Ketika Akar Rumput KWB Berbicara

PKL Merasa Nyaman, Ditata Tanpa Pungutan

Toilet umum yang bersih dan apik. (Foto-foto: slamet OP/CoWasJP)

COWASJP.COMPERKEMBANGAN pesat Kota Wisata Batu (KWB) telah diketahui secara luas. Bahkan telah melampaui batas negara Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda dulu Kota Batu telah dijuluki sebagai Swiss Kecil (De Kleine Zwitserland) karena alamnya yang indah.

Jumlah wisatawan naik berlipatganda. Menurut data Dinas Pariwisata Pemkot Batu, tahun 2005 hanya 940 ribu wisatawan yang menyerbu KWB. Tapi  tahun 2015 melesat naik jadi 3,58 juta wisatawan. Dan, tahun ini (2017) ditargetkan 4,2 juta wisatawan domestik dan mancanegara menyerbu KWB. Berarti per hari rata-rata 11.500 wisatawan menyerbu Batu.

Kita pun tahu, perkembangan pesat KWB terjadi sejak Sam ER – sapaan akrab Eddy Rumpoko – terpilih menjadi walikota 2007 (dilantik 24 Desember) sampai masa transisi sekarang kepada isterinya tercinta Ny Hajjah Dewanti Rumpoko.

Angka-angka statitik menunjukkan peningkatan luar biasa. PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang pada tahun 2008 hanya Rp 14,2 miliar, tahun 2015 naik jadi Rp 100, 8 milar, dan tahun 2016 naik lagi jadi Rp 106 miliar.

Akan tetapi, apakah peningkatan pesat kehidupan kota sejalan dengan peningkatan kesejahteraan wong cilik atau kaum akar rumput KWB? Hal inilah yang perlu ditelisik, walaupun cuma sepintas. Itulah sebabnya empat personel CoWasJP (para mantan karyawan Jawa Pos Group), Kamis 25 Mei 2017 pagi berkunjung ke KWB. Yaitu Eko Budianto, Moch. Ridwan, Soerijadi, dan kami (penulis).

Benar-benar sepintas. Setengah hari pun tak sampai. Datang di Batu pukul 06.30, kemudian pukul 11.15 balik lagi ke Surabaya. Penelisikan yang amat singkat untuk ukuran pencarian bukti perkembangan kaum akar rumput Kota Batu. Apakah bisa dalam tempo sesingkat itu mendapatkan bukti konkret?

Berangkat dari rumah kami, Tropodo Indah, Waru, Sidoarjo, pukul 23.00, Rabu 24 Mei 2017. Naik “mobil perang” Suzuki Vitara tahun 1990 milik Eko “Kletek” Budiono. Cak Ridwan berangkat dari rumah kami, sepeda motornya diparkir di rumah kami. Kemudian menjemput Soerijadi di Candi. Dia mencegat di seberang Universitas Muhammadiyah di jalan raya menuju Porong.

Tiba di Malang di Kantor situs Times Indonesia (TIN), Jalan Pandan, Malang, pukul 01.15. Rencananya sih Ahmad S, mantan pracetak Jawa Pos yang kini menjadi uplouder TIN, ikut juga ke Batu. Tapi karena Kamis pagi 25 Mei itu TIN menjamu tamu dari Kedutaan Besar Somalia, dia tak jadi ikut. Nggak masalah karena Sukma harus menjalankan tugasnya juga.

Dinihari itu, kami ke rumah Sukma di Kampung Bareng. Di gang kecil tapi bersih. Kalau nggak biasa, pasti sulit menemukan kembali rumah Sukma. Banyak gang kelincinya. Ngopi dulu sambil menunggu usai Shubuh. Ngopi saja, karena kami tadi sudah makan di warung tepi jalan di dekat Pasar Lawang.

Sekitar pukul 05.15 kami pamitan dan meluncur ke Batu. Jalan pelan saja sambil menikmati udara pagi yang segar. Kami sengaja berangkat pagi untuk menghindari macet. Sebab, di hari libur atau akhir pekan, perjalanan Malang – Batu bisa menelan waktu dua jam. Padahal jaraknya hanya 17 kilometer. Saking macetnya. Kamis 25 Mei adalah hari libur nasional, Hari Raya Waisak.

Pukul 06.00 kami sudah masuk Kota Batu. Putar lewat Jalan Raya (jalan kembar) Sultan Agung, kemudian menuju Alun-Alun Kota Batu. Mobil kami parkir di halaman Batu Plaza. Seberang Alun-Alun Batu yang sudah disulap menjadi objek wisata nan indah.

Tadi di mobil, kami telah menjelaskan kepada Eko Kletek dan kawan-kawan tentang target yang menjadi narasumber. Yaitu pedagang kaki lima (PKL) di KWB. Random (acak) saja. Kami sengaja tidak menemui pejabat KWB, apalagi Sam ER. Pasalnya, kami ingin mendengar langsung suara mereka secara lepas dan apa adanya. 

**

Nah, di tepi barat halaman Batu Plaza “teronggok’ tiga rombong PKL yang jual makanan. Teman-teman memilih yang paling utara. Karena rombong itu menjual nasi pecel sambal tumpang dan nasi rawon spesial yang mereka sukai. Kami pun makan dan ngopi lagi di situ.

Pemilik warungnya cewek usia 31 tahun, namanya Nora Agustina, mengenakan jilbab. “Baru dua tahun ini saya jadi PKL. Ya setelah Alun-Alun Kota Batu ini dibangun,” kata Nora. Berarti Nora termasuk PKL yang relatif anyar. Dia tergerak menjadi PKL karena serbuan wisatawan makin besar ke Batu. 

“Alangkah baiknya kalau saya jualan nasi dan minuman. Wong suami saya juga kerja serabutan. Penghasilnya paling banyak Rp 2 juta. Dengan jualan nasi, rata-rata saya bisa mendapatkan uang Rp 500 ribu per hari. Sak apes-apesnya sebulan bisa dapat keuntungan Rp 4 juta sampai Rp 5 juta,” tutur Nora. 

nora-PKLDbJn5.jpgNora Agustina, 31 tahun, PKL di KWB (Kota Wisata Batu). Foto slamet op/CoWasJP

“Tambahan penghasilan Rp 4 juta, kadang Rp 6 juta per bulan sangat berarti bagi kami ini, pak,” tambahnya.  Benar juga dia. Bandingkan dengan UMK (upah minimum kota) Batu tahun 2017 yang hanya Rp 2.193.145. Nora bisa mendapat hampir 2 kali lipat bahkan sampai 2,5 kali lipat UMK Batu!

Apa yang dikatakan Nora dibenarkan oleh Bu Tamijah, 48 tahun, penjual soto ayam yang bersebelahan dengan rombong Nora.

“Kulo maturnuwun Pak Walikota (Eddy Rumpoko) mbangun Alun-Alun Batu. Banyak orang ke sini, dan sebagian dari mereka tentu lapar, kemudian makan di sini,” kata Bu Tamijah. Keuntungannya per bulan tak beda jauh dengan yang diperoleh Nora.

“Tidak ada pungutan uang apa pun di sini. Kami per PKL hanya menyumbang Rp 10 ribu per minggu untuk kebersihan. Tapi uang itu disetorkan kepada Pak RT di sini, pak. Di Kauman sini. Bukan kepada pemerintah,” terang Nora. 

alun2-batu11fUbp.jpgSmoking Area di Alun-Alun Batu.

Lingkungan di halaman Batu Plaza terlihat bersih. Toilet umumnya pun bersih dan apik. Tak jauh dari warung mereka. (Lihat foto). Untuk buang air kecil dikenakan biaya Rp 2.000. Mandi air dingin Rp 4.000 dan mandi air panas Rp 8.000 per orang. 

Usai makan dan ngobrol dengan kedua PKL itu kami menyeberang jalan, ingin melihat keindahan Alun-Alun Batu.  Memang indah. Pukul 07.00 orang mulai berdatangan. Yang tua sampai yang balita. Surabaya belum punya taman seindah Alun-Alun Batu. Kota Malang juga belum punya. 

Matahari makin tinggi, makin banyak yang datang. Dari kantor informasi dan pelayanan di dalam kawasan Alun-Alun secara berkala diperdengarkan pengumuman, bahwa kawasan Alun-Alun dilarang merokok. Cak Ridwan langsung mematikan rokoknya, dan puntungnya dibuang ke tong sampah yang apik. (Lihat foto).

abak-sampahMpqi.jpgTempat sampah di Alun-Alun Batu

“Kalau mau merokok, silakan ke smoking area,” begitu sebagian pesan pengumumannya. Beberapa anak remaja wanita terlihat asyik bersepatu roda. Sejumlah lelaki muda duduk di smoking area yang juga apik. Ke sanalah kami berjalan. Tersedia bangku dan meja. Dua  tempat sampah cukup besar disediakan di situ. Ayo merokok ria sejenak. Sambil cuci mata. Hehehehe.

Namun, sayangnya, kendati telah tersedia dua tempat sampah cukup besar, masih ada saja pengunjung yang membuang puntung rokoknya di lantai. Bungkus permen pun dibuang di lantai. Kami tidak tahu, apakah mereka warga Batu atau dari luar Kota Batu. Terkesan bahwa pendidikan sekolah zaman sekarang mengabaikan pembinaan moral. 

Moral tak hanya berkaitan dengan tindakan pelecehan seksual. Tapi juga berkaitan dengan perilaku yang menghargai kebersihan lingkungan. Menghormati orang yang lebih tua dan lain-lain. Mengapa sekolah-sekolah kita masih gagal membina moral? Mengapa sungai-sungai di Indonesia masih menjadi tempat sampah? Padahal jam belajar di sekolah zaman sekarang mulai pagi sampai sore. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul begitu saja di pikiran kita. 

alun2-batuzcFq2.jpgSecercah wajah Alun-Alun Batu

Pukul 09.00 semua air mancur di Alun-Alun Batu dihidupkan. Makin indahlah pemandangan di situ. Pengunjung makin banyak. Kami pun bergerak meninggalkan Alun-Alun. Soerijadi usul bagaimana kalau mengunjungi Museum Angkot di Jalan Terusan Sultan Agung. Tapi, kami baru tahu bahwa ternyata Museum Angkut baru dibuka pukul 11.00. Beberapa pengunjung lain juga kecele.

Baiklah. Kami pun bergerak ke PKL di tepi Jalan Sultan Agung, Tak jauh dari museum. Walaupun sederhana, di situ berjajar 16 warkop yang tertata rapi. Mereka membangun warung semipermanen di belakang trotoar. Jadi, tidak mengganggu fasilitas umum. Ruang di dalam warung cukup luar. 4 x 2 meter, beralas karpet. Bangunannya kombinasi kayu dan anyaman bambu. Menunya? Ada soto ayam balungan, rawon, nasi goreng, mie kuah. Minumannya ada kopi, teh panas, pop ice, es sogem, es jeruk, es josua, dan es teh.

rombong-sotooAygX.jpgRombong milik Nora di halaman depan Batu Plaza

Kami masuk di warkop milik Pak Eddy Prasetyo, 45 tahun.  “Kami baru 1 tahun dua bulan buka warkop di sini,” katanya. Ya, dia termasuk  PKL anyaran juga. Yang jelas, dia sangat senang bisa buka warung di situ. Penghasilannya (keuntungannya) per bulan sekitar Rp 5 juta. Warungnya buka mulai pagi sampai pukul 01.00 dinihari. Kalau Sabtu malam buka 24 jam.

“Di sini juga tidak ada pungutan apa pun dari Satpol PP maupun petugas Pekerjaan Umum,” jelas Pak Eddy. Warung di sini dibangun juga berkat dibangunnya Museum Angkut dan Museum Topeng yang bersebelahan. Per warung hanya urunan Rp 20 ribu untuk bayar rekening listrik. Ringan.

“Dulu, Jalan Sultan Agung sini sudah sepi pukul 7 malam. Tapi sekarang lumayan ramai sampai malam. Tapi pak, perlu perjuangan dan kegigihan untuk buka warung di sini,” katanya. Loh, perjuangan bagaimana?

Tahun lalu, ketika kami baru bangun warung, nyaris kami digusur oleh pasukan lengkap petugas. Mulai dari Satpol PP, Polri, dan TNI. Tapi saya sebagai koordinator warkop di sini, bersikeras tak mau digusur dan dibongkar, Dulu sempat ramai pak jadi berita di koran-koran,” urainya.

Eddy Prasetyo kemudian cerita panjang lebar. Begini penuturannya:

“Kami dianggap buka warung di area fasum (fasilitas umum, red). La wong kami membangung warung di belakang trotoar koq. Kalau kami akan digusur, kami nggak pernah menerima SP (surat peringatan). Masak langsung main gusur? Ya nggak bisa! Kebetulan saya kenal dengan anggota DPR Kota Batu. Ada Pak Anang dan Gerindra dan Bu Katarina dari PDIP. Kami menemui kedua beliau memohon pengarahan. Pak Anang dan Bu Katarina mengatakan, yang penting tidak di atas trotoar dan di atas area fasum. Harus rapi dan bersih.

eddy-prasetyoa2QNA.jpgEddy Prasetyo pemilik warkop di tepi Jalan Sultan Agung, Batu

Memang, di sisi selatan Jalan Sultan Agung berdiri rumah-rumah besar dan mewah. Tapi yang sisi selatan masih berupa tanah kosong yang oleh pemiliknya ditanami sayuran. Jadi kami tidak di halaman rumah orang. Mungkin kalau pemilik tanah di tepi jalan ini yang meminta kami pindah, ya kami mau nggak mau harus pindah. Tetapi selama ini pemilik tanah tidak berkeberatan kami buka warung di sisi luar tanahnya.

Masih ada dua kali lagi penggusuran akan dilakukan, tapi nggak jadi semuanya. Saya bersyukur, para petugas Satpol PP, Polri, dan TNI tidak ada yang main paksa. Mereka bersedia mendengarkan penjelasan kami, dan mengurungkan penggusuran. Mungkin kebijaksanaan petugas seperti ini yang nggak ditemukan di kota-kota lain. 

Sekarang kami mendengar kabar, bahwa Satpol PP Kota Batu melakukan studi banding ke Kota Surabaya. Rencananya Agustus nanti akan dilakukan penertiban besar-besaran terhadap semua PKL di Batu. Ini pak yang kami tunggu dengan rasa cemas. Jangan-jangan mereka ketularan main gusur seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya? Kalau digusur solusinya seperti apa? Apakah kami akan mendapatkan tempat yang strategis untuk buka warung lagi?

Tapi, sementara ini kami merasa nyaman dan merasa ditata. Kami juga merasa dilindungi oleh para wakil rakyat di DPR Kota Batu. Berikanlah kami kesempatan dan peluang menikmati tuah Kota Wisata Batu. Tuah obyek wisata Museum Angkut. Semoga kami aman-aman saja. Wong warkop ini adalah penghidupan kami, pak.” 

**

Dari warung Pak Eddy, kami balik ke Museum Angkut. Sebab, jarum arloji menunjuk pukul 11.10. Sampai di gerbang Museum, pagar penutup belum juga dibuka. Masih tutup. Tapi kami tidak ingin berpikiran buruk. Misalnya menuding petugas museum suka molor. Tidak! Sebab, bisa saja jarum arloji di tangan kami tidak sama dengan jarum arloji di tangannya. 

Daripada nunggu lagi, kami sepakat pulang saja ke Surabaya. Pengalaman. Kalau mau berkunjung ke Museum Angkut lebih baik di atas pukul 12.00. Tutupnya pukul 20.00. Lain kali, insya Allah kami ke sana lagi. Seperti apakah alat angkut tempo doeloe? Sedannya seperti apa, sepedanya, dan lain-lain.

tamijahWHdx6.jpgBu Tamijah penjual soto ayam

Baiklah, ceritanya kami akhiri dulu. Kami masih merencanakan untuk ke Batu lagi dan ngobrol lagi dengan kaum akar rumput Batu lainnya. Entah kapan? Tapi tentu saja, sementara waktu kami belum menjadwal untuk bertemu para pejabat KWB. Sebab, kami masih ingin menelisik perkembangan wong cilik Kota Batu, apa adanya dan diungkapkan lepas bebas. Kami ingin bergerak dari bawah ke atas.

Pasalnya, target termulia dari semua gerak pembangunan adalah bagaimana membuat wong cilik gumuyu (tertawa senang) dan bahagia. Bagaimana mengurangi kesenjangan yang terlalu lebar, seperti langit dan jurang (di bawah permukaan bumi), antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia? Bagaimana roti pembangunan terbagi lebih adil dan berperikemanusiaan.

wc-umu-berseihfLuj.jpgToilet umum yang bersih dan apik

Kami ingin menemui para petani hortikultura di Batu. Ke kawasan-kawasan yang dilindungi dan tidak boleh dibangun hotel, perumahan, pertokoan di situ. Kawasan-kawasan itu harus tetap dijaga sebagai sentra pertanian. Kota Batu tetap konsisten dengan visinya sebagai sentra pertanian organik berbasis kepariwisataan internasional. 

Mengawinkan wisata dengan pertanian organik. Ada kaum pedagang cilik di sana. Ada kaum petani cilik di sana. Ada penjual jasa cilik juga di sana. Apakah hidup mereka juga lebih sejahtera? Inilah salah satu angle yang ingin kami telisik bersama teman-teman CoWasJP. Semoga upaya kami makin memperteguh semangat membela wong cilik.

Yang jelas, wong-wong cilik Kota Batu kini menunggu gebrakan lebih lanjut dan lebih total lagi dari Bu Dewanti Rumpoko sebagai Walikota yang baru. Semoga Batu makin bercahaya dan cemerlang dengan wisata alamnya. Shining Batu. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda