Berkah Burung Pipit Kakek Selingkuh

Sepeda motor Honda S90. (FOTO: gridoto.com)

COWASJP.COMDuka nestapa seseorang justru sering menjadi berkah bagi seorang jurnalis. Seperti nestapa yang dialami kakek Karso Biran yang burung pipitnya dipotong oleh istrinya sendiri gara-gara selingkuh. Berikut tulisan Santoso, wartawan senior di Madiun yang  sempat mengejar berita unik  dan menarik  itu di Parang, Magetan. Bukan hanya tulisannya dimuat di halaman 1, tapi ia juga mendapat hadiah sepeda motor dari Dahlan Iskan, yang waktu itu Pemimpin redaksi Jawa Pos.

***

Pagi itu aku mendapat informasi berita yang cukup menarik. Yakni seorang kakek yang dipotong burung pipitnya oleh istrinya sendiri, gara-gara ketahuan selingkuh dengan tetangganya. Namun informasi itu agak terlambat, karena sang kakek ternyata sudah pulang dari RSU Magetan, tempat dia dirawat. 

Aku tak putus asa, kucari alamatnya di daftar pasien di RSU itu. Akhirnya ketemu, tapi alamak.alamatnya jauh di desa, pucuk gunung lagi. Desanya sudah lupa, tapi jelas di wilayah Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan. Karena berita itu begitu besar unsur human interest-nya aku bertekad mengejarnya.

Bayangkan ada seorang nenek yang tega memotong burung pipit milik suaminya sampai pangkalnya, protoltol, tak bersisa. Padahal wanita itu sudah punya cucu. Ini jelas-jelas sangat menarik, ini jelas-jelas berita langka.

Tanpa pikir panjang hari itu juga meluncur ke desa itu. Tapi jangan dibayangkan berjalan mulus seperti sekarang. Jarak Madiun dengan Parang hanya sekitar 40 km, namun perjalanan ditempuh dalam waktu setengah hari. Maklum di tahun 1983 belum banyak kendaraan umum. Yang ada hanya Colt Bagong, istilah keren Mitsubishi Colt yang lampu depannya bulat. 

Sedangkan aku tidak punya kendaraan. Aku hanya punya semangat untuk menyajikan yang terbaik buat pembaca Jawa Pos.

Apalagi kendaraan umum bernama Colt Bagong itu sering ngetem menunggu penumpang. Berangkat jam 07.00 pagi, sampai Parang sudah jam 11.00. Pertama harus ngetem cukup lama di Takeran. Kemudian sampai Gorang Gareng harus ganti kendaraan lain jurusan Parang, yang nunggu sampai penumpang penuh. Busyet.. ternyata desa yang saya tuju  masih masuk lagi ke dalam, gak ada angkutan umum lagi. Terpaksa harus jalan kaki kira-kira 3 sampai 4 km, mengitari perbukitan yang naik turun. Beruntung cuaca mendung, sehingga tidak kepanasan.

Capek dan rasa haus itu hilang ketika bisa bertemu dengan nenek Karso Biran, yang tega memotong burung pipit suaminya itu. Saat aku datang nenek renta  itu sedang duduk di depan pintu rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Melihat tubuhnya yang kurus kering, dengan wajah yang teduh, semula membuat aku tak percaya dia tega memotong burung pipit suaminya pada saat tidur. 

Dia menerawang jauh ketika kusodori pertanyaan, mengapa tega memotong milik suaminya yang telah membuahkan 3 anak itu. Tidak jelas, apakah ia merenung karena menyesal, atau karena saking geramnya melihat suaminya selingkuh dengan tetangganya sendiri. Sudah saya ingatkan berkali-kali, tapi tetap saja nekad, kata nenek Karso Biran dengan bahasa Jawa.

Nenek renta itu mengaku kalau burung pipit itu dibuang begitu saja, di tegalan samping rumahnya. "Mungkin sudah dimakan anjing, atau kucing," ungkapnya enteng.

Sayangnya, ternyata kakek Karso Biran mengungsi ke rumah anaknya di Maospati, Magetan, dekat Lanud Iswahyudi. Berarti harus balik lagi ke Madiun baru ke Maospati. Jelas waktu tidak memungkinkan lagi untuk wawancara hari itu.

Ketika pulang, hujan mulai turun. Sedang aku masih berada di jalan makadam di tengah tegalan, menuju jalan besar. Basah kuyup. Sampai di tepi jalan besar hujan pun belum reda, terpaksa ngiyup (berteduh) di bawah gapura pembatas desa. Menunggu sampai lama tak ada kendaraan lewat. Saat itu yang lewat Colt pikup yang mengangkut sapi.

Ketika aku setop, kendaraan itu berhenti. Tapi di depan dekat sopir sudah penuh penumpang, pemilik sapi itu. Daripada kelamaan, aku pu nekad naik di belakang campur sapi. Saya hanya bisa berharap semoga tidak diselentak sapi. Baju pun makin basah kuyup, lantaran hujan juga belum reda.

SANTOSO-Burung-Pipit-2.jpgFoto lawas, kenangan saat bisa beli sepeda motor Honda pertama kali. (FOTO: Dok. Santoso)

Sial. Sapi kentut, baunya jian tenan. Itu masih belum seberapa, tiba-tiba sapi itu kencing. Karena sapi betina, maka kencingnya pun muncrat ke belakang. Jadinya aku pun sempat kecipratan. 

Sampai rumah  sudah malam, jelas tidak memungkinkan untuk wawancara dengan kakek Karso Biran di  Maospati. Akhirnya berita eksklusif pun tertunda. Tidak seperti wartawan sekarang yang suka berbagi info, dulu wartawan mengejar eksklusivitas. Sehingga berita itu tersimpan rapi sebelum termuat.

Esoknya kukejar Karso Biran di rumah anaknya. Duh, agak apes, saat itu Karso Biran sedang kontrol ke RSU Magetan. Karena saya harus mendapat cerita dari kakek Karso Biran, aku rela menunggu sampai ketemu. Alhasil menunggu dari jam 08.00 pagi baru  bisa bertemu jam 15.00 sore sambil menahan lapar. Soalnya anak dan menantunya mengantar semua, yang ada hanya cucunya yang masih duduk di bangku SD. Jadi tak ada suguhan sama sekali, hehehe.

Karso Biran saat itu tak segan-segan menceritakan apa yang telah menimpa dirinya. Namun ia pasrah atas kejadian itu.

"Saya memang salah, apalagi sudah tua jadi ya sudahlah ini suratan nasib," katanya semeleh.

"Apa tidak lapor polisi pak," tanyaku

"Buat apa? Betapa pun juga dia istri saya, ibunya anak-anak. Masak saya tega melihat dia dipenjara. Apalagi ini juga salahku sendiri," kata Pak Karso Biran. 

Pulang dari wawancara aku langsung ketik berita itu dengan gaya features. Aku masih ingat lead-nya :

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Karso Biran kini telah pulang, namun ada sesuatu yang hilang. Alat vitalnya dipotong istrinya sendiri, gara-gara ia ketahuan selingkuh dengan tatangganya sendiri etc..etc.

Selesai menulis, berita itu  kumasukkan amplop dan kukirim via pos kilat khusus. Saat itu hanya pos kilat khusus sebagai sarana pengiriman berita yang tercepat, selain diantar sendiri ke Surabaya. Untuk memburu berita ini terpaksa jas almamaterku dari AWS pindah tangan ke tukang loak yang mangkal di Gang Puntuk Madiun.

Capek pun terobati setelah berita itu muncul di boks halaman 1. Pengorbanan jas almamater itu kurasakan kecil dibanding kepuasan batin yang aku peroleh dari munculnya berita di boks halaman 1.

Akhir bulan  aku ke Surabaya untuk mengambil honor. Di kantor Kembang Jepun kebetulan ketemu Pak Bos Dahlan Iskan. Dia tanya, berapa lama anda menulis berita ini. Mendapat pertanyaan mendadak begitu aku bingung jawabnya. Mau ngomong jujur 30 menit, nanti pak bos gak percaya. Akhirnya dengan sekenanya aku jawab, kira-kira 1 jam bos. Pak bos pun manggut-manggut, entah apa yang terpikir di benaknya, apakah kelamaan menulis berita dengan waktu 1 jam atau ah entahlah.

Apa kendala anda dalam menulis berita ini, tanya Bos DIS lagi.

“Seandainya saya punya sepeda motor, berita itu sudah terbit 2 atau 3 hari  lebih cepat," jawabku disambut manggut-manggut lagi.

Perkiraanku manggut-manggutnya Pak Bos lantaran dia tahu persis wilayah Magetan. Maklum, Pak Bos asli Desa Tegalarum, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Jadi aku yakin, Pak Bos tahu persis 

Dia pun tanya, berapa harga pasaran motor bekas di Madiun? Saya jawab kisaran Rp 200 ribu. Sejenak Pak Bos erek-erek di secarik kertas, kemudian diserahkan ke aku. 

"Sana ke Cik Lan ambil duit  beli motor bekas," katanya.

Esoknya aku cari pedagang motor bekas kenalanku, dan kuambil sebuah sepeda motor Honda 90 warna merah seharga Rp 190.000. dan ini benar-benar kenangan manis dari Pak Bos, karena aku adalah wartawan kali pertama yang dapat fasilitas sepeda motor, meski bekas.

Punya sepeda motor, aku seperti orang kesetanan. Kuhabisi berita-berita dari wilayah Karesidenan Madiun yang meliputi Kota/ Kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan. Dan tidak sombong, beritaku banyak yang masuk halaman 1 dan benar-benar eksklusif.

Sebulan kemudian, aku ke Surabaya untuk mengambil honor. Agak setengah kaget ketika melihat slip honor kok ada potongan Rp 200 ribu. 

"Gak salah to Cik Lan, kok ada potongan," kataku. 

Dan Cik Lan yang dikenal berwajah agak sinis kalau melihat orang pun menjawab, "Lho kan potongan pinjaman untuk beli sepeda motor!"

ALAMAAAAAKKKKKK, kataku dalam hati, sambil menempelkan dua tanganku ke dahi. Ini bener-bener guyonan ala Dahlan Iskan..Tapi gak apalah, berkah  burung pipt Karso Biran, aku punya motor sebagai sarana kerjaku. (*)

Pewarta : Santoso
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda