Kasus Gunadarma Dianggap Barter Hukuman

Halimah Humayrah Tuanaya, dosen pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang (FOTO: UNPAM - beritatangerang.id)

COWASJP.COMAda pendapat baru soal Kasus Gunadarma: Barter hukuman. Terduga pelaku pelecehan seks, sudah dihukum, ditelanjangi massa. Terjadi barter. Alhasil, impas. Kosong-kosong.

***

HAL itu tidak boleh terjadi, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya dalam siaran pers yang dibagikan Sabtu (17/12).

Halimah: "Tindakan Polres Depok menghentikan perkara pelecehan seks antar mahasiswa Universitas Gunadarma, adalah keliru. Seolah sudah terjadi barter hukuman. Terduga pelaku pelecehan seks, dihukum massa dengan cara ditelanjangi."

Pendapat ahli hukum terus bermunculan di Kasus Gunadarma. Tindak main hakim sendiri, sudah sangat banyak terjadi di Indonesia. Tapi, model kasus ini spesifik. Belum pernah terjadi.

Halimah tidak sependapat dengan Polres Depok menerapkan restorative justice di Kasus Gunadarma. Penerapan restorative justice di situ, keliru.

Pelecehan seksual, melanggar KUHP Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 tentang perbuatan cabul (tidak ada istilah pelecehan seks di KHUP), adalah delik aduan. Hanya diproses polisi, jika ada pengaduan pihak korban. Atau, sudah ada pengaduan lalu dicabut lagi, perkara pun harus ditutup polisi.

Maka, Polres Depok menerapkan restorative justice, karena korban mencabut laporan polisi. Lantas, korban dan pelaku berdamai. Perkara pun ditutup.

Menurut Hamilah, penerapan pasal itu juga keliru. Dikatakan begini:

"Merujuk pada Pasal 23 UU Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), seharusnya Polres Depok tidak menghentikan pengusutan kasus pelecehan seksual itu. Pasal 23 UU TPKS menyebutkan: Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan," 

barter1.jpgAhmad Sahroni Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (FOTO: wikipedia.org)

Dilanjut: "Kecuali terhadap pelaku yang masih anak-anak. Sebagaimana diatur dalam undang-undang TPKS. Dengan demikian, Polres Depok harus melanjutkan proses hukum perkara itu, sekalipun korban telah mencabut laporan."

Sampai di sini, pendapat Halimah ada dua: Barter hukuman dan penerapan pasal pelecehan seks.

Barter hukuman, tidak dikenal dalam istilah hukum. Baik di KUHP, UU, maupun peraturan-peraturan lain. Itu hanya asumtif. Dianalogikan sebagai suatu pertukaran, atau barter.

Tentang penerapan pasal, ini hal baru. Halimah merujuk UU TPKS, yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, 12 April 2022.

Beda pendapat lainnya muncul dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni. Ia menyoroti Polres Depok soal kasus persekusi (penelanjangan) Kasus Gunadarma. Ia kepada pers, Sabtu (17/12) mengatakan: 

"Seharusnya Polres Depok bisa langsung memproses tindakan persekusi dan pengeroyokan ini, karena ini merupakan delik biasa. Bukan delik aduan. Tidak perlu harus menunggu laporan korban. Bukti videonya juga sudah jelas dan viral pula."

Pendapat Sahroni, menanggapi pernyataan pihak Polres Depok, bahwa Polres Depok menunggu laporan korban persekusi, yang juga terduga pelaku pelecehan seks di Gunadarma.

Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Sabtu (17/12) mengatakan, wajah-wajah pelaku penelanjangan (persekusi) sudah dipegang polisi.

AKBP Yogen: "Beberapa identitas sudah kita kantongi. Wajah-wajah yang tersebar di video, ya... Apabila nanti pelaku (peleceh seks) atau korban persekusi tersebut melakukan pelaporan polisi, baru kita akan tindaklanjuti."

Pernyataan AKBP Yogen, dianggap keliru oleh Sahroni. Persekusi delik biasa. Polisi tanpa menunggu laporan korban, wajib menyidik perkaranya.

Kasus ini jadi rumit. Oleh aneka pendapat yang bertentangan dengan tindakan polisi. Perkara yang kelihatannya sepele dari segi bobot hukum, jadi polemik panjang. 

Seumpama Polri tidak menyesuaikan diri dengan pendapat pakar dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, tidak bisa dibayangkan jadinya. Apakah bakal tidak terjadi apa-apa, ataukah terjadi apa-apa. Sebab, dalam hal legislasi Polri di bawah Komisi III DPR RI yang membidangi Kamtibmas.

Sahroni menutup: "Ini harus segera diproses untuk memberikan pengertian ke masyarakat, bahwa tindakan main hakim sendiri dan persekusi itu sangat tidak dibenarkan."

Tindak main hakim sendiri, sesungguhnya sangat banyak terjadi di Indonesia. Nyaris jadi budaya.

Dikutip dari policyforum.net, 12 Januari 2017 bertajuk, "Justice by Numbers, The Rising Spectre of Vigilantism in Indonesia", ditulis oleh Sana Jaffrey, disebutkan, antara tahun 2005 sampai dengan 2014 ada 33.627 korban tindak main hakim sendiri. Terjadi di 16 provinsi di Indonesia.

Dengan kata lain, per tahun rata-rata ada 3.362 korban tindak main hakim sendiri. Atau, hitung sendiri, berapa per hari.

Jaffrey saat itu (2017) kandidat doktor di Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago, AS. Sekaligus peneliti tamu di Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Universitas Paramadina Jakarta.

Jaffrey mengutip data tersebut dari The National Violence Monitoring System (NVMS). Sedangkan, NVMS adalah penyedia data dan analisis mengenai konflik dan kekerasan di beberapa daerah di Indonesia. NVMS dipimpin oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dengan dukungan dari The Habibie Center dan Bank Dunia.

Artinya, data ungkapan Jaffrey itu bukan versi Amerika. Melainkan NVMS dipimpin pemerintah Indonesia melalui kementerian, didukung The Habibie Centre. 

Dari data NVMS pula, yang dikutip Jaffrey, di zaman Orde Baru, tindakan main hakim sendiri sengaja dibiarkan pemerintah. Ia mencontohkan, pembunuhan ribuan orang di Jawa Timur yang dituduh sebagai dukun santet, pada 1998. Tanpa bukti di pengadilan, orang yang diduga dukun, langsung dibantai.

Perilaku itu terus menurun sampai sekarang.

Tapi, soal main hakim sendiri, Indonesia tidak sendirian di dunia ini. Di makalah tersebut, Indonesia disejajarkan dengan negara-negara demokrasi muda (baru menerapkan demokrasi) seperti Guatemala, Nigeria, Filipina, dan Afrika Selatan.

Data tentang tindak main hakim sendiri ini, sebagai kegiatan melawan lupa. Bagi mereka yang sudah paham data. Atau informasi, bagi mereka yang tidak paham data. Betapa, soal ini Indonesia disejajarkan dengan negara-negara miskin Afrika.

Jadi, Kasus Gunadarma cuma satu dari jutaan orang korban main hakim sendiri, sejak Indonesia merdeka hingga kini. Gunadarma bagai setitik debu di padang pasir.

Semua terserah kita. Berangkat dari masing-masing individu. Apakah ini perlu dibenahi, atau kita biarkan saja. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda