya. Penampilannya santai. Mengenakan kaos oblong putih, beliau meminta salah seorang staf di sana untuk membelikan nasi Padang.

“Piye Mas Slamet. Sehat nggih,” Haji Santo membuka pembicaraan setelah kami bersalaman.

Suasana pun cair, seperti sudah kenal lama. Setelah berbasa-basi, Haji Santo mulai masuk ke titik persoalan.

“Suhu (beliau sudah tahu sapaan akrab kami di komunitas Jawa Pos. Tapi bukan suhu beneran, cuma julukan), saya dan banyak pengurus klub juga pengurus PSSI berencana mengubah format kompetisi dari satu wilayah ke dua wilayah,” tuturnya.

Kemudian beliau beberkan argumentasinya. Pertama, geografis Indonesia yang sangat luas, berpulau-pulau yang terpisah laut. Sangat berbeda dengan negara-negara Eropa yang satu daratan. Akibatnya, biaya pertandingan away sangat mahal dan sangat memberatkan bagi klub. Inilah penyebab tidak ada satu klub pun di Indonesia yang mampu mengontrak pemain lebih dari satu tahun!

Kedua, bila format dua wilayah diterapkan, maka jumlah klub ditambah dari 18 menjadi 28 klub. Itu berarti dua tim di posisi buncit klasemen akhir, yaitu Pelita Krakatau Steel dan Deltras (Delta Putra Sidoarjo) tidak degradasi. (Lihat klasemen akhir Divisi Utama 2004).

“Tolong sampean buatkan tulisan atau catatan di Jawa Pos tentang perlunya perubahan format. Ini akan sangat menolong banyak klub,” pinta Haji Santo. Perubahan ini akan dilakukan dalam Kongres Tahunan PSSI di Hotel Bumi Hyatt Surabaya seminggu lagi.

Di sini kami menyimpulkan, bahwa kiprah dan peran Haji Santo di kancah persepakbolaan Indonesia sangat besar. Permintaan yang patut dipertimbangkan, tapi kontroversial. Menghemat dana away oke, tapi Pelita dan Deltras bebas degradasi, ini yang melanggar statuta FIFA.

“Lo yang promosi ke Divisi Utama dari Divisi Satu 8 klub. Karena itu, Pelita dan Deltras ya layak dimasukkan juga,” dalih Haji Santo.

“Ada misi menyelamatkan Pelita Jaya (milik Nirwan Dermawan Bakrie) ya Pak Haji,” tukas kami.

“Ada juga sih,” jawab Haji Santo.

Tapi alasan menghemat dana – waktu itu dana sebagian besar klub dari APBD (uang negara) – membuat kami tak berkeberatan membuat catatan perubahan format. Kami pun meminta bahan tulisan  perbandingan  kepada redaktur olahraga Radar Surabaya, Rahmat Adhi Kurniawan (Rak). 
Tentu saja Rak menyodorkan sistem kompetisi MLS (Major League Soccer), Liga Utama Sepakbola Amerika Serikat, yang sejak awal menerapkan format dua wilayah. Yaitu Eastern Conference dan Western Conference. Masing-masing wilayah bermuatan 10 klub.

Konsep yang disodorkan Haji Santo, musim kompetisi Divisi Utama 2005 juga dibagi dua wilayah. Wilayah Timur dan Barat, tapi masing-masing wilayah bermuatan 14 klub. Cerdik juga Pak Haji menyembunyikan misi penyelamatan Pelita agar tak mencolok mata. 

Kami pun membuat catatan di Jawa Pos. Dimuat dua hari beruntun (dua seri). Dan, benar, di Kongres Tahunan PSSI tulisan kami di Jawa Pos menjadi bahan rujukan. Kongres memutuskan format kompetisi dari satu wilayah menjadi dua wilayah, dan disetujui oleh seluruh peserta kongres. Baru kali ini ada tokoh sepakbola Surabaya yang punya pengaruh kuat di PSSI.

Begitulah awal perkenalan kami dengan Haji Santo. Pengurus Persebaya yang punya pengaruh kuat di PSSI. Jago diplomasi, jago melakukan pendekatan. Persebaya kehilangan tokoh sehebat Haji Santo, setelah beliau meninggal dunia 25 Juni 2007 di RS Telogorejo, Semarang, akibat serangan jantung.

Beliau meninggal pada usia 62 tahun saat menjabat sebagai manajer Persija Jakarta. Beliau sangat tegang ketika Persija dikalahkan PSIS Semarang 1 – 2. Haji Santo pernah bercerita, bahwa dia tidak boleh menonton langsung pertandingan tim yang diasuhnya. Sebab dirinya mengidap sakit jantung.

Tapi entah mengapa, waktu itu, beliau menonton langsung pertandingan PSIS versus Persija di Stadion Jatidiri Semarang. Persija kalah, beliau langsung lemas, koma, kemudian mengembuskan napas terakhirnya.

Setelah itu, Persebaya tidak punya lagi orang kuat dan jago diplomasi. Pengurus yang ada, Saleh Ismail Mukadar dan Cholid Ghoromah, mohon maaf, terlihat kaku. Tidak semua komponen sepakbola Surabaya dirangkul dan diberdayakan. Padahal menjadi pimpinan klub sepakbola Indonesia, apalagi klub sebesar Persebaya, harus supel, siap mendengarkan pendapat orang lain, bisa ngalah tapi menang di hasil akhir. 

Konflik yang kian membara dengan para elite PSSI. Tujuannya mungkin sangat benar. Melawan kezoliman dan mafia sepakbola. Tapi, jalan yang ditempuh melawan regulasi yang berlaku di dunia sepakbola. Persebaya menyatakan keluar dari keanggotaannya di PSSI. Malapetaka pun menimpa Persebaya. Andai Haji Santo masih bersama Persebaya, tidak akan mungkin terjadi dualisme, dan tidak akan mungkin Persebaya matisuri.

Masih ada lanjutan kisah dengan Haji Santo yang akan kami tuliskan di seri ke-6 besok. Haji Santo tak luput dari kesalahan, tapi beliau berjuang keras dan menghadap langsung Ketua Umum PSSI untuk meringankan hukuman yang dijatuhkan Komdis PSSI pada Persebaya. Dan, berhasil! *

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda