Misi Kebudayaan ke Malaysia

Kacang Tidak Akan Lupa pada Kulitnya

Kementerian Kebudayaan Malaysia dengan antusias menyasikan pergelaran seni budaya Indonesia-Malaysia. (Foto: Kusnin/CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Imam Kusnin Ahmad

---------------------------------------------

Di medio 2014, penulis bersama dua mantan wartawan Jawa Pos, H Abu Muslich dan Budi Plandang, dapat tugas misi kebudayaan Indonesia ke Malaysia. Kebetulan kami bertiga adalah Pengurus Pusat ABI (Adi Budaya Indonesia), yakni  sebuah perkumpulan yang menghimpun para seniman tradisional di tanah air. 

Kalau kata Pak Margiono, boss Rakyat Merdeka Group, ABI itu singkatannya bukan Adi Budaya Indonesia. Tapi singkatan Abu Muslich, Budi Plandang dan Imam Kusnin Ahmad.

Kronologisnya saat itu PASOMAJA  (Paguyuban Solidaritas Masyarakat Jawa Malaysia) bekerjasama dengan KBRI di Malaysia yang minta kami mengirim tim kesenian berupa Wayang Kulit.

Ketika itu kami membawa 42 orang seniman Jawa Timur, mulai dari dalang, penari, sinden, panjak, dan crew. Acara berlangsung di Stadium Titi Wangsa Kualalumpur Malaysia. Semua rombongan menginap di No 71 Lorong Masjid Pakistan, Off Jl. Hj. Husen 50300 Kualalumpur.

Meski acara cuma semalam tepatnya 1 Mei 2014, tapi rombongan di Negeri Ringgit itu hampir menginap sampai 10 hari. Alhamdulillah acara berjalan dengan baik dengan menampilkan dalang Ki Budi Plandang.

foto-B-kusnine7iqf.jpg

Wayang Orang dengan Tari Cakil persembahan dari reporter TV Indonesia. (Foto: Kusnin/CoWasJP)

Selain pentas wayang kulit, acara yang dimulai sejak siang hari itu juga menampilkan beberapa kesenian khas Jawa, jaranan, reoq Ponorogo, dan jatilan. Sayang waktunya tidak panjang. Kalau di Jawa pertunjukan wayang kulit memakan waktu hampir 8-9 Jam. Tapi malam itu penampilan hanya di batasi  3 Jam. Karena sesuai izin yang keluar dari aparat keamanan, pertunjukan harus selesai pada pukul 12.00 waktu Kualalumpur.

Tidak masalah. Meski hanya tampil tiga jam, namun sudah bisa mengobati  kerinduan warga Jawa di Malaysia akan kesenian leluhurnya.

Di balik cerita tadi, ada seorang  reporter TV nasional Indonesia yang bertugas di Malaysia ikut gabung mengisi acara. Dia bersama sang istri memang lulusan ISI Solo. Sehingga sangat rindu akan penampilan drama tari.

Pada malam itu dia menyumbangkan tari Buto Cakil. Tariannya sangat bagus karena meragakan bagaimana Buto Cakil bermain silat dengan bersenjata kerisnya. Hampir 2000 penonton yang mayoritas warga keturunan Jawa itu dibuat terkagum-kagum.

Selain itu penulis juga sempat berbicara banyak dengan keluarga Ketua Umum Pasomaja, H.Ahmad Nasihin.Ternyata dia orang asli Lamongan, Jawa Timur. Salah seorang usahawan katering sukses asal Indonesia. Dengan nama Sunan Drajat. Sebelumnya restorannya selama 9 tahun bernama Harapan Jaya.

Kemudian pada tahun 1989 nama tersebut diganti  menjadi seorang Wali Sembilan  asal Lamongan, yakni  Sunan Drajat. Bibarokatil dengan nama auliya’  tersebut usaha Nasihin terus berkibar. Bahkan tidak hanya kuliner, juga merambah ke usaha lainnya. Seperti travel, usaha home industri seperti membuat tempe, tahu, bakso serta beberapa usaha yang lain. Antara satu usaha dengan usaha yang lain saling mendukung.

“Pada awal-awal Abah hanya usaha restoran dengan nama Harapan Jaya. Namun dalam perkembangannya Harapan Jaya di ganti Sunan Drajat. Alhamdulillah nama itu membawa berkah dengan berkembangnya usaha,’’ ujar Buyung, anak sulung H Nasihin kepada penulis.

Ia mengatakan, pada awalnya usaha yang dirintis oleh ayahnya memang bertujuan sederhana, ingin menjadi tempat berkumpul, bergurau serta melepas kerinduan sesama perantau di negeri orang. Namun tujuan itu ternyata  malah menjadikan peluang bisnis yang menjanjikan di masa depan.

Terbukti hingga kini Sunan Drajat telah memiliki 5 buah rumah makan yang tersebar di Semenanjung Malaysia. Yang utama di daerah Chow-kit. Kedua di daerah Kajang, ketiga dan empat berada di daerah Pulau Pinang, (sekitar 3 jam 45 menit atau 331.0 Km dari Kuala Lumpur) dan yang terbaru kini ada di daerah Gombak.

foto-C-kusninaD6oU.jpg

Tarian Remo menjadi mendapat sambutan hangat dari penonto. (Foto: Kusnin/CoWasJP)

Dari jumlah karyawan yang bekerja pun cukup terbilang fantastis bagi pengusaha perantauan sekelas H. Nasihin, mobil serta beberapa van untuk operasional pun tidak luput dari pantauan komuntas, yakni sekitar 5-6 buah.

Baik mobil  pribadi maupun untuk berbisnis. Sedangkan jumlah karyawan yang bekerja saat itu sekitar  50 orang, baik yang bekerja di Rumah Makan, Travel ataupun Home Industry di kediamannya di Gombak.

Mengapa usaha kateringnya bisa berkembang pesat? Karena jenis makanan yang disediakan Restoran Sunan Drajad memang cukup bervariasi, ada bakso, pecel lele, ayam penyet, soto, rawon, sayur asem, mangut bandeng dan ikan pari,serta yang paling terkenal adalah sate kambingnya.

”Di restoran kami mayoritas menyajikan masakan Indonesia. Sehingga perantau dari Indonesia khususnya Jawa banyak yang berkunjung  kemari,’’ ungkap Buyung.

foto-DRfjVr.jpg

Budi Plandang menerima cenderamata dari Kementerian Kebudayaan Malaysia. (Foto: Kusnin/CoWasJP)

Suasana keakraban di antara pengunjung dan pelayan cukup erat. Karena mereka menggunakan bahasa ibu mereka yakni, bahasa Jawa Timuran. Sehingga ketika salah seorang pengunjung yang ingin memesan sate, serta merta akan terdengar suara teriakan dari dalam rumah makan: “ Sate Sepuluuuuh…makan atau Sate Sepuluuuh bungkuus”. Kebiasaaan? Tapi itulah suasana  RM Sunan Derajat.

Saat ini perkembangan bisnis yang dijalankan H. Nasihin dengan Sunan Drajat-nya cukup mendatangkan omset yang besar bagi seorang pengusaha makanan, sebab beliau sendiri sangat pandai dalam melihat peluang yang ada di sekitarnya.Tidak dijelaskan secara rinci tahun berapa beliau datang ke Malaysia, namun idenya membuat rumah makan hanyalah sebagai tempat berkumpul para pekerja Indonesia yang tersebar di negeri jiran ini, baik itu yang bekerja di sektor bangunan, rumah tangga, pelayanan serta beberapa sektor yang lainnya.

H. Nasihin  dan Yayasan Sunan Drajat

Meski sebagai perantau, jiwa sosialnya sangat tinggi di luar bisnis yang di jalankan.Apa itu? Ternayata dia juga  ikut serta mengelola Pesantren Sunan Drajat Putra dan Putri, asuhan Prof  Dr KH Abdul Ghofur, keturunan ke 7 Sunan Drajat. Pesantren yang ada di Paciran Lamongan ini memiliki  sekitar 9.000  santri, yang belajar mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi bernama STAIR (Sekolah Tinggi Agama Islam “Raden Qosim”) , Perkembangan santri dan siswanya sangat pesat. Dalam tempo tidak begitu lama, para penuntut ilmu di Pondok Pesantren ini berasal dari dalam maupun luar negeri.

Peran H. Nasihin sebagai putra daerah serta ghirahnya terhadap ilmu pendidikan membuatnya ikut serta dalam membangun kembali semangat persatuan dan pendidikan khususnya di daerah asalnya, baik itu berupa bantuan finansial maupun non materi yang cukup menjadi pengabdian dan sumbangsih yang bernilai bagi seorang putra daerah yang merantau dan sukses di negeri orang.

Sementara itu mengenai Yayasan Sunan Drajat sendiri, Prof.Dr. KH Abdul Ghofur, keturunan ke-7 Sunan Drajat yang merupakan sesepuh Pesantren Sunan Drajat mengatakan, STAIR yang didirikan di bawah Yayasan Pondok Pesantren Sunan Drajat ini melewati peristiwa yang panjang sebelum berdirinya.

Menurut Abdul Ghofur Pesantren Sunan Drajat merupakan pesantren yang didirikan oleh salah satu anggota Walisongo ini ratusan tahun lalu. Setelah pesantren dilanda gempa yang meruntuhkan bangunannya rata dengan tanah sekitar 500 tahun lalu, maka pada tahun 1975, anak cucunya sebagai keluarga besar Sunan Drajat bersama sesama Muslim menghidupkan kembali Pondok Pesantren ini untuk membina umat Islam.

foto-E-kusninAFs6r.jpg

Penulis bersama Gus H.Abdilah asal Ujung Pangkah Gresik, tokoh Jawa di Malaysia. (Foto: Kusnin/CoWasJP)

Untuk menggerakkan roda Pondok Pesantren Sunan Drajat ini, para pengurus melengkapinya dengan berbisnis. Bisnis yang dikelola oleh mereka kebanyakan bisnis besar, seperti pasar swalayan dan pabrik pupuk, yang telah mengekspor pupuknya ke luar negeri.

Upaya bisnis yang dilakukan para pengasuh Pondok Pesantren ini tidak lain untuk membiayai para santrinya yang hanya dipungut sedikit biaya. Sebagian besar biaya sekolah maupun kuliah serta biaya hidup sehari-hari para santri, yang semua itu ditanggung oleh Pondok Pesantren Sunan Drajat ini.

Hasilnya? Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan untuk dijadikan Success Stories bagi perantau Indonesia yang saat ini berada di mana saja. Sebuah pepatah kacang lupa akan kulitnya agaknya jauh dari H.Nasihin. Kesuksesan salah satu perantau di Malaysia yang kini dapat kita lihat dan rasakan bersama. Sukses di negeri orang. Namun tidak lupa ikut membantu pembangunan mental spiritual didaerahnya.Inilah yang dilakukan H Ahmad Nasikin dalam bidang sosial.*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda