Pembusukan Demokrasi: Mengapa Anggota Legislatif Tidak Dibatasi Masa Jabatannya?

Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta. (FOTO: Tri Aljumanto/detik.com)

COWASJP.COM – MENJADI presiden dibatasi dua kali masa jabatan. Menjadi anggota badan-badan adhoc juga dibatasi dua kali masa jabatan. Cek jabatan KPU, Bawaslu, dan anggota badan publik lainnya.

Tapi, mengapa menjadi anggota legislatif tidak ada pembatasan "masa jabatannya"? 

Harusnya ada pembatasan hanya dua kali masa jabatan. Salah satu jawabannya, semua UU harus melalui proses persetujuan legislatif. Kasarnya, mereka yang menyetujui atau membuat UU, tentu semua balik harus menguntungkannya.

Bila ini diteruskan, proses demokrasi di negeri kita akan ada pembusukan. Tidak ada regenerasi. Loe… lagi…loe lagi.

Seperti diketahui kata "demokrasi" berasal dari kata Yunani "demos," yang berarti "rakyat," dan "kratos," yang berarti "kekuasaan" atau "aturan." Konsep demokrasi muncul di kota-negara Athena pada sekitar abad ke-5 SM. Demokrasi di Athena adalah bentuk demokrasi langsung di mana warga yang memenuhi syarat dapat langsung berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Idea demokrasi berkembang seiring waktu, dan berbagai bentuk demokrasi perwakilan dan prinsip-prinsip demokratis kemudian dikembangkan dalam budaya dan periode sejarah yang berbeda. Misalnya, Magna Carta pada tahun 1215 di Inggris dianggap sebagai dokumen awal yang memengaruhi perkembangan pemerintahan perwakilan.

Era Pencerahan pada abad ke-17 dan ke-18 juga memainkan peran penting dalam membentuk ideal-ideal demokratis. Pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu berkontribusi pada pengembangan konsep-konsep seperti hak-hak individu, kedaulatan rakyat, dan pemisahan kekuasaan, yang memengaruhi pembentukan sistem demokrasi modern.

Di era modern, prinsip-prinsip demokratis diabadikan dalam konstitusi dan kerangka hukum banyak negara di seluruh dunia. Struktur dan proses demokrasi dapat bervariasi, dengan berbagai negara mengadopsi sistem parlementer, sistem presidensial, atau variasi lainnya.

Demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan, telah menghadapi berbagai tantangan sepanjang sejarah. Berikut di antaranya contoh sejarah di mana demokrasi mengalami kesulitan. Mulai Atenas Kuno (abad ke-5 SM): Tempat lahirnya demokrasi, Athena, menghadapi tantangan seperti demagogi, pertikaian politik, dan akhirnya tunduk pada Perang Peloponnesos. Sistem demokratis di Athena tidak bertahan dalam bentuk aslinya.

Republik Romawi (509–27 SM): Republik Romawi, meskipun bukan demokrasi modern, memiliki unsur pemerintahan perwakilan. Namun, menghadapi pertikaian internal, korupsi, dan perjuangan kekuasaan, yang mengarah pada kenaikan Julius Caesar dan transisi ke Kekaisaran Romawi.

Republik Weimar (1919–1933): Republik Weimar di Jerman muncul setelah Perang Dunia I tetapi menghadapi tantangan ekonomi yang parah, polarisasi politik, dan munculnya gerakan ekstremis. Sistem demokratis akhirnya runtuh, membuka jalan bagi rezim Nazi.

Demokrasi Pasca-Soviet (tahun 1990-an): Setelah runtuhnya Uni Soviet, beberapa negara Eropa Timur beralih ke demokrasi. Namun, beberapa menghadapi masalah seperti korupsi, ketidakstabilan ekonomi, dan kekacauan politik, yang menantang konsolidasi institusi demokratis.

Demokrasi Amerika Latin (abad ke-20): Berbagai negara Amerika Latin mengalami siklus pembukaan dan penutupan demokrasi, dengan kudeta militer dan rezim otoriter mengganggu proses demokratis pada beberapa waktu.

Memasuki abad 21, ada tantangan kontemporer. Misalnya muncul gerakan populis, pengikisan norma demokratis, serangan terhadap supremasi hukum, dan polarisasi politik meningkat. Polarisasi ini termasuk muncul kasus itu loe..lagi..loe lagi. Tak ada pembatasan masa jabatan legislatif. Satu orang legislatif bisa menjabat 25 tahun atau bahkan 30 tahun bila mampu.

Oke, biarkan saja masa jabatan orang legislatif di negeri ini tanpa pembatasan.  Kita seakan-akan tidak peduli. Everything running well. Lihat hasilnya. Pasti demokrasi akan mati. Seakan-akan terlihat demokratis, tapi palsu or fake. Banyak media dan wartawan bertanya-tanya: mengapa korupsi masih marak. Idealisme wartawan juga sudah bertukar dengan iklan. Tidak ada kritikan maka timbul gejala-gejala ini. Cek anggota badan-badan adhoc yang terpilih kualitasnya semakin ke sini semakin  turun. Karena konspirasi, KKN, dan perkoncoan sudah mengakar?

TIDAK PENTING ORANG PINTAR

Orang pintar dan cerdas tidak penting lagi,  yang penting loe terpilih  rekomendasi dari  organisasi massa,  underbow mana? Ini sangat ironis. Teknologi semakin canggih, tapi seleksi SDM tadi kok masih terbelakang. Aksi dugaan perkoncoan, konspirasi atau KKN semakin kental.

Ada cerita, seorang profesor tidak terpilih kali kedua untuk sebuah jabatan publik nasional, padahal beliau yang merancang sistem dan UU suatu kegiatan nasional. Itu semua karena prof tadi tak ada perkoncoan, tidak ada orang dalam (ordal)  kepartaian.

Itu karena para legislatif yang menolak profesor  tadi  bisa saja sudah berapa kali menjabat. Mereka tidak mampu berfikir lagi apa yang baik untuk negara, yang  penting materialist oriented. No idealism. Bila gejala ini diteruskan bisa jadi orang-orang cerdas dan pandai atau kalangan profesional tidak mau lagi ikut seleksi menjadi pejabat publik. Mereka tidak akan peduli nasib bangsa. Karena itu semua dirusak sistem perkoncoan, KKN, dan rekom-rekoman. 

''Bila berhadapan dengan orang politik, orang pandai jadi bodoh. Karena yang paling pintar adalah konconya sendiri atau yang pernah satu organisasi sendiri. Percuma capek-capek urus administrasi buang waktu dan uang --bila tidak ada beking orang dalam politik. Mending urus kepentingan sendiri saja," kata seorang teman.

Tapi ingat, Anda para anggota legislatif dengan duduk-duduk dan gaji selangit dan tidak amanah perjuangan nurani rakyat tentu ada balasan.

Gaji tinggi yang Anda terima harus ada pertanggungjawaban di akherat. Bisa muncul sebelum mati,  itu bisa jadi karma. Karena rakyat yang memilih Anda sebagai anggota dewan dari berbagai profesi. Bisa saja salah satunya tukang becak harus sempatkan waktu setengah hari untuk memilih Anda.

Tapi, Anda ketika terpilih tidak amanah. Arogan dan malah minta dimuliakan rakyat.  Memutuskan sesuatu seenaknya sendiri, termasuk perkoncoan atau rekom-rekoman. Efeknya pembusukan demokrasi. Loe… lagi… loe…lagi. Loe…rekom organisasi apa? Loe..rekom organisasi underbow parpol apa?

Ini bisa jadi efek lainnya bila demokrasi terus dibiarkan loe.. lagi.. loe... lagi. Korupsi: Korupsi dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi dengan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi.

Integritas Pemilihan: Masalah seperti penindasan pemilih, gerrymandering, dan kecurangan pemilihan dapat mengompromikan keadilan dan integritas pemilihan.

Polarisasi Politik: Polaritas yang berlebihan dapat menyebabkan kebuntuan, menghambat kerja sama antara partai politik, dan berkontribusi pada kurangnya kompromi. Manipulasi Media: Disinformasi, berita palsu, dan manipulasi media dapat merusak wacana publik dan mempengaruhi hasil politik.

Ketidaksetaraan: Ketidaksetaraan ekonomi dan sosial dapat memengaruhi proses demokratis, karena mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya mungkin memiliki pengaruh yang tidak proporsional. Kurangnya Partisipasi Warga: Ketika warga tidak terlibat atau merasa terpinggirkan, itu dapat melemahkan proses demokratis. Partisipasi pemilih yang rendah adalah salah satu manifestasi dari masalah ini.

Keberlanjutan Hak Asasi Manusia: Demokrasi dapat menghadapi tantangan dalam melindungi hak asasi manusia, terutama dalam situasi krisis, di mana mungkin ada kecenderungan untuk mengorbankan kebebasan sipil demi keamanan yang dirasakan. Populisme: Munculnya pemimpin dan gerakan populist dapat menimbulkan tantangan terhadap norma demokratis, karena mereka mungkin lebih memprioritaskan dukungan populer jangka pendek daripada nilai-nilai demokratis jangka panjang.

SOLUSI

Harus ada pembatasan anggota legislatif maksimal dua kali periode. Di atas legilslatif harus ada badan Dewan  Kehormatan  yang betul-betul independen untuk menjaga orang-orang legislatif dalam hal memilih calon pejabat publik tidak ada KKN. BK yang ada di tubuh dewan atau legislatif tidak cocok lagi.

Ini semua untuk menjaga tidak ada pembusukan demokrasi. Karena gejala pembusukan sudah kentara. Ini semua juga antisipasi politikus busuk bermain di demokrasi busuk. Bila dewan kehormatan di luar institusi dewan terbentuk, maka  marwah demokrasi kita tetap terjaga.(*)

*)Penulis adalah wartawan Utama, PWI

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda