Hak Interpelasi DPR, Apa Kabar?

Anggota Komisi III FPKS DPR RI H. Muhammad Nasir Djamil, S.Ag., M.Si. (FOTO: fraksi.pks.id)

COWASJP.COMWACANA pemakzulan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sudah lama diperbincangkan di ruang publik. Di banyak tempat dan berbagai kesempatan. Berkenaan dengan dugaan pelanggaran hukum dan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) oleh Presiden. 

Persoalannya, dengan kekuasaan para ketum partai yang begitu besar dan masing-masing dari mereka tersandera dalam sejumlah kasus korupsi, maka upaya pemakzulan melalui para wakil rakyat di Senayan rasanya seperti pungguk merindukan bulan.

Meski demikian, tiba-tiba muncul ke permukaan usul penggunaan hak interpelasi oleh Komisi III DPR RI. Seperti disampaikan oleh Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Jamil. Sebagaimana dilansir Kompas.id, Senin (4/12/2023). 

Tapi setelah sekian lama dilontarkan, kini tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Hak Interpelasi DPR RI, apa kabar?

Usulan penggunaan hak bertanya DPR ini muncul setelah beredarnya pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam wawancara dengan podcast Rosiana Silalahi di Kompas.TV. Bahwa  dia sempat dimarahi Presiden. Karena presiden tidak senang kasus korupsi mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) terus dilanjutkan. Dan presiden meminta agar penyidikan kasus itu dihentikan.  

Menurut Nasir Jamil, kekuatan-kekuatan politik di DPR harus menyikapi pernyataan Agus Rahardjo itu secara serius. Bagaimanapun, pemberitaan mengenai sejumlah borok istana belakangan ini semakin meluas. Berbagai persoalan menyangkut sikap dan tindakan Presiden Jokowi tampaknya terus dibongkar para mantan orang dekatnya. Sehingga kalangan istana disebut-sebut kian panik menghadapi pemberitaan yang bernuansa negatif itu. 

Agus Raharjo bukan satu-satunya mantan pejabat yang mengungkapkan borok Jokowi. Karena mantan Menteri ESDM Sudirman Said dan mantan Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Rozi, antara lain, juga mengungkapkan beberapa hal yang selama ini belum terungkap di ruang publik. Artinya belum banyak yang tahu. Kalaupun ada yang tahu, sebagian besar mereka sudah lupa. 

Sudirman Said mengaku bahwa dia dimarahi presiden, karena melaporkan Setnov ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Sedangkan Fachrul Razi mengungkapkan bahwa tindakan reshuffle yang menimpa dirinya dari kursi Menteri Agama adalah buntut perbedaan pendapat antara dirinya dan Presiden Jokowi soal pembubaran Front Pembela Islam (FPI). 

SITUASI DAN KONDISI BANGSA

Sekarang semua juga tahu bahwa situasi dan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya (Poleksosbud) yang dihadapi bangsa saat ini begitu terpuruk. Terbongkarnya sejumlah borok istana oleh para mantan orang dekat Presiden adalah satu hal. Bersamaan dengan hal itu, ada lagi sejumlah persoalan lain yang tidak kalah memperburuk keadaan. 

Misalnya, keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.  Ketika hakim konstitusi di bawah pimpinan Anwar Usman – paman Gibran dan adik ipar Jokowi – dianggap telah mengambil alih wewenang DPR secara melawan hukum, untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres. Dengan mengubah ketentuan syarat usia capres dan cawapres. Yang menurut Pasal 169 huruf q, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilu, Capres dan Cawapres berusia paling rendah 40 tahun.

Ketika kisruh di MK masih jadi perbincangan publik, ternyata muncul lagi kisruh yang lain. Yaitu viralnya pemberitaan soal debat cawapres. Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara mengejutkan mengubah format debat terbaru. Yang oleh sejumlah pihak dianggap sebagai upaya untuk melindungi Gibran. Agar nanti tidak dipermalukan.

Selanjutnya, meski tekanan publik semakin keras, apakah Jokowi sedia mundur selangkah? Ternyata, tidak! Cawe-cawe yang katanya untuk kepentingan bangsa dan negara terus dilanjutkan. Dalam upaya membangun dinasti politik. Dan Jokowi tidak sendiri. Tapi bersama ibu negara, Iriana Jokowi. Malah, menurut laporan majalah Tempo, justru Irianalah yang paling getol merencanakan segalanya. 

Seluruh langkah Jokowi itu tampaknya sudah terencana secara matang. Jokowi tidak hanya berhasil menempatkan para anggota keluarganya dalam posisi berkuasa – setelah Gibran jadi Walikota Solo dan kemudian cawapres, Kaesang jadi Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menantunya Bobby Nasution jadi Walikota Medan dan adik iparnya Anwar Usman jadi Ketua MK, walaupun kemudian dicopot – kekuatan Jokowi tampaknya tidak tertandingi. Sehingga upaya penggunaan Hak Interpelasi DPR tampaknya memang jauh panggang dari api. 

Kini, sebagai penguasa Jokowi bisa berbuat sesuka hatinya. Mengubah dan mengutak-atik ketentuan hukum dan perundang-undangan untuk kepentingan dinasti politiknya. Dan kekuatirannya menghadapi persoalan hukum bila sudah lengser kelak pun secara perlahan tapi pasti telah diredamnya. 

Di antaranya, dengan pemberian jabatan penting  kepada mereka yang disebut “Geng Solo”. Seperti Panglima TNI Jenderal Agus Subianto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, yang waktu Jokowi jadi Walikota Solo mereka adalah orang-orang dekatnya. Begitu juga beberapa posisi penting lainnya yang sudah diisi oleh orang-orang yang dekat dengannya. 

Apakah dengan demikian Jokowi benar-benar akan aman setelah nanti tidak berkuasa lagi? Bisa jadi dia lupa, bahwa tidak selamanya “orang-orang yang dianggap orang dekatnya” itu akan manut saja. Dengan mendahulukan kepentingan Jokowi dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Bukankah ada waktunya orang akan sadar diri, untuk lebih memilih memenuhi panggilan hati nuraninya. Wallahu a’lam!(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda