Politik Identitas, Siapa Takut?

DESAIN GRAFIS: TimesIndonesia.co.id

COWASJP.COMADA sikap yang tidak lazim yang diperlihatkan oleh Calon Presiden Anies Rasied Baswedan saat sesi wawancara usai acara makan bareng Presiden Jokowi dengan para kandidat calon presiden  (30/10/2023). 

Wajah Anies nampak tegang dengan nada agak meninggi saat ditanya oleh awak media tentang politik identitas jika diisukan dan disematkan kembali kepada Anies pada pemilihan presiden 2024 mendatang. Dengan nada meninggi, Anies menjawab: “Saya tidak pernah mengisukan, justru Anda yang mengisukan berulang-ulang. Kalau Anda yang mengulang-ulang, Anda yang jadi. Kita ngomong soal perubahan dan keadilan”.

Dari bahasa tubuhnya, terlihat betapa Anies begitu alergi jika isu politik identitas diungkit-ungkit dan disematkan kepadanya. Anies akan meradang jika kemenangannya di pemilihan gubernur Jakarta akibat dari politik identitas yang dimainkan oleh para pendukungnya. 

Di sinilah Anis telah terjebak pada polarisasi dan tekanan publik bahwa politik identitas haram dilakukan pada setiap kontestasi politik. Seolah Anies mengamini pemahaman publik bahwa politik identitas terlarang untuk memperebutkan suara dalam setiap perhelatan pemilihan dari tingkat desa sampai presiden. 

BENARKAH POLITIK IDENTITAS HARAM? 

Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang menarik untuk diangkat adalah: benarkah politik identitas itu haram hukumnya di setiap pemilihan pemimpin di Indonesia?

Jika memang hukum politik identitas haram, di mana letak keharamannya? 

Dan jika tidak, mengapa Anies harus alergi saat ia digelari sebagai bapak politik identitas? 

Diskursus semacam ini perlu mendapat porsi pemahaman yang komprehensip dan krusial tentang istinbat keharaman dan kehalalan politik identitas itu sendiri. 

Seingat penulis, diskursus politik identitas ini belum dibahas pada tingkat Lembaga Bahtsul Masail (LBM) di kalangan pengurus Nahdlatul Ulama’ baik di tingkat ranting sampai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU). 

Dalam terminologi wikipedia disebutkan bahwa politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. 

anies.jpgKetua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (tengah) berangkulan dengan Anies Baswedan (kiri) dan Muhaimin Iskandar (kanan) saat Deklarasi Capres - Cawapres 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu (2/9/2023). (FOTO: antarafoto.com)

Dalam definisi ini nyaris tidak ada persoalan yang ditakutkan dalam politik identitas, mengingat ia hanya sebuah alat yang tidak berkonotasi apa-apa. Ia sama sekali tidak menggambarkan dampak yang ditimbulkan karena sebatas alat mencapai tujuan dan sebagai penunjuk jati diri saja. 

Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD di mana ia membedakan antara politik identitas dengan identitas politik. Letak perbedaannya menurut menteri koordinator politik, hukum dan keamanan (Menkopolhukkam) yang juga calon wakil presiden Ganjar Pranowo pada sisi dampak yang ditimbulkan, yaitu jika berdampak pada disintegrasi bangsa, maka ia terkategori politik identitas. Namun jika ia hanya sekadar menampilkan simbol etnis, ras, budaya dan agama maka ia terkategori identitas politik.

Statement tersebut terasa kasuistis sebab hanya mendasarkan pada kasus pemilihan gubernur Jakarta, di mana Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ahok dikalahkan Anies karena dinilai merendahkan surat Al-Maidah 51. Kesimpulan yang menyatakan bahwa Ahok kalah akibat politik identitas, bisa jadi karena memang benar adanya. Namun juga perlu dikaji secara holistik apakah benar kekalahan Ahok diakibatkan oleh isu surat Al-Maidah 51 atau tidak. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang membuat ia kalah dalam ajang pilgub Jakarta. 

Mungkin secara pendidikan, Anies lebih unggul dari Ahok dan secara verbalitas berbicara Anies lebih diterima oleh masyarakat Jakarta ketimbang Ahok yang digambarkan sebagai sosok temperamental.

Jadi pembicaraan seputar politik identitas itu sejatinya ditarik ke wilayah di mana ia merupakan produk dari politik Islam yang dicita-citakan oleh Mohammad Natsir. Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Dasar Negara (ISDN) terbitan Gema Insani, politik Islam sejatinya dibangun kembali dalam dunia Islam yang bersatu. Gerakan Pan Islam akan selalu memunculkan kecurigaan dan dipandang sebagai ancaman yang membahayakan kedudukan dan kekuasaan mereka, di tanah-tanah yang mereka kuasai, yaitu di daerah-daerah yang menghasilkan bahan mentah kemakmuran negeri mereka (hal. 24).

Natsir tidak begitu yakin jika gerakan Pan Islamisme itu akan mengarah kepada lahirnya negara teokratis yang berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nastir menyertakan contoh kongkrit bagaimana mendiang Presiden Franklin Delano Roosevelt begitu kental menunjukkan kekristenannya dalam seruan-seruannya di depan publik, bagaimana pula Raja Inggris menjadi kepala dan pelindung hanya bagi gereja Anglikan dan bagaimana pula rakyat Belanda membuat sebuah komunike bahwa raja mereka haruslah seorang penganut kristen Protestan (hal. 27). 

Lebih jauh Natsir meyakinkan publik bahwa pengalaman Pakistan menjadi negara teokratis justru memunculkan kerinduan bagi masyarakat dunia akan pentingnya perdamaian dunia di atas maraknya senjata nuklir.

Natsir hanya memberikan dua pilihan dalam keislaman beliau. Pilihan pertamanya adalah berdasar agama dan pilihan keduanya adalah sekularisme. Beliau tidak memiliki pilihan ketiga yaitu Islam jalan tengah. Natsir begitu yakin bahwa sekularisme yang terjadi di belahan dunia akan berdampak timbulnya paham Nazisme, walaupun beberapa pakar lain menyatakan kalau nazisme timbul akibat kemunculan Adolf Hitler. 

Natsir hanya mengamini pendapat Herman Rauscning orang Jerman yang dulunya pengikut setia Hitler yang kemudian membangkangnya, menyatakan bahwa kemunculan Nazisme  lebih disebabkan oleh hilangnya nilai-nilai adab (prinsip hidup) serta dikesampingkannya nilai-nilai agama.

Dari sisi ini terlihat betapa Natsir tanpa lelah menggelorakan semangat Islam dalam bernegara yang tidak perlu alergi dengan terminologi apapun tentang Islam. Kata Islam bagi Natsir hanya sebuah pilihan yang jika tidak diambil, maka yang akan muncul kemudian adalah paham-paham lain yang akan menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Jadi terminologi politik identitas menjadi pilihan bagi siapapun yang akan menggelorakan Islam dalam tatanan kenegaraan, terlebih saat maraknya paham sekuler bahkan paham-paham lain yang anti keislaman, sebut saja komunisme. 

Jadi penting bagi Anies untuk merestorasi cara berfikir keislamannya, bahwa menyandang predikat bapak politik identitas adalah sesuatu tidak perlu ia takutkan. Sejatinya Anies yang bersanding dengan Gus Muhaimin Iskandar (ketum PKB), berbangga menjadi bagian dari Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Paling tidak ia telah melaksanakan satu amanah dari salah seorang founding father Indonesia yaitu Mohammad Natsir yang dikenal sebagai penggerak Pan Islamisme di Indonesia. Sebab pembicaraan soal Pan Islamisme itu bukanlah sebagai upaya meraup kekuasaan semata, namun juga tentang bagaimana efek yang ditimbulkan dengan kekuasaannya tersebut, seperti bagaimana Anies dan Cak Imin mampu membawa isu perubahan ke arah kesejahteraan umat secara merata dan bermartabat. 

Dalam bukunya yang berjudul Visioning Indonesia - Arah kebijakan dan peta jalan kesejahteraan (323 halaman), Gus Muhaimin menawarkan gagasan besar berupa pemetaan jalan ke arah kesejahteraan secara transendental. Sebut saja di halaman 3 di buku terbitan LP3ES tersebut, ia menawarkan konsep-konsep berdemokrasi yang sejati di mana menurutnya, kerja-kerja demokrasi untuk kesejahteraan harus dibangun di atas landasan filosofis yang kokoh, bahwa demokrasi secara autentik sesungguhnya melampaui persoalan oleh sekedar memilih pemimpin dalam jabatan publik secara adil dan bebas. Dari statement ini terlihat bagaimana kegamangan Cak Imin jika pemilihan umum hanya sekedar ajang hore-hore untuk memilih pemimpin, namun setelah terpilih berubah menjadi ajang hura-hura bagi rakyat Indonesia.

Jujur harus diakui bahwa antara Anies Baswedan dan Gus Muhaimin Iskandar memiliki chemistry yang sama dalam menggelorakan isu-isu Islam. Hal tersebut lebih disebabkan oleh latar belakang keluarga dari kedua tokoh muda tersebut. Akan menjadi petaka memang jika keduanya berbeda di dalam merekonstruksi keislaman dalam kontek keindonesiaan. Di sinilah keduanya perlu memainkan teori dramaturgi ala Ervin Goffman, di mana keduanya dituntut seolah peduli membicarakan keislaman sebagai konsep bernegara dan Islam sebagai weltanschauung (falsafah hidup), sebagaimana harapan basic pemilihnya, walaupun secara gagasan sebenarnya masih bertentangan dengan arah pikirannya. 

Tidak terlalu sulit bagi kedua kandidat yang diusung oleh partai Nasdem ini untuk berbicara Islam dalam konteks keindonesiaan, terlebih jika intensitas diskursus keislaman dibicarakan dengan Partai Keadilan Sejahtera yang elit-elitnya sangat paham akan pemikiran Mohamad Natsir. Para penyokong AMIN (Anies-Muhaimin) juga harus meyakinkan Anies bahwa gelar bapak politik identitas tidak perlu ditakutkan, bahkan harus dianggap sebagai berkah tersendiri yang tentunya harus dikelola secara apik sehingga  memberikan dampak positif terhadap elektabilitas kedua pasangan ini.

Walhasil, Anies harusnya bangga menjadi bapak politik identitas di Indonesia, tanpa merasa takut dengan gelar tersebut. Diakui atau tidak, ada kerinduan bangsa Indonesia akan sosok Mohamad Natsir yang dengan lantang menggelorakan Islam di forum-forum internasional yang beliau hadiri. Bahkan beliau menantang dengan penuh argumen bahwa Islam sebenarnya menjadi pilihan di tengah kebiadaban Israel dalam menganeksasi bangsa Palestina.(*) 

Penulis adalah Alumnus Pesantren Nurul Jadid dan Baghdad Irak, yang sedang sekolah S3 di IAIN Kediri. Wartawan Jawa Pos di Iraq 1993-1999.

Sumber: TimesIndonesia.co.id

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda