KH Abdul Chalim Leuwimunding (2-Habis)

”Anak Saya Nanti Punya Pesantren yang Besar”

Institut KH Abdul Chalim, Mahasiswanya dari 6 Negara Asing dan 23 Provinsi. (Foto: Nahdlatul Ulama)

COWASJP.COM – ockquote>

C a t a t a n: Djoko Pitono dan H.A. Lazim Suadi 

--------------------------------------------------------------------

KH ABDUL CHALIM (Leuwimunding Majalengka) dilahirkan di Leuwimunding pada bulan Juni 1896. Kiai Chalim lahir dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Satimah. Tiga generasi buyutnya, Buyut Kreteg, Buyut Liuh dan Buyut Kedung Kertagama, adalah tokoh-tokoh masyarakat pada masanya, yang silsilahnya bisa dirunut hingga sampai Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan tokoh Walisongo.

Sepanjang masa hidupnya, Kiai Chalim pernah empat kali menikah. Sebenarnya beliau dikaruniai 21 putra-putri, dengan bungsunya adalah KH Asep Saifuddin dari Ibu Nyai Konaah. Dari 21 anak tersebut, 15 anak hidup hingga dewasa dan menikah. Mereka adalah Siti Rahmah, Khomsatun, Mafouchat, Ahmad Qowiyyun (Agus Chafid), Rofiqoh, Ahmad Musta’in, Nashihah, Ahmad Mustahdi, Chumaidah, Muntafiah, Chudriah, Ahmad Mustafid, Farihatul Jannah, Siti Halimah, dan Kiai Asep Saifuddin Chalim.

BACA JUGA: Pendiri NU, Berperan dalam Perang 10 Nopember 1945

Usai mengikuti Sakola Raja (Praja, sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada zaman penjajahan Belanda) selama dua tahun, Chalim kecil melanjutkan ke Kweekschool,  juga melengkapi pengetahuan agama dengan cara mengaji di sejumlah pesantren lokal. Hingga mencapai usia 15 tahun, Chalim muda sebelumnya sempat belajar di pesantren Barada Mirat Leuwimunding di bawah bimbingan Mbah Buyut Harun.

Abdul Chalim kemudian meneruskan mengaji ke Pesantren Trajaya Majalengka, sebelum kemudian belajar di Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka dan selanjutnya “masantren” di Kempek Cirebon. Chalim muda juga sudah belajar berorganisasi dengan masuk Sarikat Islam (SI), hingga tercatat sebagai anggota termuda organisasi kebangsaan tersebut.

Pada tahun 1914, Mbah Chalim  berangkat ke Mekkah Mukarromah. Di Tanah Suci,  pemuda Chalim memperdalam pengetahuan agama Islam bersama sejumlah santri lain asal Indonesia, salah satunya adalah KH Abdul Wahab Chasbullah.  

Hampir setiap hari keduanya bertemu, belajar dan berdiskusi menyangkut upaya untuk memajukan kaum Muslim di Tanah Air. Begitu tingginya semangat dan idealismenya hingga keduanya membuat komitmen tentang langkah berikutnya. “Kedua beliau itu membuat komitmen untuk memperjuangkan faham ahlus sunnah wal jamaah dan kemerdekaan rakyat Indonesia,” kata Kiai Asep Saifuddin.

Perubahan politik di Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada Perang Dunia I membuat situasi kurang nyaman hingga memaksa KH Chalim kembali ke Tanah Air setelah bermukim selama satu tahun. Kepulangan KH Chalim hampir bersamaan pula dengan kepulangan Kiai Wahab ke Tanah Air.

Di desa kelahirannya, Kiai Chalim membantu ayahnya yang menjadi kepala desa. Berkat pendidikannya dan pengetahuannya yang luas, beliau bahkan diminta membantu kegiatan ayahnya dalam urusan kemasyarakatan sebagai jurutulis Wedana Leuwimunding. Ketika ayahnya wafat pada 1921, Kiai Chalim terjun ke dunia pendidikan.

Suatu hari, dalam kegelisahan hatinya, Kiai Chalim pun teringat pada kawannya, KH Wahab Hasbullah, dan komitmen yang telah dibuatnya di Mekkah beberapa tahun sebelumnya. Kiai Chalim pun bertekad menemui KH Wahab Chasbullah. Tekad sudah bulat untuk mengembara dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki.

Tentang hal ini, KH Chalim melukiskannya dalam buku karyanya, “Sejarah Perjuangan Kiai Haji Wahab Chasbullah”. Buku yang terbit pada 1970 menggunakan bahasa Indonesia tapi ditulis dengan huruf Arab pegon. Susunan ceritanya menggunakan syair-syair dengan maksud agar kaum muda pembacanya tidak bosan. Saat melukiskan awal mukimnya KH Wahab (lahir tahun 1888), KH Chalim antara lain menulis:

Waktu berangkat umur dua tiga jelas
Kurang lebih pulang dua lapan tegas.

 
Tahun empat belas kawit perang dunia
Saya muqim hanya satu tahun nyata,

Sebelum berangkat, KH Chalim menjual peninggalan ayahnya untuk diberikan kepada keluarganya untuk kebutuhan hidupnya. Kemudian bersama Abdullah, adik iparnya, mulai berjalan ke arah timur menyusuri jalan kampung dan desa, naik gunung dan masuk hutan pula. Perjalanan KH Abdul Chalim seluruhnya berlangsung selama 14 hari, 11 hari di antaranya beliau hanya makan kunir alias kunyit.

Tentang pengalaman Kiai Chalim ini, Kiai Asep menuturkan bahwa logikanya abahnya itu mungkin juga makan apa saja asal halal. “Tetapi dengan selalu berbekal kunyit, pencernaan abah saya terjaga karena kunyit adalah antibiotik alami,” kata Kiai Asep Saifuddin.

Begitulah, singkat kata, pada 22 Juni 1922 Kiai Chalim dapat bertemu dengan KH Wahab Hasbullah, berkat bantuan KH Amin dari Praban. Kiai Wahab pun langsung memberi kepercayaan Kiai Chalim untuk mengajar di Nahdlatul Wathon di Kampung Kawatan VI Surabaya. Nahdlatul Wathon adalah organisasi yang didirikan KH Abdul Wahab dan beberapa ulama dengan tujuan pada peningkatan mutu pendidikan Islam, pembentukan kader dan pembinaan juru dakwah.

Di sinilah Kiai Chalim juga dipercaya sebagai sekretaris, yang menjadi inisiator beragam kegiatan dan pengatur administrasi organisasi tersebut. Beliau juga dipercaya membuat Nadhom alias syair-syair untuk diajarkan pada para peserta kegiatan Nahdlatul Wathon. Organisasi ini kemudian disusul terbentuknya Taswirul Afkar, perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial dan dakwah. Lagi-lagi Kiai Wahab menyerahkan kepercayaan sebagai sekretaris kepada Kiai Chalim, yang memang terlibat aktif dalam melahirkan perkumpulan itu.

Demikian juga saat pendirian organisasi baru Syubbanul Wathon, akibat perpecahan kubu KH Mas Mansyur (modernis) dan kubu KH Abdul Wahab Hasbullah (tradisional) dalam Nahdlatul Wathon. Organisasi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Nahdlatul Ulama.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Kiai Chalim sangat sederhana penampilannya. Kiai Chalim sering dilukiskan sebagai kiai yang hanya punya dua pakaian dan sarung.

Beliau juga sering disebut memiliki banyak karomah atau kemampuan di luar manusia biasa karena ketakwaannya kepada Allah SWT. Tetapi menurut Kiai Asep Saifuddin, putranya, karomah itu sering ditutup-tutupi dengan logika. Ini menunjukkan kerendahan hatinya.

Dalam suatu kejadian, misalnya, Kiai Chalim mestinya sudah celaka ditabrak oleh bus yang berjalan sangat kencang. Orang-orang yang melihatnya berteriak-teriak karena merasa ngeri. Tetapi Kiai Chalim ternyata tidak apa-apa dan dengan tenang berjalan melanjutkan perjalanan. Beliau pun menjawab pertanyaan: “Saya kan pendekar pencak. Dengan mudah saya bisa meloncat dan selamat.”

Namun karomah yang paling terkenal adalah kemampuan KH Abdul Chalim dalam “menerawang” masa depan. Saat disambangi KH Wahab Chasbullah di kediamannya pada tahun 1954, terlontar niat Kiai Wahab untuk membantu Kiai Chalim mendirikan pondok pesantren. Ini karena Kiai Chalim adalah satu-satunya pendiri NU yang tidak punya pondok pesantren.

Nah, dalam pembicaraan dengan Kiai Wahab itulah, Kiai Chalim mengemukakan bahwa salah satu putranya nanti akan mempunyai pondok. “Insya Allah, anak saya nanti akan memiliki pondok pesantren yang besar,” kata Kiai Chalim.

santri-kh-cholimChUiH.jpg

Foto: Nahdlatul Ulama

Subhanallah! Putra bungsu Kiai Chalim, Dr KH Asep Saifuddin Chalim, kini mempunyai lembaga pendidikan modern dan besar. Pondok Pesantren Unggulan Amanatul Ummah yang berlokasi di Surabaya dan Pacet memiliki lebih dari 7.000 santri dari seluruh Indonesia. Termasuk Institut Pesantren KH Abdul Chalim, yang sebagian mahasiswanya berasal dari belasan negara asing. (*)
 
Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.
H.A. Lazim Suadi, alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, kin mengajar di Ponpes Amanatul Ummah.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda