Meliput Euro 96 England 20 Tahun lalu (1)

Kali Pertama Kirim Berita via Internet

COWASJP.COMDEMAM Kejuaraan Sepakbola Eropa (Euro 2016) di Prancis, Juni-Juli mendatang, membuat pikiran saya menerawang ke masa 20 tahun silam. Ketika Euro 96 dilangsungkan di Inggris. Ketika internet belum familiar, ketika foto digital belum banyak dikenal. Inilah kali pertama berita liputan olahraga Jawa Pos dikirim melalui jaringan internet.

 Sekitar sepuluh hari sebelum Euro 96 kick-off, saya sudah berangkat ke London. Di sana sudah menunggu Mas Djoko Susilo (almarhum) yang sedang melanjutkan studi di Wales. Dia mendukung liputan luar lapangan yang terkait dengan event.

Jawa Pos mengirim dua wartawan. Selain saya ada Auri Jaya yang waktu itu ngepos di Jerman. Saya menggunakan id card Jawa Pos sedangkan Auri atas nama harian Merdeka.

Redaksi punya kebijakan memberangkatkan reporter ke event-event besar jauh sebelum hari H. Tujuannya antara lain untuk orientasi medan, termasuk mempelajari sarana transportasi yang mudah, cepat, dan murah. 

eropa-satu.jpg

JENDELA BESAR: Stadion Wembley lama tinggal kenangan. (Fuad Ariyanto/CowasJP.com)

Yang tak kalah penting adalah membeli majalah dengan foto-foto seputar Euro untuk segera dikirim ke Surabaya. Sebab, kantor berita Reuters dan AFP sebagai pemasok berita dan foto belum banyak mendistribusikan ke pelanggan sebelum kick-off. Foto-foto dari majalah itulah yang dipasang di halaman lapsus.

Selain itu, tentu agar redaktur olahraga segera bisa membuat laporan khusus (lapsus). Waktu itu pos Surabaya dikomandani Suhu Slamet Oerip Pihadi. Dia memberi nama keren untuk halaman lapsus, Zona Euro. Suhu dibantu Solichin (Sol) yang kini di Harian Nasional Jakarta.

Waktu itu redaksi Jawa Pos belum punya jaringan internet sendiri. Semua berita dari internet ditangani tim JP-Net. Nah, Sol (Solikin) salah seorang yang bertugas di sini. Dia dengan telaten mengurus berita kiriman saya, Auri Jaya, dan Mas Djoko. Tulisan Cak Sol sangat bagus, dan bisa memilih berita yang baik dan layak untuk Jawa Pos. Bantuan Cak Sol positif sekali.

Yang tidak kalah penting adalah bantuan wartawan-wartawan Jawa Pos yang ngepos di Benua Eropa. Mulai dari almarhum Wing Wiryanto Soemarsono di Roma, Italia. Ramadhan Pohan di Bulgaria (fokus pada tim-tim Eropa Timur), juga Zarmansyah yang waktu itu ngepos di Turki. Resultante dari seluruh kekuatan ini membuahkan hasil luar biasa. Tidak bermaksud memuji diri sendiri, tapi liputan Jawa Pos tentang Euro 96 England adalah yang terbaik di antara seluruh media massa Indonesia. Heroisme yang menghasilkan persembahan fenomenal untuk para pembaca Jawa Pos.

eropa-tigapSJ7A.jpg

BURUNG DARA: Penulis saat mejeng di Trafalgar Square London. (Foto: Fuad Ariyanto/CoWasJP.com)

Karena itu, setelah Jawa Pos menarik semua wartawannya dari pos-pos penting di luar negeri dengan dalih telah tersedianya asupan berita yang sangat cukup dari internet, rasanya karya fenomenal itu akan sulit didapatkan kembali. 

Pertimbangan rasional dan rasionalisasi (berhemat) ternyata harus mengorbankan kualitas jurnalistik yang dahulu menjadi “kebanggaan Warga (baca: pasukan tempur) Jawa Pos.”

****

Dari tiga wartawan itu saya paling awam menggunakan internet. Tulisan saya yang tiba di Surabaya sering ’’berintik’’. Kurang tahu apakah saya salah program atau apa. Tapi, berkat ketelatenan Sol, tulisan saya bisa diterima dengan bersih oleh suhu. 

Inilah kali pertama saya mengirim laporan dengan internet. Karena belum punya imel sendiri, saya menggunakan imel AOL (American On Line) milik Auri. Kebetulan dia punya dua akun imel. Sungguh nikmat mengirim laporan via on line ini. Jauh dari stress.

Berbeda dengan saat meliput Piala Dunia di Amerika Serikat 1994. Stress paling terasa justru waktu pengiriman berita. Bangga juga waktu itu saya dibekali laptop dalam liputan ini. Ya, ini kali pertama saya liputan membawa laptop. Sebelumnya tugas ke luar negeri harus membawa mesin ketik Brother kemudian difaks ke Surabaya lewat resepsionis hotel atau di bisnis center.

Jangan bayangkan laptop dulu seperti laptop sekarang yang sangat ringan. Laptop merk IBM –kalau gak salah-itu beratnya Masya Allah. Pundak terasa sengkleh membawa laptop itu kemana-mana. Pikir-pikir lebih ringan bawa mesin ketik.

Jantung mulai berdegup kencang ketika mengirim berita. Biasanya saya mengirim berita sekitar pukul 04.00-06.00 waktu Los Angeles, pas sore hari waktu Surabaya. 

Pengiriman bisa dilakukan di kamar hotel atau media center. Tapi, saya lebih sering kirim dari kamar hotel karena jarak waktu jam pertandingan dengan deadline  Jawa Pos sangat jauh.

Pengiriman harus didahului dengan memasukkan disket program – namanya Cross Talk (X-talk)-- ke drive laptop. Setelah terprogram, baru memasukkan disket berisi berita.

Berita harus dikirim satu per satu. Tidak bisa mengirim tiga-empat file langsung seperti via internet.

Sebelum dikirim, saya harus menghubungi Surabaya dulu. Biasanya diterima oleh Zainal Abidin, petugas koordinasi liputan (KL). Saya di Amerika –Los Angeles atau San Francisco-- dan Zainal di Karah Agung, Surabaya, harus kompak menyentuh tombol enter di komputer masing-masing setelah ada kesepakatan menyelaraskan kode pengiriman.

Saya menuliskan AtD dan Zainal menulis AtA. ’’Ya, satu…dua…tiga…enter,’’ teriak Zainal dari telepon.

Telepon lalu saya tutup. Mata saya hampir tak pernah lepas dari layar laptop mengamati perjalanan satu file berita yang nggeremet dari angka nol menuju 100. Tak jarang, perjalanan file itu harus putus di angka 70 atau 80 persen. Padahal, yang dikirim hanya satu file berita. Itulah yang bikin stress tinggi.

Karena itu, sungguh saya merasakan kenikmatan besar ketika meliput Euro 96. Berita yang saya kumpulkan biasanya saya kirim sehabis subuh sambil nyeruput kopi bikinan sendiri. Tak sampai tiga menit, Suhu sudah telepon dari Surabaya yang mengabarkan berita sudah diterima. Lega rasanya. Sayang, waktu itu hanya bisa mengirim berita, tanpa foto. Sebab, foto digital belum dikenal. Paling tidak, Jawa Pos belum punya kamera digital. *

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda