Salah Satu Episode Sejarah Persebaya (1).

Melesat di Tengah Badai

Foto dan ilustrasi: CoWasJP.com

COWASJP.COMINI tulisan kami pada 2006. Dimulai dari Rabu 15 Februari 2006. Batavia Air yang kami tumpangi dari Bandara Juanda baru saja landing di Bandara Soekarno-Hatta. Waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB. Handphone (HP) kembali kami hidupkan. Hanya hitungan detik, HP berdering. Sekum Persebaya Akhmad Munir menelepon. 
Kami bersama seluruh penumpang masih di dalam pesawat. Pintu ke luar belum dibuka. Sekum meminta kami untuk membuatkan buku sejarah Persebaya. Ketika menuruni tangga pesawat, judul buku pun ’’ketemu.’’ MELESAT di TENGAH BADAI. 

Mudah-mudahan tulisan ini menginspirasi semua pecinta dan para pendukung Green Force Persebaya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Bahkan banyak TKI dan TKW yang berada di manca negara. Mulai dari Eropa, Timur Tengah, Asia Timur, Australia, sampai Amerika Serikat. 

Inspirasi itu muncul seketika kala menuruni tangga pesawat. Kisah Green Force bukanlah kisah ’’Yang Terempas dan Kandas’’. Tapi ’’Yang Terempas dan Pantang (Tak Pernah) Kandas!’’ 

Kalau dipikir-pikir, kisah Green Force bak kisah pesawat terbang. Pesawat hanya turun (ke bumi) untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Kemudian melesat terbang lagi menembus badai dan menggapai tujuan. Begitu pula Green Force. Mereka hanya turun (ke Divisi Satu pada 2003 dan 2006 ) untuk mengoreksi kesalahan atau kekurangan. Lantas memuat spirit pencerahan dan kebangkitan.

Kemudian melesat lagi menuju tujuan: kejayaan dan mahkota juara.

Arek-arek boleh terempas ke Divisi I. Mereka boleh diempaskan oleh hal-hal di luar kepentingan tim.

Mereka boleh terpuruk oleh badai politik bola. Tapi satu hal yang patut dicatat: Mereka Tak Akan Pernah Kandas!

Selama darah arek-arek Suroboyo masih merah. Selama jiwa arek-arek tak mengenal kata menyerah. Selama itu pula, Insya Allah, Persebaya tak akan pernah kandas!

Bagi kami, dalam konteks penyusunan buku Persebaya 2006, persoalannya adalah deadline. Sekum Persebaya praktis hanya memberi waktu 3 hari! Start Sabtu 18 Februari, finish Selasa 21 Februari. Sungguh ini bukan pekerjaan gampang. 

Namun, demi Green Force kami berusaha sekeras-kerasnya untuk mematuhi tenggat waktu tersebut. Kami sangat berterima kasih kepada saudara Kholili Indro, redaktur senior olahraga Jawa Pos, yang membantu data dan bahan tulisan. 

Sejujurnya, tidaklah tepat bila buku ini disebut sebagai sejarah perjalanan Persebaya. Masih butuh waktu panjang untuk studi literatur dan wawancara dengan sejumlah tokoh Persebaya. Kami persilakan para pembaca dan pendukung setia Green Force untuk menyebutnya sebagai apa. Yang jelas, inilah garis besar cerita jatuh-bangunnya tim kesayangan kita.

Semoga berkenan di hati para tokoh bola dan suporter. Semoga Allah SWT senantiasa mengaruniakan berkah dan rahmat Nya kepada kita sekalian. Semoga Persebaya benar-benar ’’Melesat di Tengah Badai.’’ Tak pernah kandas! Amin.

Surabaya, Sabtu 18 Februari 2006

Salam olahraga,
Slamet Oerip Prihadi
Redaktur Senior Jawa Pos (waktu itu)


ATTACK 1

BELUM ada era emas Persebaya yang setara dengan kurun 1950 – 1952. Bayangkan, kala itu Persebaya juara beruntun tiga kali: 1950, 1951, dan 1952. Kalau saja waktu itu perkembangan pers nasional sudah sehebat sekarang, pasti Pasukan Persebaya 1950-1952 didaulat sebagai the Dream Team. Dan, andai sepak bola telah sedemikian komersial seperti sekarang, mungkin bintang-bintang Persebaya kala itu bernilai Rp 1 miliar per pemain! Dan, full local! Luar biasa.

Sejak Persebaya berdiri 1927 – tiga tahun sebelum PSSI didirikan – sampai 2006 sekarang, baru kurun itulah Persebaya juara beruntun di tiga musim. Bahkan boleh dibilang Persebaya-lah satu-satunya tim di Indonesia yang bisa juara beruntun dalam tiga musim secara sempurna. Ada satu tim lagi yang bisa disebut juara beruntun tiga musim, yakni Persija Jakarta. (Lihat tabel data juara-juara divisi utama Indonesia). Tak sesempurna Persebaya karena sukses Persija diselingi kasus juara bersama dengan PSMS Medan pada 1975. Konon waktu itu pertarungan final diiringi kerusuhan suporter yang hebat. Sukses Persija juga diselingi tahun-tahun tanpa kompetisi pada 1974 dan 1976. Jadi, tidak beruntun sempurna seperti Persebaya pada 1950, 1951, 1952.

Sebenarnya, kami ingin lebih mendalami era emas ini. Target kami, paling tidak pengurus dan pemerhati Persebaya sekarang memperoleh jawaban tentang beberapa pertanyaan penting. Apa kunci sukses Persebaya waktu itu? Bisakah produk gemilang pembinaan kala itu diterapkan sekarang? Apakah banyaknya lapangan bola di Surabaya kala itu menjadi faktor utama pencapai puncak kejayaan? Sayang, waktu yang diberikan kepada kami demikian singkat.

Jangankan kita yang hidup di masa sekarang. Pengurus Persebaya pasca-1952 pun tak sanggup melestarikan kejayaan itu. Juga tak mewariskan ’’buku pintar’’ menuju kejayaan luar biasa itu. Yang terjadi setelah itu hanyalah siklus juara 10 tahunan. Mulai 1978, 1988, dan 1997.

Siklus itu terlihat berubah ketika Green Force merebut mahkota juara Ligina X 2004. Hanya 7 tahun setelah kali terakhir juara (1997). Fenomena ini tentu sangat menarik. Siklus juara 10 tahunan lazimnya hanya bergeser setapak. Sembilan tahun atau 11 tahun. Tapi kali ini baru 7 tahun kembali juara!

Para pengamat pun terkesima dan bertanya-tanya. Apakah Persebaya sedang menyusun siklus baru? Apakah ini merupakan ’’tanda-tanda’’ perubahan yang mengiringi pergantian abad dan milenium

Soal siklus juara bukanlah mengada-ada. Di pentas Piala Dunia pun berlaku siklus juara. Memang berbeda. Siklus juara Persebaya adalah siklus waktu (time), sedangkan siklus juara Piala Dunia adalah siklus benua (space). Kami persilakan membuka sejarah Piala Dunia sejak 1962. Sejak itu sang juara selalu direbut tim Benua Amerika dan Benua Eropa secara bergantian. 

Pada 1962 Brazil (Amerika), 1966 Inggris (Eropa), 1970 Brazil (Amerika), 1974 Jerman (Eropa), 1978 Argentina (Amerika), 1982 Italia (Eropa), 1986 Argentina (Amerika), 1990 Jerman (Eropa), 1994 Brazil (Amerika), 1998 Prancis (Eropa), 2002 Brazil (Amerika), 2006 (mestinya kembali ke Eropa). Tapi tim negeri mana? Apakah yang terjadi nanti justru perubahan siklus? Misteri inilah salah satu daya pikat Germany 2006.

Kembali pada siklus juara Persebaya, dugaan kemungkinan perubahan siklus cukup beralasan. Ini karena sebelumnya sepak bola nasional kita digoyang rentetan kejutan besar. Fenomena itu dimulai oleh Persik Kediri yang melesat luar biasa. Juara Divisi II pada 2001, juara Divisi I pada 2002, lantas juara Divisi Utama pada 2003. Baru kali itu ada klub pinggiran yang semula tak dikenal tiba-tiba menyeruak ke orbit divisi utama secara luar biasa.

Kami selalu menggunakan istilah tim pinggiran untuk kekuatan anyar. Yakni klub-klub yang selama ini tak pernah diperhitungkan dalam peta kekuatan sepak bola nasional. 

Sebelumnya, gelombang kejutan datang dari kubu Petrokimia Putra yang melesat tak tertahankan menuju tahta juara Divisi Utama 2002. Namun, di sinilah celakanya. Tim-tim kita – baik kekuatan tradisional maupun yang anyar -- tak mampu bertahan di puncak. Persik terbanting di musim berikutnya setelah menjuarai Divisi Utama. 

Yang pasti, sejak era Liga Indonesia (1994) belum ada satu tim pun yang mampu juara beruntun. Petrokimia Putra bahkan nyaris degradasi pada 2004/2005. Untunglah Petro (bersama Delta Putra Sidoarjo) terselamatkan oleh perubahan format kompetisi. Mereka batal degradasi karena PSSI menerapkan format 2 wilayah dengan memperbanyak muatan klub. Semula (dengan format satu wilayah) hanya bermuatan 18 klub, kemudian membengkak jadi 28 klub! Muatan terbesar di seluruh jajaran divisi utama dunia!

So, para pengamat selalu mewaspadai arus antiklimaks yang mengiringi sang juara. Ketika Green Force memangkas siklus juara jadi 7 tahun, mereka pun mencemaskan arus antiklimaks yang bakal lebih mengejutkan dan tak terbayangkan.

grafisamZNc.jpg

LIGA INDONESIA 

liga-dunhillBZkyX.jpg   

Setelah empat musim beruntun dikuasai tim Timur, apakah tahun ini bakal jadi milik tim Barat? Kalau dugaan ini benar, tim Barat yang mana? PSMS, Persija, atau Persib? Perlu dicatat, meski de jure ikut Barat, tapi de facto Arema berada di Timur. Nurani Arema di Malang, Jatim!

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda