Antara Dahlan Iskan dan Bondet (3)

ANNO 1982

Foto dan Ilutrasi: CoWasJP

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Santoso Bondet

-----------------------------------

SIANG itu di bulan Maret 1982 saya terkaget-kaget saat  pak pos menyerahkan pos wesel.  Saya memandangi tulisan nominal di wesel itu seolah tak percaya. Saya masih ingat, di wesel itu tertera Rp 110 ribu,….wuihhh besar amat. Padahal biasanya mengejar berita sampek bungkuk pun honor yang saya terima paling banter  Rp 10 ribu. Bandingkan dengan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang saat itu bergaji Rp 60 ribu. 

Maklum, Jawa Pos saat itu masih sebagai Koran kecil milik keluarga Om The. Dengan honor sekecil itu, jelas tidak mencukupi untuk  membiayai hidup keluarga saya yang saat itu sudah punya satu anak.

BACA JUGA: Kenal Sejak Meliput Komando Jihad

Bahkan untuk mengirim berita pun saya terpaksa sering menjual apa saja yang ada. Termasuk piring gelas, celana, baju, bahkan jas almamater kebanggaan waktu kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), pindah ke pedagang  barang  bekas di Gang Puntuk, Madiun.

Mungkin ada yang Tanya, kalau untuk kirim berita saja harus menjual apa saja, lantas bagaimana menghidupi keluarga. Tuhan memang telah memberi jatah ‘’jatah’’ rezeki kepada manusia, itu saya yakin sekali. Besar kecil memang harus disyukuri. Hanya manusia yang serakah saja yang tidak mensyukuri apa yang ia dapatkan.

BACA JUGA: Antara Dahlan Iskan dan Bondet

Waktu itu, beruntung istri saya bekerja sebagai tenaga honorer administrasi di SD Kartika, Jalan Kemiri Madiun, sehingga sedikit bisa membantu keuangan keluarga. Bahkan jujur saja saya juga sering menerima angpao dari instansi-instansi yang saya liput. Tapi yang saya terima hanya angpao yang tidak mengikat. Besarnya saat itu rata-rata Rp 2.500. Jadi kalau dapat Rp 10 ribu, itu sudah merupakan amplop yang besar. Yang paling besar Rp 25.000 itu hanya kelasnya bupati.

Yah, hanya amplopan yang tidak mengikat yang saya terima saat itu. Meski banyak juga yang ngiming-ngimingi angpao dan fasilitas besar, tapi jujur saya tolak. Sebab waktu itu saya jadi jurnalis bukan tukang tulis. Kalau anda pensiunan pejabat Pemkot Kota Madiun, pasti tahu bahwa saya dikatagorikan ‘’wartawan galak’’. Saya menulis berita investigasi tanpa tedeng aling-aling.

Karena tanpa kompromi itulah suatu saat rumah saya di Jalan Sawo 18 Madiun (berdampingan dengan Hotel Mariton) digerebeg oleh Satpol PP (dulu Ketertiban Umum Pemkot Madiun). Mereka tidak terima atas pemberitaan saya yang dirasa menyudutkan.

Sampai-sampai saya diamankan dan tidur semalam di Polres Madiun karena suasananya tidak kondusif. Tapi berakhir damai setelah Walikota Madiun (saat itu) Drs Marsoedi mengumpulan anggota PWI Madiun dan minta maaf atas kejadian itu.

Semua itu sedikit cuplikan perjalanan profesi yang saya jalani. Kembali ke soal wesel tadi, yang sempat membuat saya membelalakkan mata. Sorenya saya langsung telepon ke kantor Surabaya.

Yang terima saat itu Pak Sudirman, redaktur Jawa Timur. ‘’Sudahlah nanti kan tahu,’’ jawabnya dengan nada yang menurut saya aneh. Ya sangat aneh. Sebab biasanya Pak Dirman menerima telepon dengan nada tidak ramah, saat itu kok ramah sekali. Itu sangat mengherankan bagi saya, sebab saat itu para petinggi Jawa Pos bagaikan monster dalam menghadapi wartawan daerah.

pak-dirman-dan-suhupi895.jpg

Dari Kiri, Slamet Oerip Prihadi (yang akrab dipanggil Suhu), Pak Dirman (mantan redaktur Jawa Timur Jawa Pos era Jalan Kembang Jepun) saat membesuk mantan Pemred Jawa Pos Pak Solihin Hidayat karena sakit. (Foto: Sukma/CoWasJP)

Seminggu kemudian  saya menerima undangan rapat. Woww ini juga nganeh-nganehi. Sejak 1977 sampai 1982 di Jawa Pos tak pernah ada rapat-rapatan. Kali ini justru diundang ke Surabaya dan wajib datang. Bahkan rapatnya tidak di kantor redaksi di Kaliasin (Sekarang Tunjungan Plaza), tapi di Jalan kembang Jepun.

Singkat cerita saya hadir di rapat itu. Ternyata di situ sudah ada Dahlan Iskan. ‘’Lho kok di sini mas??

Tanya saya. Dahlan hanya tersenyum sambil menjawab ‘’Ya sekarang saya di sini.’’ Saya garuk-garuk kepala tanda gagal paham. ‘’Kuranbg apa di Tempo, gaji besar, fasilitas cukup, lha kok pindah Jawa Pos,’’ batin saya waktu itu.

Dalam rapat itulah saya akhirnya tahu, bahwa Jawa Pos sudah dibeli oleh Grafiti Press, penerbit majalah Tempo.  Itu terjadi di tahun 1982. (bersambung)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda