Kisah Dirut Pertamina Dwi Soetjipto, Sang Anak PRT (2)

Majikan Ibunya Seorang Tionghoa yang Baik Hati

COWASJP.COM – Kehidupan pedesaan memang menyenangkan bagi Dwi Soetjipto.Tetapi pada tahun 1969 ketika belum sampai lulus SD, ia dan adiknya Tri Soetikno tiba-tiba harus keluar dari sekolahnya di desa dan mengikuti ibunya untuk pergi ke Surabaya.

Dwi kecil, yang saat itu sudah di kelas 6 SD, tidak tahu apa yang menyebabkan ibunya meninggalkan rumah. Kelak pada akhirnya ia tahu, ibunya rupanya kesal pada ayahnya karena sehari-hari kecanduan judi buntut yang memang sedang marak saat itu. Karena judi buntut tersebut, kehidupan ekonomi keluarganya menjadi sangat terganggu.

BACA JUGA: Makan Enak Saat Idul Fitri dan Ada Sesajen di Kuburan

Dwi mengatakan, memang hanya dia dan adiknya Tri Soetikno yang diajak pergi ibunya. Hal itu karena Tintin Sumarni, kakak perempuannya, sejak kecil sudah ikut budenya. Ceritanya, sang kakak tersebut sering sakit-sakitan. Budenya yang kebetulan tidak mempunyai anak kemudian mengambil kakaknya tersebut menjadi anaknya.

“Tetapi orangtua saya saat itu tidak bercerai. Kalau sekarang istilahnya pisah ranjang begitu,” kata Dwi dengan tersenyum.

Pada awalnya, Dwi dan adik serta ibunya menumpang di rumah kerabat di kawasan Krembangan. Ibunya kemudian bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Tionghoa di kawasan Jembatan Merah, dekat Pasar Pabean. Mungkin merasa tidak enak menumpang di rumah kerabat, ibunya kemudian mengontrak satu kamar di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana di Kembrangan Jaya Utara Gang VII Surabaya.

Setiap pagi ibunya pergi berjalan kaki untuk bekerja di rumah keluarga Tionghoa tersebut. Sore hari ia pulang ke rumah kontrakan yang ditinggalinya bersama dua anaknya.

Keadaan seperti itu membuat Dwi dan adiknya, yang pindah sekolah di SD Kemayoran, belajar mandiri sejak kecil. Dwi saat itu sudah kelas 6 SD, sementara Tri adiknya kelas 4. Setelah makin mengenal lingkungannya, Dwi pun mulai belajar mencari uang sendiri untuk membantu ibunya. Dwi dan adiknya berjualan es Apollo yang sedang populer saat itu, juga mengantarkan koran. “Tidak berjualan, tetapi hanya mengantarkan saja,” kata Dwi.

Meskipun demikian, prestasi sekolah Dwi toh tidak mengecewakan. Ia bahkan menjadi juara kelas ketika lulus SDN Kemayoran. Atas bantuan tetangganya, Dwi kemudian didaftarkan di SMP Negeri 2 Kepanjen. Pasalnya, sang ibu buta huruf dan tidak tahu seluk-bekuk pendaftaran sekolah anaknya yang baru lulus itu di sekolah yang lebih tinggi.

Cukup lama sang ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Tionghoa, hampir empat tahun, sampai Dwi menjelang lulus SMP. Selama itu pula Dwi makin terbiasa bepergian sendiri ke berbagai tempat di kawasan Surabaya Utara.

Pernah misalnya, saat dirinya belum lulus SD ia pergi sendiri ke sebuah klinik kecil di belakang Kantor Polsek Pabean Cantikan untuk ikut serta khitanan gratis. Ia berjalan kaki ke tempat tersebut setelah diberitahu temannya. Saat itu ia ingat hari Minggu dan ia mendaftar sendiri untuk khitanan.

pertamina-BzWTDG.jpg

“Pulangnya saya naik becak karena pakai sarung. Saya sering tertawa kalau ingat peristiwa itu. Saya sendiri heran, saya kok bisa melakukan hal tersebut,” kata Dwi Soetjipto sambil tertawa.

Dengan polos Dwi juga menceritakan bagaimana tiap Minggu atau hari libur dia dan adiknya sering diajak ibunya ke tempatnya bekerja. Itulah saat-saat yang ditunggu-tunggu karena kesempatan untuk dibelikan aneka jajan di pasar. Sering terdengar orang berjualan kue berteriak-teriak, “Cakue, cakue.”

Bila sudah demikian, air liurnya seolah mengalir, kepingin beli. Sang ibu pun biasanya kemudian membelikannya.

Sebagai pembantu rumah tangga, hubungan ibunya dengan keluarga majikannya sangat baik. Dwi menilai, orang Tionghoa majikan ibunya tersebut memang baik hati. Seringkali pula saat pulang sore hari, ibunya diminta membawa pulang makanan yang berlebih. “Ya, mungkin memang makanan sisa. Tetapi enak-enak, juga bukan makanan yang sudah basi,” tutur Dwi dengan tertawa.

Selama berpisah dengan suaminya, sang ibu tetap sendiri. Memang kadang-kadang ada laki-laki yang mencoba menggodanya. Namun menurut Dwi, dirinya berusaha menunjukkan ketidaksenangannya pada orang yang mencoba mendekati ibunya. Dwi mengatakan, meskipun waktu ia masih sekolah di SMP, dirinya merasa ibunya masih “milik” ayahnya yang tinggal di desa. Dan dia merasa wajib untuk ikut menjaga sang ibu.

pertamina-ANzC9B.jpg

Dwi Soetjipto. (Foto: istimewa)

Keyakinan Dwi Soetjipto tersebut berbuah manis ketika suatu saat dirinya sakit keras hingga dibawa pulang ke Kediri untuk dirawat. Selama beberapa hari, ibunya ikut menjaga Dwi sebelum akhirnya sembuh. Entah bagaimana prosesnya, ayah dan ibunya kembali rukun. Saat kembali ke Surabaya, ayahnya juga ikut serta bersamanya.

Ayahnya kemudian bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik roti di Gembong Tebasan II Surabaya, sedang ibunya berjualan roti di Pasar PPI, Jalan Gresik. Setiap sore, dengan sepeda kudanya Dwi kebagian tugas mengambil roti di pabrik tempat ayahnya bekerja untuk dibawa pulang.

Malam hari, ia dan adiknya Tri membantu ibunya membungkusi roti yang telah dikulak itu dengan plastik. Dan pagi-pagi sebelum Subuh, dia harus membawa roti siap jual itu di Pasar PPI, menyiapkan meja-meja sederhana dan menata roti-roti bungkusan di atasnya. Sambil menunggu ibunya, Dwi menjaga roti dagangan tersebut dan baru pulang ke rumah setelah sang ibu datang.

Namun bukan berarti tugasnya selesai. Dwi harus mengantar suratkabar ke sejumlah pelanggan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah di Kepanjen. Begitulah aktivitas sehari-harinya. Tetapi dasar berotak encer, meski setiap hari bekerja keras membantu orangtua, prestasi Dwi tetap baik. Lulus SMP, nilai yang diraihnya juga sangat baik.

Prestasi yang diraih Dwi Soetjipto tersebut dinilai adiknya, Tri Soetikno, sebagai hal yang wajar karena ia melihat semangat belajar kakaknya memang luar biasa. Sang kakak disebutnya menggunakan beragam akal untuk membantu orangtua guna memenuhi kebutuhan sekolah. Suatu kali Tri Soetikno mengetahui bagaimana kakaknya ternyata sering menggunakan bagian yang halus dari kertas pembungkus roti untuk catatan-catatan pelajaran di sekolahnya.

pertamina-CS9btf.jpg

Foto: nawacita

Lembaran-lembaran kertas pembungkus roti yang dipotong-potong dan dibendel mirip buku itu ternyata diperoleh dari pabrik roti tempat ayahnya bekerja. Di pabrik itu juga Dwi Soetjipto setiap harinya mengambil roti untuk dijual ibunya esok harinya. Rupanya, Dwi sering mengambil kertas pembungkus roti berlebih. Suatu saat ulah Dwi tersebut diketahui oleh pemilik pabrik hingga keluarlah kata-kata yang sebagian tidak diketahui artinya karena menggunakan bahasa Cina, entah dialek apa.Tapi tampak sebagai kemarahan.

“Sainia, sainia!” begitu kata pemilik pabrik seperti dikutip Tri Soetikno dari cerita kakaknya. “Iya, kakak saya pernah cerita itu sambil tertawa-tawa. Kalau ingat itu, Mas Dwi pasti juga tertawa.”

Dwi sendiri menuturkan, apa yang dicapainya di sekolah bagaimana pun juga karena perhatian guru-guru di sekolahnya. Dwi memang dikenal oleh guru-gurunya. Selain mungkin karena nilai-nilai pelajarannya bagus, mungkin juga karena juga rajinnya membawa surat-surat keterangan dari aparat kampung bahwa ia berasal dari keluarga tidak mampu. “Dengan keterangan itu, saya dapat memperoleh keringanan membayar uang sekolah,” kata Dwi.

Salah seorang guru SMP yang sangat diingatnya adalah Pak Basuki Zaman, guru Ilmu Ukur. Penampilannya sangat sederhana, dengan kendaraan sepeda model perempuan. Kalau mengajar, gurunya itu selalu serius. Tetapi cara mengajarnya enak dan mudah dimengerti.

Dwi mengatakan, suatu hari Pak Basuki Zaman pernah marah besar pada dirinya karena ia tidak membawa buku ilmu ukur. “Pak Basuki saat itu mengambil buku tulis saya. Ia menuliskan kata-kata, ‘Apa kalau sudah pintar tidak perlu buku lagi? Buku itu kemudian disobek-sobek dan ditinggalkan di meja saya,” kata Dwi.

“Saya sempat terpukul, tetapi saya sama sekali tidak dendam,” kata Dwi pula.(*)

Baca berita terkait lainnya di CoWasJP.com 

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda