Menunggu Apa Lagi Menpora?

Penulis (kiri) dan Sukma ngunggah tulisan di Warkop Cowas JP Tropodo Indah, (Foto dan ilustrasi/Gedhebug Cowas JP)

COWASJP.COM – ockquote>

C a T a T a N: Slamet Oerip Prihadi

---------------------------------------------------

SATU hal yang patut diperhatikan dengan baik oleh Pemerintah (dalam hal ini Menpora), PSSI, dan para elite sepakbola Indonesia adalah rakyat Indonesia kini sedang mencermati semua perkembangan yang terjadi.

Mereka adalah kekuatan yang sulit diduga. Mereka (Rakyat Indonesia) bisa tiba-tiba memenuhi Gelora Bung Karno ketika Evan Dimas Darmono dkk. tampil gemilang di arena Piala AFF U-17 pada 2013. Sebaliknya, mereka bisa tiba-tiba enggan datang ke stadion, walaupun dua tim yang bertanding adalah klub top.

Sebagian dari suporter masih liar dan beringas. Ketika garis keras suporter Inggris (holigans) bisa dikatakan telah melunak dan damai, sebagian oknum suporter Indonesia masih liar. Melupakan persatuan bangsa, terlibat bentrok berdarah-darah, hingga terjadi korban jiwa. Inilah PR besar bagi seluruh tokoh suporter Indonesia, PSSI, dan Pemerintah.

Namun, sebagian dari para suporter adalah mahasiswa dan sarjana yang kritis dan cerdas. Mereka inilah yang mencermati perkembangan sepakbola sekarang ini.

Cabang olahraga apa pun, termasuk sepakbola, menjunjung tinggi nilai sportivitas (kejujuran) dan fair play. Itulah roh yang membuat olahraga jadi “sosok” universal. Yang membuat warga beragama apa pun, menganut Ormas apa pun, dan anggota Parpol apa pun bisa menyatu di stadion dan di luar stadion. Satu jiwa! 

Bicara sepakbola di Warkop, misalnya, orang tak lagi mempermasalahkan agama, golongan, ras, pangkat, dan tingkat kekayaan.

Karena itu, rekayasa apa pun di dalam dan luar lapangan adalah musuh utama roh olahraga. Termasuk bagi sepakbola. Itulah sebabnya, kami membuat tulisan ini dengan judul: Menunggu Apa Lagi Menpora?

Pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, membekukan PSSI dengan alasan menegakkan kembali sportivitas dan fair play. Baik manajemen klubnya, termasuk pengelolaan dananya, dan pertandingannya. Transparansi. 

Malah tokoh sepakbola Djamal Aziz dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne, Selasa malam 1 Maret 2016, mengatakan, tak cukup transparansi.  Malah harus telanjang, apa adanya! Gaya bicara Jawa Timur-annya spontan disambut tawa oleh peserta ILC. Agar angka 3 tidak salah lihat jadi 8, angka 4 jadi 7.

Rabu 24 Februari lalu, terjadi pertemuan penting Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menpora dan Ketua Komite Ad Hoc Reformasi Sepakbola Agum Gumelar. Usai pertemuan, keterangan persnya berbeda. Siapa yang fair?

Pak Agum Gumelar dengan yakin mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada Menpora untuk mencabut SK Pembekuan PSSI. Kita percaya Pak Agum tidak mungkin mengada-ada.

Pak Imam Nahrowi semula mengatakan dalam satu-dua hari ini kabar yang sangat diharapkan rakyat Indonesia akan disampaikan. Tapi kemudian berkata bahwa Presiden Jokowi “hanya” menginstruksikan agar Menpora mengaji kembali SK Pembekuan. Kemudian hasil pengajian diberikan kepada Presiden, agar barangkali Presiden sendiri yang memutuskan.  Berarti, Menpora tidak berani memutuskan sendiri. Begitulah makna yang ditangkap wong cilik.

Padahal Pak Jokowi memerintahkan kepada Menpora agar membuat keputusan secepat-cepatnya untuk menyelamatkan cabang olahraga yang paling digandrungi oleh Rakyat Indonesia.

Siapa yang fair? Siapa yang tidak fair? 

Sangat jelas terbaca, bahwa Menpora menghendaki KLB PSSI digelar dulu, baru kemudian pembekuan dicabut. Targetnya juga sangat jelas: menggusur La Nyalla Mahmud Mattalitti – Presiden PSSI yang diakui sah oleh AFC dan FIFA, dan melengserkan Nirwan Dermawan Bakrie dari arena sepakbola nasional.

Perlu diperhatikan, bahwa olahraga (termasuk sepakbola) punya aturan universal, yang disebut statuta. Kalau kubu Menpora menduga bahwa kemenangan La Nyalla Mahmud Mattalitti dalam KLB PSSI 18 April 2015 adalah rekayasa, maka jangan pula membuat rekayasa baru untuk menggusur La Nyalla.

Kalau mau menggusur La Nyala, ya harus lewat aturan yang berlaku. Kalau disetel atau direkayasa dulu agar tokoh yang dijagokan dan digadang-gadang Menpora yang menang di KLB nanti, apa bedanya dengan match fixing yang sekarang menjadi common enemy (musuh bersama kita).

Lapangan sepakbola harus dibersihkan dari match fixing dan match setting, di luar lapangan sepakbola pun harus begitu!

Intinya, KLB adalah hak para voters dan executive committee PSSI. Bertandinglah yang cantik dan cerdas untuk mengajak para pemilik suara segera menggelar KLB dan memenangkan jagoan yang dikehendaki. Kalau Pemerintah yang mengatur dan memaksakan kehendaknya, apa bedanya Pemerintah dengan common enemy?

menpora-dan-agum-gumelarzbq37.jpg

Menpora Imam Nahrowi dan Agum Gumelar Ketua Ad Hoc Reformasi PSSI. (Foto: sidomi)

Presiden Jokowi di saat yang diperlukan datang ke kediaman Pak Prabowo Subianto di tengah hiruk pikuk kontrovesi politik. Hasilnya, suhu politik langsung menurun. Kebesaran jiwa dan sikap kenegarawanan seperti inilah yang patuh dicontoh Menpora Imam Nahrowi.

Hadapi dan bertemulah dengan sikap kebapakan seorang pemimpin olahraga Indonesia. Menpora harus mendudukkan diri sebagai Bapaknya Cabor-Cabor Olahraga. Jangan main sikat! Hadapi dan datangilah Pak Nyalla dan Pak Nirwan. Bicara dari hati ke hati seperti yang dicontohkan Presiden Jokowi.

Jangan mengajak pihak-pihak lain yang malah memperkeruh suasana. Kita ini satu bangsa dan satu negara koq. Apakah azaz musyawarah dan mufakat sudah tidak berlaku lagi. Nilai sakral demokrasi Negara Proklamasi 1945.

Mengapa yang maju hanya Deputi Khusus Pak Gatot S. Dewa Broto di acara ILC kemarin (1 Maret 2016 malam)? Alangkah elegannya kalau Menpora sendiri yang datang. Dan bertemu dengan dua mantan Menpora Roy Suryo dan Adhyaksa Dault. Kedua mantan Menpofra ini tegas meminta pembekuan PSSI harus segera dicabut.. 

Kalau kebekuan dan “demam berdarah” sepakbola Indonesia berlarut-larut, roh sportivitasnya dikemanakan? Kapan pelatih dan pemain menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi event internasional?

Jika ada tokoh, sehebat apa pun beliau, yang mengatakan bahwa kepengurusan PSSI di bawah La Nyalla tidak sah, FIFA dan AFC tetap mengakui bahwa Presiden PSSI La Nyalla Mahmud Mattalitti dan seluruh jajarannya adalah sah.
Ini fakta.

Tidak bisa main gusur dan main paksa. Melanggar aturan yang berlaku di seluruh dunia. Sekali kita mengatakan anti match fixing, berarti kita juga tidak boleh menggelar bentuk “match fixing” lainnya. Bahwa diduga di tubuh PSSI ada perbuatan korupsi, apakah departemen-departemen Pemerintah RI sudah bebas korupsi? Pemerintah dalam 20 tahun terakhir juga tidak menjalankan kewajibannya untuk memajukan olehraga Indonesia. Hasilnya Indonesia terpuruk di SEA Games 2015. Itu fakta! 

Kita sudah tak menjumpai lagi generasi emas Diklat Ragunan, seperti era Freddy Muli, Yusuf Bahtiar, Wailan Walalangi, Rosiana Tendean, Icuk Sugiarto, Lius Pongoh dkk. Mengapa Pemerintah tidak memelihara bahkan meningkatkan wibawa dan prestasi Diklat Ragunan?

Saya yakin, Pak La Nyalla dan Pak Nirwan Bakrie akan bersedia mengundurkan diri jika dilakukan pendekatan yang baik. Mungkin ada muatan politik dalam pertarungan ini. Namun, semangat persatuan dan kesatuan  bangsa wajib dikedepankan. Selenggarakanlah KLB yang fair. Jangan yang “match fixing.” Kalau pergantian kekuasaan PSSI berjalan dengan baik, maka inilah awal tegaknya fair play dan sportivitas dalam dunia sepakbola Indonesia. Semoga. ***

Simak dan Baca Berita-berita lainnya di CoWasJP.Com Klik Di SINI

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda