Yang Berubah di Indonesia Soccer Championship (2)

Masih Ada yang Belum Berubah di Tengah Perubahan

Foto dan ilustrasi: CoWasJP.com

COWASJP.COMSALAH satu sisi lain yang menarik di pentas Turnamen Hebat Indonesia Soccer Championship (ISC) A adalah hadirnya klub Bhayangkara Surabaya United dan PS TNI. Berarti sekarang ada dua lembaga pertahanan dan keamanan negara yang punya klub di level puncak ISL (Indonesia Super League). 

PS TNI mengakuisisi Persiram Raja Ampat dengan nilai transparan Rp 17 miliar,  sedangkan Bhayangkara Surabaya United adalah merger PS Polri dengan Surabaya Unites. Launching Bhayangkara Surabaya United dipimpin langsung oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.

Mirip dengan Thai League (ISL-nya FA Thailand) yang punya dua klub milik TNI AD (Army United FC) dan TNI AL (Siam Navy FC). Nah, karena Presiden Direktur PS TNI adalah Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, diharapkan pengawasan tentang kemungkinan terjadi match fixing dan tindakan unfair lainnya dalam pertandingan ISC A bisa dilakukan lebih ketat.

Sebab, pemberantasan mafia sepakbola tidak bisa dilakukan oleh PSSI sendirian. Dibutuhkan pula kehadiran dan peran aktif Polri yang memiliki kewenangan menangkap dan memiliki peralatan canggih menyadap telepon yang mencurigakan selama kompetisi atau turnamen berjalan.

ssuap-bal-balanqGrXZ.jpg

Ilustrasi suap sepakbola. (Foto: beritajogja

Menurut sumber CowasJP.com yang bisa dipercaya, proses suap yang dilakukan oleh oknum-oknum sepakbola lebih canggih dari yang dilakukan oknum DPR dan oknum pejabat negara. Beberapa kali oknum DPR dan oknum pejabat negara tertangkap basah ketika menerima suap atau gratifikasi. Namun, belum pernah ada satu pun oknum mafia sepakbola yang tertangkap basah.

“Salah satu contoh. Ketika dilakukan penyuapan terhadap wasit A atau pemain B atau ofisial C misalnya, sejumlah uang kontan tidak diberikan langsung kepada pihak bersangkutan. Uang ratusan juta rupiah itu oleh kurir dari pihak penyuap dititipkan di sebuah warung. 

Bukan warung besar. Warung kecil yang orang lain tak menyangka bakal terjadi transaksi ratusan juta rupiah di situ. Bahkan mungkin miliaran rupiah.

Kemudian kurir pihak yang menerima suap atau gratifikasi mengambil uang tersebut pada pemilik warung. Pemilik warung itu sendiri tidak tahu kalau dalam bungkusan atau paket yang buruk tersebut berisi uang suap atau gratifikasi. Ayo, bagaimana melacaknya kalau begini caranya,” tutur sumber tersebut.

Apakah PSSI punya aparat untuk melacak dan membongkar kejahatan seperti ini? Pasti tidak punya. Karena itu, dengan masuknya dua klub milik TNI dan Polri di pentas ISC A, diharapkan gerakan mafia sepakbola bisa terendus dan terbongkar.

Alasan inilah yang menyebabkan penulis mendesak agar kompetisi resmi segera digulirkan dan SK Pembekuan PSSI segera dicabut (soal KLB dan lain-lain itu urusan para elite). Sebab, pemberantasan atau lebih tepatnya upaya sistematis mempersempit ruang gerak mafia sepakbola baru bisa dilakukan secara nyata ketika kompetisi berjalan. 

kantor-PSSIH8zMK.jpg

Suasana kantor PSSI di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta. (Foto: Dok. TIMES Indonesia)

Tak hanya match fixing, tapi juga rekayasa pemain asing. Selama ini tidak pernah transparan berapa nilai kontrak semua pemain, khususnya pemain asing. Berapa yang diterima pemain dan berapa fee yang harus diberikan kepada agen dan ofisial klub?

Hal yang lain lagi, menurut regulasi, pemain asing yang bermain di ISL haruslah strata 2 klub-klub Eropa dan Amerika Latin. Coba diselidiki dengan cermat, benarkah mereka berasal dari strata kedua klub Eropa dan Amerika Latin? Setahu kami, hanya Luciano Leandro yang kini jadi pelatih PSM Makassar yang sah dari strata 2 Liga Brazil.

Jangan-jangan sebagian besar pemain asing yang bermain di Indonesia adalah mereka yang di bawah standar dan memperoleh surga (gelimang uang) di Indonesia. Belasan tahun sudah sepakbola Indonesia dimasuki pemain-pemain asing, tapi mana dampak positifnya bagi prestasi sepakbola Indonesia? 

dua-pemain-naturalismMbKc.jpg

Dua pemain naturalisasi Indonesia, Irfan Bachdim (kiri) dan Cristian Gonzales. (Tribunnews)

Posisi-posisi strategis: striker, playmaker, center back didominasi pemain asing. Alhasil, ketika Indonesia menampilkan Tim Nasionalnya di pentas Piala AFF dan Piala Asia, tetap jeblok. Maximum hanya merebut posisi runner up. Bagi negara sebesar Indonesia, belasan tahun tanpa gelar Asia Tenggara adalah kemunduran serius, bahkan terasa bagai bencana.

Penyebabnya tak lain dan tak bukan: bintang-bintang lokal Indonesia tidak pernah memperoleh jam tanding yang cukup.

So, diperlukan evaluasi yang tajam dan komprehensif terhadap kehadiran pemain asing di pentas strata 1 sepakbola Indonesia. Bahwa Gelora Trisula Semesta (GTS) sebagai operator telah memberlakukan aturan ISC B (Divisi Utama) tanpa pemain asing, sungguh ini merupakan langkah strategis yang patut diacungi jempol. Kini tinggal mengevaluasi total peran dan asal pemain asing di ISC A.

Evaluasi bisa dilakukan waktu jedah putaran I dan putaran II ISC A. Sejatinya, proses regenerasi pemain Indonesia tidak berjalan optimum. Seharusnya para pelaku utama sepakbola Indonesia merasa galau ketika seorang Cristian Gonzales yang sudah berusia 40 tahun masih bisa main.

Sepertinya koq tidak ada lagi penggantinya yang baru, yang lokal, lebih muda dan lebih tajam?
Naturalisasi sejumlah pemain asing adalah jalan darurat. Kita tidak pernah merasa bangga dengan jalan pintas ini. Sebab hasilnya tidak satu pun gelar Asia Tenggara, apalagi Asia, yang bisa direbut. Di mana konstribusi nyata dan positif mereka? 

Hal yang lainnya lagi, kalau memang ISC hendak dijadikan percontohan terbaik untuk transparansi finansial, maka segera laksanakan pengumuman secara terbuka hasil penjualan tiket dari semua laga ISC A maupun B. Jika Anda meliput pertandingan Piala Dunia misalnya, maka Anda sebagai wartawan akan mendapatkan informasi dari Panpel  yang menjelaskan berapa jumlah penonton dan berapa dolar atau euro yang didapatkan dari hasil penjualan tiketnya.

Kalau hal ini diterapkan di pentas ISC A dan ISC B, sungguh hal ini merupakan perubahan positif yang konkret. 

isc-cowas8bYJ.jpg

Foto: merahputih

Penulis pernah punya pengalaman buruk dengan manajemen klub ISL di Jatim.  Empat tahun silam penulis coba menghitung hasil penjualan tiket dari satu pertandingan ke pertandingan lain satu klub di Jatim. Ini karena penontonnya selalu banyak (menjejali 60 sampai 100 persen ruang tribun). Penulis memprediksikan bahwa di akhir kompetisi nanti klub bersangkutan bisa surplus sekitar Rp 1 miliar.

Tapi, apa tanggapan manajemen klub tersebut?

Penulis dituding sok tahu, dan ofisial tersebut berkata bahwa dirinya telah mengeluarkan sekian miliar demi klub asuhannya. Jangan menulis yang tidak-tidak!  Padahal, niat penulis ingin menunjukkan kepada publik, bahwa klub Indonesia sebenarnya berpotensi meraih keuntungan. Walaupun tidak banyak. Tapi jika dikelola dengan baik klub tersebut punya modal yang cukup untuk membangun tim baru di musim mendatang.

Selama ini kita tidak pernah tahu di mana sumber kebocoran uang penjualan tiket? Atau malah sebaliknya, semuanya telah dikelola dengan baik, tapi semuanya tertutup. Yang kita ketahui, di musim mendatang klub harus mencari dana belasan sampai puluhan miliar lagi untuk mengikuti kompetisi.

Kalau toh setiap klub harus mengeluarkan dana pengamanan setiap kali jadi tuan rumah, berapa standar biaya yang dipatok? Untuk laga panas (lawan musuh bebuyutan) berapa, untuk laga biasa berapa? Kalau tiket yang terjual 70 persen dari kapasitas stadion, pasti masih untung ratusan juta rupiah. Itupun sudah dipotong biaya petugas Panpel dan petugas pintu masuk.

Apalagi jika setiap klub dilindungi hak ciptanya dalam penjualan apparrel. Kios-kios dan pedagang kaki 5 boleh saja berjualan, tapi semuanya harus produksi dari klub bersangkutan. Mulai dari yang harga Rp 50 ribuan sampai yang ratusan ribu rupiah. Juga asesoris suporter lainnya.  Soal pihak klub menunjuk “sub-sub kontraktor” sebagai pembuat apparrel dan asesesori, nggak masalah. Tapi hitungannya kan jelas.

KESIMPULANNYA: Di pentas ISC A dan ISV B sudah banyak yang berubah. Mulai dari masuknya PS TNI dan Bhayangkara Surabaya United, cap salary pemain, dilarangnya pemain asing di ISC B, sampai ketentuan 4 pemain asing ISC A (1 Asia plus 3 non-Asia). Namun, masih ada yang lebih mendasar yang belum berubah. Sekarang inilah saatnya untuk diubah. Semoga.**

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda