BUMD, Mengapa Harus Lahir?

Barang sebelum dikirim diadakan penyortiran dan pencucian. (Foto: Cowas.jp.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l E h: Darul Farokhi

--------------------------------------

(Sebuah catatan awal tahun)

 

SAYA tidak tahu. Benar-benar saya tidak tahu. Mengapa "bayi" BUMD (badan usaha milik daerah) yang namanya PDAU (perusahaan daerah Aneka Usaha) dilahirkan? Kenapa dia harus ada, bila kemudian dibiarkan merana? 

Itulah sedikit yang bisa saya cerna dari kehidupan BUMD yang bernama PDAU di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Tentu, tidak semua. Ada beberapa yang  lahir - tumbuh dan hidup, layaknya  nawaitu stakeholder yang melahirkan. Tapi, rasanya, tidak banyak.

Paling kurang, data ini saya petik dari nguping sana nguping sini. Ditambah lagi, curhat beberapa direksi BUMD kabupaten lain.  Rasanya kok tidak jauh beda. Nasibnya: bak kerakap tumbuh di batu. 

Pertanyaannya: mengapa sebuah perusahaan didirikan, bila tidak untuk dikembangkan? Bisakah dengan begitu, dia mewujudkan tujuan mulia: membuahkan laba yang diharapkan? Bisakah dia menopang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)? 

Atau, memang dia hanya perlu dilahirkan saja? Sekadar untuk kepatutan dan kelayakan sebuah pemerintahan kabupaten/kota yang harus memiliki PDAU?

masukan-barangBC8xh.jpg

Stuffing: loading container dan Loading container

Rasanya tidak. Mencermati beberapa pasal Peraturan Daerah sebagai pijakan berdirinya PDAU, termaktub beberapa tujuan sangat mulia. Di antaranya: 
1. Mengoptimalkan potensi ekonomi daerah. 
2. Merintis usaha strategis yang "belum" diminati pelaku usaha swasta.
3. Memupuk laba dan memberi kontribusi pada PAD.
Sekurangnya muncul tiga tujuan mulia. Redaksi masing-masing perda relatif sama. Paling kurang, senada. Tapi, kenapa semua direksi PDAU yang saya ajak diskusi selalu lesu darah? Semua menyatakan: bila sistem pembinaannya masih seperti ini,"Sulit Pak...!". 

"Fatwa" Pak De Karwo

Setahun lalu, kami, beberapa direksi PDAU di Jawa Timur, sangat antusias menerima "injeksi fatwa" dari Pak De Karwo. Kala itu, BUMDSI menampilkan dua motivator hebat: Pak De dan Hermawan Kertajaya. Acara itu  dipandu oleh Direktur Institute of Pro-Otonomi: Mas Roy.

Bos Mark Plus: Hermawan Kertajaya menghentak seluruh audiens untuk gegap bersiap menyongsong MEA. Bila tidak, BUMD hanya akan menjadi penonton di rumahnya sendiri. Lalu, Hermawan pun memberikan jurus-jurus jitu agar BUMD bisa menjadi Raja di era MEA.

Strategi dasar yang harus dijalankan adalah: mengoptimalkan potensi masing-masing. Cermati potensi yang ada. Olah potensi itu agar layak jual di pasar regional. Rancang kemasannya, dan ciptakan brand yang hebat. "Jangan sampai Anda sadari itu setelah diambil pengusaha dari negara lain," tandasnya.

Semangat menjadi raja di negeri sendiri, makin kuat kala di-injek oleh Pak De Karwo: BUMD harus kuwat. Harus eksis. Jangan cengeng dan selalu minta dikasihani. Cukup dimodali saja. "Masak, sudah dimodali, minta produknya dibeli juga. Bagaimana bisa maju?".

Meski diungkapkan dengan aura kebapakan, kalimat Pak De ini sangat melecut. Greget membangun PDAU-pun makantar-kantar. Fatwa" dua "begawan" itu menancap dan  selalu terngiang di telinga. 

Apalagi nasihat Pak De diiringi dengan data  empiris. Serangkaian data yang menggambarkan kesuksesan Jatim membuat surplus neraca berjalan, di saat neraca nasional devisit.. Aksi perdagangan antar provinsi membuat kondisi Jatim surplus. 

Sekilas, yang diungkapkan Pak De hanyalah sekadar paparan data. Tapi, tidak bagi kami. Paparan itu terasa sebagai motivasi nyata yang bisa diteladani masing-masing kabupaten/kota. Dan...PDAU mustinya, mengambil inspirasi itu sebagai toh dalam strategi membangun kesehatan perusahaan.

So...itulah yang kami petik. Strategi dari dua "begawan" itu langsung kami terapkan dalam manajemen PDAU. Kami sangat sadar, bahwa kami punya potensi besar. Kami punya buah-buahan yang sangat diminati pasar regional dan global. Sebut saja: mangga - pisang - apokat - sirsat dan lainnya. Penawaran kami dalam bentuk natural saja, mendapat respon kuwat dari Singapura dan beberapa negara timur tengah.

Tidak hanya itu. Kami juga punya: bawang merah - jahe - kunyit - kencur - cengkih dan lainnya. Bumbu-bumbuan dan rempah-rempah ini, ternyata juga sangat dicari oleh pemain pasar global. Sekurangnya, berdasarkan aksi marketing yang kami lakukan, respon antusias muncul dari: Eropa - India dan Timur Tengah.

Demand pasar global ini menggiurkan. Strategi memanage potensi kami jalankan. Supaya segera bisa terealisasi, kami pilih satu komoditi buah segar: Mangga Harum Manis. Dan, satu komoditi bumbu-bumbuan: JAHE. Alhamdulillah. Mangga berhasil kami dorong ke Singapura. Dan, Jahe tembus pasar  Pakistan - Banglades, juga Singapura.

Terganjal Diri Sendiri

Sayang seribu sayang. Langkah manajemen yang menebarkan harum indahnya peluang itu terganjal. Pasar yang terbuka lebar terasa jadi hambar. Kengototan kami mengaplikasi jurus jitu dua jawara (Pak De + Hermawan) tidak berjalan mulus. Lho...kenapa?

Kesadaran kami terlambat. Ternyata potensi produksi jahe di Nganjuk plus seluruh Jatim, tak cukup untuk memenuhi permintaan yang kami komitmenkan. Padahal, sumber data kami jelas: kedinasan. Itupun hanya kami komitmenkan setengahnya saja. Begitu pasokan berjalan tiga bulan, jahe gajah di jatim "habis".

Tak boleh pasrah. Kami harus menggerakkan tim pemburu jahe  merangsek ke provinsi lain. Awalnya, kami "serang" Jawa Tengah dan Jawa Barat. Lanjut ke Lampung dan Sumsel. Habis juga. Segera tim bergeser ke Gorontalo - Kendari dan NTT. Alhamdulillah, lumayan pantas untuk memenuhi sebuah komitmen bisnis dengan pembeli asing. 

Belajar dari kondisi ini, ada tiga  pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pertama, perlu adanya verifikasi data kedinasan untuk memberikan kepastian langkah PDAU membuat komitmen pasokan dengan buyer. Ini penting, untuk menjaga profesionalitas BUMD.

Kedua. Seandainya keseluruhan komitmen itu bisa dipenuhi dari daerah sendiri, pasti dampak ekonominya sangat besar. Sesuai dengan data yang kami himpun dari beberapa EMKL (ekspedisi muatan kapal laut) di Surabaya, volume pengapalan jahe ke luar negeri sangat besar. Paling kurang, rata-rata 70 kontainer 40" per bulan. Ini setara dengan 2.100 ton. 
 
Padahal, pasokan ini berjalan mulai April  s.d. September. Dan. Terus menurun sejak Oktober, akibat jumlah barang yang semakin langka. Berarti, selama 6 bulan berjalan, sekurangnya Tanjung Perak menjadi saksi keluarnya jahe gajah sekitar 12 ribu ton lebih, mengarungi samodra, menuju  ke berbagai negara.

Memang, harga tidak rata, dari bulan ke bulan. Awal April, harga di tingkat petani kisaran Rp 5 ribu/kg. Angka itu terus bergerak naik sampai dengan Rp 13 ribu pada Oktober. Seandainya  semua ini dihasilkan dari lahan di Nganjuk atau Jatim, berapa miliar yang mengalir ke petani  kita?  

Ketiga. Dan....ini paling menyakitkan. Peluang strategis dan potensial sudah di tangan. Buyer sudah oke. Pasokan bisa diatasi. Tapi, "pisau" PDAU ternyata sangat tumpul untuk mendapatkan penguatan finansial. Sekurangnya, kondisi ini kami rasakan betul saat audiensi dengan perbankan. Jawaban yang kami terima dari manajemen bank, sangat tidak logis. "Tak ada skim yang pas Pak". Anehnya, jawaban ini tak hanya kami dapat dari bank swasta. Tapi, juga dari manajemen bank plat merah.  

Terpaksa. Ya. Terpaksa kami harus menggaet dana "mahal" dari pihak ketiga. Akibatnya, profit yang tinggal petik, melayang lepas dari tangan PDAU. Kami harus rela mengutamakan: konsistensi  komitmen dengan buyer. Semoga, ini jadi pelajaran yang bisa ditemukan solusinya bagi para stake holder PDAU di Jatim.

Harapan

Itulah sedikit catatan yang bisa kami paparkan tentang kondisi PDAU kita. Kami sangat sadar, bahwa banyak PDAU di Jatim yg belum profesional. Ini tugas kami. Direksi harus terus-menerus melakukan peningkatan kinerja perusahaan.

Disisi lain, keseriusan manajemen membangun  kinerja, selayaknya diimbangi dengan kebijakan strategis. Khusus di Nganjuk, kami sangat berterima kasih atas dukungan Bupati Taufiqurrahman  dalam rangka mengembangkan PDAU. Tetapi, dukungan strategis yang diancangkan, ternyata terhalang dengan regulasi yang tidak menguntungkan.

penulis-ngunci-dan-siap-berangkatL53qp.jpg

Container disegel oleh penulis dan container siap berangkat.

Padahal, menurut hemat kami, semua tujuan yang termaktub dalam perda pendirian PDAU, mestinya bisa diwujudkan. Bahkan, PDAU bisa diposisikan sangat strategis, baik di kancah penguatan perdagangan antar daerah maupun antar negara. 

Terakhir, beberapa hal berikut sangat wajar ditumpukan di pundak PDAU:
1. Memasarkan semua produk yang dihasilkan dari program kedinasan.
2. Membangun jejaring pasar ke luar kabupaten/kota/provinsi.
3. Membangun jejaring pasar ekspor (regional dan global).
4. Menjadi penampung hasi produksi - sortasi - pengepakan produk setempat agar mampu menembus pasar modern dan ekspor.

Wallahu a'alam...

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda