Kapolri Akan Umumkan Kasus Yosua, Termasuk Otak Pembunuh?

Ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua (Bharada) Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E (kiri) saat memasuki ruangan Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7/2022). (FOTO: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat - kompas.com)

COWASJP.COMBharada E mengakui, ia penembak pertama Brigadir Yosua. Diperintah atasan (belum sebut nama). Dilanjutkan tembakan-tembakan para pelaku lain ke jasad Yosua. Maka, E mengajukan diri ke LPSK sebagai Justice Collaborator.

***

ITULAH ending drama 'baku-tembak polisi', berdurasi sebulan, sejak Jumat, 8 Juli 2022 sampai Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) minta perlindungan LPSK, Senin, 8 Agustus 2022.

Ternyata, pengumuman awal Polri: 'baku-tembak', diduga tidak benar. Jika pengakuan Bharada E itu kelak terbukti benar, maka yang terjadi adalah pembantaian terhadap Brigadir Nofriansah Yosua Hutabarat. Atas perintah siapa? Motifnya apa?

Timsus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan gelar perkara kasus ini, Selasa (9/8/2022) hari ini. Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo kepada pers, Selasa (9/8) mengatakan:

"Insyaallah hasilnya diumumkan sore nanti oleh Bapak Kapolri."

Sementara, Bharada E minta perlindungan LPSK, pastinya ia merasa terancam. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah menyatakan, ada 25 polisi diperiksa, karena menutupi kasus ini.

Tim kuasa hukum Bharada E, Burhanuddin dan Deolipa Yumara tiba di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin, 8 Agustus 2022, pukul 13.10 WIB.

Deolipa kepada pers, mengatakan: "Kami datang ke LPSK dengan, bahwasanya kami akan mengajukan permohonan perlindungan hukum Bharada E."

Dilanjut: "Untuk membuka dan membuat terang, siapa pelaku utama. Bharada E dengan hati yang matang, mengungkapkan kesiapan sebagai Justice Collaborator (JC). Atas persetujuan Bharada E kami mengajukan permohonan perlindungan saksi."

Setelah bicara itu mereka masuk kantor LPSK.

Permohonan itu, dipastikan diterima LPSK. Bahkan, sehari sebelumnya, Juru Bicara LPSK, Rully Novian mengatakan ke pers, pihak LPSK berencana akan mendatangi ruang tahanan Bharada E di Bareskrim Polri.

Rully: "Kita berencana ketemu penyidik dulu. Lalu, kita akan minta juga ketemu Bharada E di saat bersamaan, setelah kita bertemu dengan penyidik. Untuk menawari Bharada E jadi JC."

Ternyata, tim pengacara Bharada E yang mendatangi Kantor LPSK.

Sikap LPSK yang berniat mendatangi Bharada E, selaras dengan permintaan Presiden Jokowi. 

Bahwa sudah tiga kali Presiden Jokowi berkata ke publik, agar kasus ini diungkap terang-benderang. Jangan ditutupi. Karena ini menyangkut kepercayaan publik terhadap Polri, juga terhadap pemerintah. Dan, belum pernah terjadi, Presiden RI bicara tiga kali untuk kasus yang sama.

Begitu alot dan lama, proses pengungkapan kasus ini. Membuat nurani masyarakat berpihak ke posisi Brigadir Yosua. Meski belum diketahui pasti, apa kesalahan Yosua.

Kalau masyarakat berpihak ke Yosua (ini uniknya) masyarakat akhirnya berpihak ke Bharada E. Yang sudah mengawali pengungkapan kasus ini. Walaupun ia sekaligus juga mengawali penembakan terhadap Yosua (seperti pengakuannya).

Kasus ini perkara hukum yang unik. Belum pernah terjadi sebelumnya. Memang, setiap perkara hukum punya keunikan. Tapi keunikan-keunikan yang nyaris seragam. Sedangkan kasus ini beda dari yang ada.

Justice Collaborator (JC) adalah saksi, yang bisa juga pelaku kejahatan. Jika pelaku kejahatan bertindak jadi JC, syaratnya adalah, mengakui kesalahannya. Dengan begitu, berarti ada pelaku lain yang sulit diungkap, tanpa kesaksian BC.

Tersangka, atau setelah diadili jadi terdakwa, jika menjadi BC, maka mendapatkan hadiah pengurangan masa hukuman. Sebagai imbalan buat kesaksiannya.

JC didukung Peraturan Bersama yang ditandatangani Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan terhadap tiga pihak: Pelapor kejahatan, Whistle Blower, dan Justice Collaborator.

Peraturan itu diadopsi dari 37 UNCAC 2003, yaitu pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000. Itu diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009.

Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa atau terorganisir.

Kasus ini, meski jadi drama heboh di masyarakat, belum tentu digolongkan 'luar biasa'. Juga, walaupun di kasus ini ada 25 polisi dinyatakan menghambat penyidikan, belum tentu masuk katagori 'teroganisir'. 

Penentunya adalah Menkum HAM, Jaksa Agung, Kapolri, dan LPSK.

Tapi dengan sikap LPSK berniat mendatangi Bharada E di tahanan Bareskrim, berarti menganggap kasus ini luar biasa.

JC awalnya (1950-an) digunakan untuk mengungkap korupsi mafia di Amerika. Kemudian berkembang, diterapkan di berbagai jenis kejahatan. Ditiru seluruh dunia.

Peneliti mafia, Mary Jane Schneider, dalam karyanya "Fifty Years of Mafia Corruption and Anti-mafia Reform", menyebutkan, mafia adalah organisasi bawah tanah yang muncul di Amerika di awal abad ke-19. Para pelakunya orang Italia. 

Istilah yang digunakan mafioso (anggota mafia) yang terkenal waktu itu (1950-an) adalah 'intreccio'. Artinya, lilitan rambut yang dikepang. Saling belit-membelit.

Intreccio, moto mafia. Para mafioso berhubungan erat dengan pejabat pemerintah yang korup. Saling belit-membelit. Membentuk kepangan. 

Alhasil, tidak ada saksi untuk kejahatan mafia. Penjahat ber-intreccio dengan pejabat yang korup. Siapa berani bersaksi, pasti dibunuh.

Akibatnya, pemerintah Amerika kesulitan membongkar kejahatan mafia. Kewalahan parah. Bahkan kemudian pasrah.

Di puncak kesulitan itulah muncul ide JC. Para mafioso yang belum ditangkap polisi, tidak mungkin mau bersaksi. Risikonya nyawa. 

Tapi, setelah ada mafioso yang ditangkap, untuk kesalahan sepele, ia diberi opsi jadi JC. Kalau tidak mau, hukumannya sengaja diperberat. Kalau mau, hukumannya diringankan dan nyawanya dilindungi pemerintah.

Mafia kemudian ditumpas di sana.

JC akhirnya masuk United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000.

Kasus Yosua, di kalangan purnawirawan perwira tinggi Polri, sudah dikalkulasi sejak awal, setelah kejadian 8 Juli 2022. Sebab, purnawirawan punya koneksi ke polisi aktif, sehingga mereka tahu permasalahan sebenarnya.

Sejak awal, purnawirawan berkomentar ke pers, mempertanyakan sosok Bharada E. Yang awalnya tidak pernah muncul ke publik. Purnawirawan berkata: "Apakah Bharada E benar-benar ada?"

Akhirnya Bharada E mendatangi Kantor Komnas HAM. Dikawal ketat. Sampai diledek purnawirawan: "Bharada dikawal lebih ketat daripada jenderal". Tidak mungkin Bharada E diwawancarai wartawan. 

Ternyata benar. Di situlah kunci perkara ini. 

Purnawirawan juga berpesan, begini: "Jangan sampai Bharada E salah makan, atau bunuhdiri di dalam sel tahanan." (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda