Jeep Willys, Seribu Kisah yang tak Habis

Eko “Klethek” Budiono, peracik aneka jenis mobil jeep di bilangan Kletek, Sepanjang, Sidoarjo – Jawa Timur. (Foto: Roso Daras/CoWasJP)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Roso Daras

--------------------------

ADA yang bilang seperti “racun”, tapi ada yang lebih memilih kata “candu”. Dua-duanya bisa mengakibatkan efek adiktif. Kecanduan. Bukan narkoba atau psikotropika, melainkan kita sedang bicara mobil jeep zaman perang dunia kedua: Willys. Mobil baja produk Amerika inilah yang diibaratkan “racun” dan “candu”.

Jika itu racun, pasti mematikan, kecuali dalam dosis yang sangat kecil. Jika itu candu, pastilah memiliki sifat “nagih”. Mau lagi dan lagi, enggan untuk meninggalkan. Seperti itulah pengibaratan bagi siapa saja yang masuk dunia jeep, wabil khusus jeep willys.

Suatu sore di pojok kota antara Surabaya – Sidoarjo, tampak asyik ngobrol tiga “willys lovers”: Eko Budiono, Abdul Muis, dan Sugiyono. Eko adalah pemilik bengkel jeep di daerah Kletek, Sepanjang, Sidoarjo, Abdul Muis adalah wartawan senior sekaligus motivator, sedangkan Sugiyono adalah pensiunan marinir.

Sejak tahun 80-an, tiga lelaki paruh baya itu sudah menggilai Willys. Ketiganya pernah bernaung di wadah yang sama: “Jeep-AK”. Kata “AK” adalah kependekan “Anak Kolong”. “Dulu, setiap touring, saya pasti bawa satu ekor kambing buat kambing guling ha…ha…ha….,” ujar Cak Amu, panggilan akrabnya.

Lain lagi Eko. Sejak pensiun dari Jawa Pos, ia mulai menekuni jeep. Area kurang lebih 200 meter persegi di belakang rumahnya, ia jadikan workshop. Bersama satu temannya, Eko “membangun” jeep satu ke jeep lainnya. Ada kalanya ia berburu ke tempat-tempat mobil rongsok mencari body Willys atau jeep apa saja. Setelah itu, dibawa ke bengkel dan semua dipreteli, lalu bagaikan puzzle, disusun lagi satu per satu dari awal.

Itu artinya, Eko menangani mulai dari body repair, pengecatan, mesin, suspensi, sistem rem, hingga perlistrikan. Tidak jarang, ia memasang blok mesin lain, jika kondisi mesin lama tidak lagi mungkin dihidupkan. “Yang sering sih, saya gunakan mesin Toyota Crown 2000 cc. Tapi kalau pesanan, ya tergantung pemesan. Ada yang cukup dengan mesin Kijang super 1.500 cc, ada juga yang memasang blok mesin baru,” ujar pemilik nama panggilan “Eko Klethek” itu.

Di bengkelnya tempo hari, tampak lima unit body jeep. Empat di antaranya willys, dan satu land rover. “Yang itu, besok dikirim ke Yogyakarta,” ujar bapak tiga anak itu sambil menunjuk seonggok willys rongsok. “Mereka beli bodynya saja. Artinya, mereka akan bangun sendiri. Katanya sih, sekarang Yogya butuh banyak jeep untuk wisata ke Gunung Merapi,” tambah Eko.

Satu willys lain tampak dalam kondisi selesai pengecatan. Meski belum terpasang lengkap semua komponennya, willys dengan warna green army doff itu sudah tampak gagah. “Ini paling satu-dua hari lagi selesai, sebab akhir bulan April mau dipakai oleh pemesannya untuk acara di Blitar,” kata Eko sambil menunjukkan komponen-komponen lain yang sudah siap pasang.

rosoeZAxO.jpgPenulis, di samping Willys rakitan Eko Budiono. (Foto:CoWasJP)

Dua willys lain, belum disentuh oleh Eko. Satu willys tahun 1944 dan satu lagi willys modifikasi. “Yang tahun 1944 itu simpanan saya, he…he…he…. Sedangkan yang modif, itu saya perpanjang bodynya mengikuti chasis jeep mitsubishi. Saya potong di bagian di belakang, menyesuaikan panjang chasis, sebab saya tidak mau memotong chasis. Nanti kalau sudah selesai, akan jadi jeep willys eksklusif,” ujarnya.

Begitulah. Eko pun banyak menghabiskan hari-harinya di bengkel jeep belakang rumah. Begitu berserakan onderdil dan komponen mobil di sana. Percayalah, bagi yang awam, pemandangan itu lebih mirip onggokan sampah atau tumpukan besi tua. Siapa nyana, siapa duga, ketika usai disusun, akan menjelma menjadi sesosok jeep willys yang begitu gagah dan menakjubkan.

Penggal kisah Willys di pojok Kletek, Sepanjang, Sidoarjo itu, hanya satu bagian kecil dari dunia willys sesungguhnya. Di luar bengkel, ada Willys Auto Club (WAC) yang beranggotakan Willys Lovers seluruh Indonesia. Jika mereka berkonvoi, tidak satu pun mata berpaling dari iring-iringan mobil tua-rasa-muda itu. “Dulu, perjalanan satu kota ke kota lain, sering lama karena selalu ada yang mogok. Kita semua menunggu. Tapi sekarang, pemandangan itu sudah jarang terjadi. Sebab, sebelum tour, biasanya sudah siap onderdil dan tali untuk menarik,” kata Eko.

Jeep-jeep usang, dengan komunitas yang berjiwa muda, acap berpetualang ke seluruh pelosok negeri. Bagai menapak tilas zaman perang, jeep-jeep itu menderu dan menyapu medan terjal tengah hutan, atau ngarai dan lintasan sungai. Bukan konvoi pasukan penjajah, tetapi konvoi pecinta willys dengan sejuta kisah yang takkan habis ditulis. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda