Djanalis Djanaid, Perintis Kewirausahaan di Universitas Brawijaya

Mencetak Rekor 3.000 Pelatihan

Djanalis Djanaid (Foto: UB)

COWASJP.COM – ockquote>

Sangat langka perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program studi (prodi) S1 Kewirausahaan. Satu di antaranya adalah di Universitas Brawijaya (UB) Malang. UB membuka prodi baru tersebut pada tahun ajaran baru 2016/2017 di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Prodi baru yang dibuka oleh Rektor UB Prof Dr Mohammad Bisri pada 12 April 2016 tersebut merupakan yang kedua di Indonesia setelah Insitut Teknologi Bandung (ITB). Untuk tahun pertama, UB menyiapkan kuota sebanyak 60 mahasiswa.

penganta-tulisan-djokoP96jz.jpg

SEPERTI telah dilaporkan berbagai media, pembukaan prodi baru tersebut dipandang oleh UB sebagai tuntutan yang mendesak. Pada akhir tahun 2016 lalu, UB pun telah mendapat penghargaan dari International Council for Small Bussiness (ICSB) karena pembukaan prodi tersebut. UB pun menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang mendapat penghargaan itu.

Dr. Sumiati, M.Si., Ketua Jurusan Manajemen FEB, menjelaskan, Prodi Kewirausahaan telah melalui treasure study yaitu pelacakan alumni. Selain itu ada analisis lingkungan menyesuaikan kebutuhan kewirausahaan di Indonesia. Peluang wirausahawan yang dibutuhkan itu dinilai cukup besar. Diharapkan, prodi ini akan menjadi prodi unggulan dan  lulusanya nanti mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Menjadi job creator bukan job seeker.

Tetapi sudah barang tentu, pembukaan prodi baru itu tidaklah tiba-tiba terjadi seolah jatuh dari langit. Seperti dijelaskan di atas, pembukaan itu telah melalui treasure study. Dan patut juga diingat, salah satu tokoh kewirausahaan di UB adalah Drs. Djanalis Djanaid, pensiunan dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) yang lebih dikenal sebagai motivator nasional dan pelatih kewirausahaan.

Nama Djanalis Djanaid  (75) mungkin tidak sepopuler pembicara seperti Hermawan Kertajaya, Mario Teguh, atau Renald Kasali dalam forum-forum menyangkut SDM, di antaranya entrepeneurship. Tetapi Djanalis adalah pembicara yang handal yang tidak dimiliki oleh pembicara manapun. Bagaimana tidak?

Selama 25 tahun Djanalis bergerak dalam pengembangan SDM. Dalam rentang waktu tersebut, ia telah melakukan hampir 3.000 kali presentasi sebagai instruktur dalam pelatihan, yang terdiri lebih dari 33 materi. Berbagai materi itu terbagi dalam empat kategori, yakni kepemimpinan, kewirausahaan, public relations, dan teknik mengendalikan opini public, manajemen konflik dan hati nurani.

Dalam pelatihan itu, Djanalis telah mengunjungi lebih dari 70 kota di seluruh Indonesia. Beberapa kali ia juga diundang memberi pelatihan di Kedutaan RI di luar negeri, di antaranya London, Kairo, Paris dan Bangkok. Semua data tentang acara pelatihan, termasuk pihak pengundang dan foto-fotonya, tersimpan secara rapi di rumahnya di Malang. Sungguh, kalau ada yang peduli memperjuangkannya. Djanalis Djanaid kiranya pantas masuk Musium Rekor Indonesia (MURI) untuk pelatihan SDM.

Bagaimana Djanalis bisa meraih semua itu? Jawabannya tentu terkait lingkungan dan latar belakangnya. Di masa kecilnya di Bukit Tinggi, Djanalis Djanaid suka berkhayal tentang petualangan tokoh-tokoh seperti Wiro dan Tarzan. Hal tersebut sedikit banyak mempengarui kehidupannya di masa dewasa, dunia ‘petualangan’ yang berguna bagi masyarakat

Kelola Koran Kampus

Saat awal kuliah di UB, pria Minang ini aktif di Lembaga Kesenian Mahasiswa Islam (LKMI), kelompok band dan teater, serta pers mahasiswa. Bersama Agil H. Ali, misalnya, ia mengelola Koran kampus Mingguan Mahasiswa (MM), yang kemudian menjadi Mingguan Menorandum, lalu Harian Memorandum. Ia juga tercatat sebagai inisiator dan pendiri Dewan Kesenian Malang.

Kepiawaiannya berkomunikasi dengan orang lain mengantarkannya  ke beragam organisasi sosial dan bisnis. Termasuk di antaranya mendirikan Indogement dan Indopurels, dua lembaga yang bergerak dalam pengembangan sumber daya manusia.

Dalam aktivitasnya ini, Djanalis mengatakan dirinya banyak mendapat bantuan dari kawan-kawan lamanya yang aktif di media massa. Ia menunjuk Bos Jawa Pos Dahlan Iskan dan Imawan Mashuri, yang lama bekerja di Jawa Pos Group. Di Ujung Pandang ada Alwi Hamu Pimpinan Harian Fajar. Demikian juga di Banjarmasin, Medan, Padang sampai ke Timor Timur sebelum lepas dari NKRI.

Ada saja teman lama bekas aktivis mahasiswa dan pers yang mendukungnya. “Pada saat-saat awal beroprasinya dua lembaga ini, Pak Dahlan dan Pak Imawan sering kami minta menjadi pembicara,” kata Djanalis.

Dalam perkembangannya kemudian, Indogement dan Indopurels bekerjasama dengan FIA Unibraw, tempat Djanalis menjadi staf pengajar. Di Unibraw, ia juga mengembangkan koperasi universitas dan pernah memperoleh tiga kali penghargaan sebagai koperasi teladan tingkat nasional. Karena aktivitasnya itu, Djanalis pun diberi kepercayaan menjadi Ketua Tim Pengkaji Bisnis FIA UB.

Djanalis juga menjadi salah satu dosen yang merintis diterapkannya mata kuliah kewirausahaan untuk seluruh fakultas di UB. Program ini dalam perkembangannya beberapa tahun kemudian di zaman Prof Yogi jadi Rektor  memunculkan keputusan UB untuk “menuju entrepreneurial university” yang sehat dan berdaya saing internasional  yang diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla (masa kepresidenan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) . Untuk mewujudkan tujuannya UB membentuk UBBIPS (University of Brawijaya Business Incubator and Public Services).

Di dalam lembaga tersebut terdapat UBEEC (University of Brawijaya Entrepreneurship Education Center), dan UBBC (University of Brawijaya Business Center).

Meskipun usianya  hampir 75 tahun, bapak dua anak ini tetap bekerja dengan penuh semangat. Secara khusus, fokus perhatian Djanalis sekarang memang pengembangan sumber daya manusia. Ia berpendapat, SDM adalah faktor yang sangat dominan dalam menentukan keberhasilan suatu Negara, organisasi bisnis maupun publik. Dari hasil eksperimennya,

Djanalis menemukan enam konsep pengembangan SDM yang dirumuskan sebagai serum suntik yang diterapkan pada organisasi. “Konsep ini terinspirasi dari teori jarum ‘Hipodermik’ dalam teori komunikasi,” kata Djanalis.

Secara harfiah, menurut Djanalis, hipodermik berarti di bawah kulit. Dalam hubungan dengan komunikasi massa, istilah “Hypodermic Needle Model” mengandung anggapan dasar bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera, serentak langsung, terhadap massa. Enam konsep yang dirumuskannya itu merupakan serum yang diisikan pada jarum hipodermik untuk ditunjukkan pada masyarakat.

Keenam serum yang dimaksudkan Djanalis adalah: teknik mengendalikan opini publik, manajemen konfl ik, manajemen hati nurani, public relations, kepemimpinan eksekutif berwawasan kebangsaan, dan kewirausahaan profesional. “Konsep yang merupakan serum jarum Hipodermik ini kalau disuntikkan pada masyarakat atau organisasi akan memiliki beberapa fungsi” kata Djanalis.

Fungsinya, katanya, antara lain sebagai alat pembangun kekuatan organisasi dalam bentuk kreativitas. Sebagai alat untuk meningkatkan daya tahan terhadap serangan penyakit organisasi (antibodi); sebagai serum pembunuh penyakit organisasi; dan sebagai alat menormalkan metabolisme antar komponen dalam organisasi. “Konsep itulah yang saya terapkan di depan ribuan  orang selama saya diundang untuk memberikan berbagai pelatihan,” tuturnya.

Langganan Perusahaan Asing

Anda ingin tahu, siapa saja pihak yang mengundang Djanalis? Anda pasti akan terheran-heran karena banyaknya dan beragamnya lembaga pengundang, mulai dari perusahaan BUMN, berbagai rumah sakit, Kadin di 21 propinsi, hingga perusahaan-perusahaan asing.

Perusahaan asing yang pernah dan masih (sebagian) menggunakan jasanya antara lain, Arco Indonesia, Petrochina, Total Indonesia, Caltex, Chevron, Exxon Mobil Oil, dan Gulf Resourches. Perusahaan BUMN di antaranya adalah Pertamina UP I hingga VII, PT Arun LNG, PT Badak, Semen Gresik (sekarang Semen Indonesia), BNI 46, Bank Mandiri, Petrokimia, dan Perum Peruri. Sementara instansi pemerintah adalah berbagai rumah sakit di berbagai kota, juga lembaga lembaga pemerintah daerah propinsi dan militer Komando Pendidikan Angakatan Laut (Kodikal).

Djanalis juga pernah diundang Susilo Bambang Yudhoyono saat tokoh ini masih menjabat sebagai Menko Polkam di bawah Presiden Megawati Soekarno Putri. Di depan jajaran  Polkam, Djanalis berbicara tentang kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan, khususnya yang berhubungan dengan manajemen konflik.

Di kalangan perusahaan, Djanalis banyak diper-caya untuk memberikan pelatihan bisnis/ kewirausahaan kepada para karyawan yang memasuki usia pensiun. Tujuannya, mereka dapat melewati masa tuanya dengan penuh gairah dan tidak terpuruk secara finansial. Tetapi berbicara tentang kewirausahaan, Djanalis justru lebih menunjukkan perhatiannya kepada kaum muda. Ia menegaskan bahwa kita harus meningkatkan minat kaum muda untuk terjun di dunia usaha. “Generasi muda harus didorong untuk menjadi entrepreneur handal,” kata Djanalis.

Ia mengemukakan paling tidak tidak ada tiga alasan dasar mengapa semangat kewirausahaan harus dikobarkan di kalangan generasi muda, khusunya mahasiswa di perguruan tinggi.

Pertama, kata Djanalis, Pembangunan fisik dan nonfisik suatu bangsa akan berhasil apabila ada dana pemerintah yang memadai. Dana ini diperoleh dari kontribusi pajak, sedangkan pajak didapatkan dari kegiatan menguntungkan. Sebuah usaha baru menguntungkan apabila dikelola oleh entrepreneur yang sukses.

Kedua, kata Djanalis pula, saat ini kita melihat banyak perusahaan, baik swasta maupun pemerintah, yang mengalami kerugian akibat tidak dikelola secara profesional, atau oleh tenaga yang terlatih. Sejak krisis moneter seratus empat puluh ribu perusahaan gulung tikar dengan meninggalkan utang ribuan triliun.

Ketiga, di bidang industri bangsa ini masih mengimpor banyak kebutuhan rakyatnya sehingga menghabiskan devisa, seperti beras, gula, kentang, alat transportasi, dan sebagainya.

Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan menciptakan konsep-konsep orisinil buatan Indonesia dan kemampuan dunia usaha mengelola perusahaan profesioanal. Kita belum mampu, misalnya, membuat telepon selular (ponsel) sendiri. “Kalau toh mampu, tidak ada orang yang mendirikan pabrik ponsel. Keadaan ini menyebabkan bangsa ini tidak mampu meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alamnya,” katanya.

Djanalis pun angkat topi kepala para pimpinan universitas yang memikirkan secara serius mencetak calon-calon entrepreneur. Apalagi sekarang UB telah membuka Prodi S-1 Kewirausahaan di FEB. “Apa yang dilakukan Universitas Brawijaya untuk menjadi entrepreneurial university tepat sekali,” katanya pula. (*)

Djoko Pitono, jurnalis senior dan editor buku.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda