Gara-gara Ahok, Indonesia Begini…

Ilustrasi: baca

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Djono W Oesman

-------------------------------------

KELEMAHANNYA masyarakat kita, antara lain, enggan membaca. Jangankan koran, majalah, buku. Jumlah hurufnya ribuan. Baca lima-enam huruf saja ogah. Bukti: Di toko retail (mart) berpintu kaca, tertera “Tarik”. 

Eeh… ada juga orang masuk, mendorong. 

Akibatnya, praaak… 

Orang di balik pintu kejedot. Tak menduga bahwa orang yang akan masuk itu tidak membaca, walau hanya untuk satu kata. Lima-enam huruf. Asli ini, bukan hoax.

Implikasi masyarakat enggan baca, luas dan rumit. Salah paham beredar dimana-mana. Dimanfaatkan oleh ‘Orang Paham’ tipologi masyarakat enggan baca ini. ‘Orang Paham’ ditunggangi ‘Orang Berduit’.

Jadilah kondisi Indonesia sekarang. Ketegangan antar golongan masyarakat merebak. Harmoni sosial terganggung. Masing-masing merapatkan barisan. Seolah-olah, ke-bhineka-an kita bakal terkoyak. Tak kurang, Presiden RI pun mengatakan hal ini.

Saya tidak membahas, bahwa semua ini bermula dari Ahok (Gubernur DKI non aktif, Basuki Tjahaja Purnama). Saya tidak mengatakan, ini terkait politik menjelang Pilkada DKI, yang kebetulan ucapan Ahok masuk ‘wilayah agama’.

Tidak. Saya tidak ke wilayah itu. Sebab, sudah banyak dibahas para pakar.

Terlebih, saya author dwi-logi buku biografi Ahok, atas pesanan pejabat DKI. Judul seri satu: “Tionghoa Keturunanku, Indonesia Negeriku, Bangun Bangsa Tujuanku”. Seri dua: “Beginilah Rahasia Politik Saya”. Sudah beredar.

Jika saya menulis Ahok, jadinya bias. Menimbulkan asumsi: Conflict of interest statement. Walaupun saya menulis biografi Ahok, atas pesanan.

Jangan salah, saya juga ghost editor buku biografi Plt Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarsono.

Judulnya: “Menjaga Jakarta”. Kini proses cetak. Juga atas pesanan.

Antara Ahok dan Soni, diasumsikan publik: Bertentangan. Buktinya, ada kelompok yang ‘menekan’ Soni, melalui orang dekatnya. ‘Tekanan’ keras.

Politik, sesuatu yang ‘berat’, saudaraku... Butuh sekolah cukup untuk jadi ‘enteng’.

Sementara, di media sosial (medsos) sepanjang sekitar tiga bulan ini, muncul banyak ‘pengamat politik’. Postingan mereka di Facebook, Twitter, Instagram, Blog, ditanggapi banyak ‘pengamat politik’ lain. Balas-berbalas.

Data Kemenkominfo per 2016, jumlah pengguna internet di Indonesia 102,8 juta. Peringkat 6 dunia, di bawah Jepang 104,5 juta. Estimasi tahun ini, Indonesia jadi sekitar 112,6 juta. Naik ke peringkat 5, menyodok Jepang yang diestimasi jadi 105 juta.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) per 2015, lama sekolah masyarakat Indonesia rata-rata (average) 8 tahun, atau kelas dua SMP. Angka itu hanya naik setahun (sekelas) dibanding tahun 2000 yang 7 tahun ‘makan’ sekolah, atau kelas satu SMP.

Data Kemendiknas per 2011, jumlah mahasiswa kita 4,8 juta orang. Jika dikomparasi dengan populasi penduduk berusia 19 – 24 tahun, maka angka partisipasi kasar sekitar 18,4 persen. Sisanya tidak sampai kuliah.

Dari sekitar 112 juta pengguna internet, katakanlah, separo aktif di medsos. Lantas dari separo itu, katakanlah, hanya sekitar 10 persen berkicau politik. Ketemu sekitar 5,6 juta ‘pengamat politik’.

Dari 5,6 juta itu, katakanlah, separo berpendidikan rata-rata (sesuai data BPS). Maka, sekitar 2,8 juta ‘pengamat politik’ berpendidikan kelas dua SMP, kini aktif di medsos. Ngeri…

Ah… kejedot di Jawa Pos

Suatu senja, 1986 di kantor pusat koran Jawa Pos (JP), Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Suasana ramai. Belasan wartawan JP ngantor. Mereka hendak mengetik berita, setelah sepanjang pagi dan siang meliput berita di lapangan.

Diantara mereka ada saya, wartawan JP bidang liputan hukum dan kriminal.

Saya tidak langsung mengetik berita. Sebab, salah satu berita karya saya, belum memenuhi syarat berita. Butuh konfirmasi pakar hukum. Sedangkan pakar yang saya incar, seharian tadi tidak ber-acara di pengadilan. Juga tidak ada di kantornya.

Saya hendak menelepon (interview) dia ke rumahnya. Menggunakan telepon kantor. 

Ada dua telepon kantor. Satu bagian Redaksi, satu Iklan. Keduanya dipakai kawan wartawan, yang kayaknya bertugas, seperti saya. Karena dia telepon sambil coret-coret di notes. Jadi, harus sabar antri.

foto-BdwoZ0FXo.jpgTiba giliran saya, buku notes siap, pena juga siap. Nomor di telepon (jadul) saya putar. Kretek… tek… tek…

Mendadak, ada orang menempel di punggung saya. Ternyata, Pemimpin Redaksi JP Dahlan Iskan.

Matanya tajam ke saya. Gelagatnya marah: “Hentikan…” perintahnya.

Untung, telepon belum terhubung. Gagang langsung saya letakkan.

“Kesini…” perintah Dahlan. 

Dia beranjak. Saya mengikuti.

Dia berhenti di ujung ruangan. Lalu dia menunjuk white board di dinding: “Baca yang keras,” titahnya.

Saya baca: “Mulai sekarang, wartawan dilarang hunting berita melalui telepon. Meskipun hanya untuk konfirmasi.” Tertanda, Pemred. Tanggalnya, dua hari lalu.

Kuhitung pengumuman berisi 83 huruf. Jika ditambah tertanda dan tanggal, jadi 109. Cukup banyak juga, sih… 

Dahlan lantas beralih pandang, dari saya ke semua wartawan dan redaktur. Berkata lantang:

“Apakah kalian dengar, yang dibaca dwo?” teriaknya.

Serentak: “Dengar…”

Lantas, Dahlan kembali ke mejanya. Terpekur mengedit berita. Hening.

Semua mata melirik saya. Hampir semua menahan tawa. Mentertawakan kesialan. Mentertawakan kebodohan. Mungkin mereka bergumam: “Syukurin… koen (elu) jadi contoh soal.”

Sejak itu, Dahlan sering ngomel: “Bagaimana mungkin, wartawan penulis berita, enggan membaca? Wartawan cap apa kalian ini?” 

Masudnya: Cap gajah, cap burung, cap tikus…

Kata Dahlan: “Jangan menulis, kalau tak suka baca.” Dan, sejak itu dia selalu menulis berbagai hal di white board. Semua wartawan-redaktur terpaksa baca, apa pun tulisan disitu.

Mundur lebih belakang lagi, masa SD, SMP, SMA, kuliah. Di sekolah pasti ada papan pengumuman.

Majalah dinding.  Bahkan papan ditutup kaca, digembok. Seolah benda berharga tersimpan disitu.

Padahal, nyaris tak seorang pun pelajar-mahasiswa baca papan pengumuman. Menengok pun tidak.

Papan itu sepi dan dingin. Sedingin tembok sandarannya.

Saya tidak melecehkan, loh…

Saya tidak mengatakan, bahwa para pemain medsos kini rata-rata berpendidikan rendah. Meskipun data-data menunjukkan begitu.

Saya tak hendak melecehkan, bahwa karena rata-rata pe-medsos berpendidikan rendah (merujuk data) maka enggan membaca. Sama sekali tidak. Meskipun rata-rata minat baca masyarakat kita sangat rendah.

Buktinya, wartawan Jawa Pos. Syarat pertama jadi wartawan Jawa Pos, minimal sarjana strata satu, aneka bidang studi, dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal 3,1. Nilai ujian mata kuliah rata-rata B plus. 

Itu berarti masa sekolah wartawan, minimal 16 tahun (tidak termasuk TK). Dan, harus cerdas akademis (B plus). Itu berarti, masa sekolah mereka: Dia kali, dibanding rata-rata penduduk Indonesia yang 8 tahun (data BPS).

Wartawan Jawa Pos saja enggan baca. Bukan hanya baca papan pengumuman. Lebih parah lagi, rata-rata mereka enggan baca koran dan majalah. Jika tak percaya, tanyakan ke Dahlan Iskan.

Dalam kondisi begini, jutaan orang kini menulis politik dikaitkan dengan agama. Jutaan orang yang enggan baca itu, dengan tingkat pendidikan rata-rata sangat rendah itu, menggoyang Indonesia dengan tulisan mereka. Di medsos dengan jumlah audience 112,6 juta.

Bisa chaos. Berdarah-darah. Pecah persaudaraan kita.

Solusinya bagaimana? Ya… membaca-lah. Kata Dahlan: “Jangan pernah menulis, sebelum kamu gemar membaca.” 

Apalagi menulis politik. Untuk paham, harus sarjana FISIP, jurusan Ilmu Politik. Terlebih menulis agama. Harus membaca Al Quran dan semua Hadist Shahih.

Sebagai latihan, anda saya beri novel karya saya bentuk e-book, gratis. Tapi, akan saya pantau, apakah anda membaca atau tidak, melalui Google Analitic.

Baca juga link novel-nya: https://www.wattpad.com/story/95303406-728-hari

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda