Rencana Reuni Cowas JP di Malang (1)

Jangan Ragu dan Jangan Bohong

Foto dan ilustrasi CoWasJP.com

COWASJP.COM – ockquote>

Reuni eks wartawan Jawa Pos (JP) di Malang, 21 Agustus 2016, kayaknya bakal seru. Bukan saja itu menyambut HUT perdana Cowas (Konco Lawas, komunitas eks JP). Bukan saja persiapan matang (panitia menyediakan guest house tiga hari dua malam). Bukan pula pesertanya se-Nusantara. Bukan hanya itu.

-------------------------------------------------------------------------

TAPI, sejak beberapa hari lalu sudah muncul kelompok-kelompok kecil calon peserta. Kelompok-kelompok ini aktif berdiskusi lewat WA. Isinya kegembiraan. Gembira bakal ketemu teman lama. Rindu suasana kekeluargaan, seperti saat kami masih di JP dulu.

Saya jadi wartawan JP sejak 1 Agustus 1984, dan aktif disitu selama 24 tahun. Hampir separo usia saya. Banyak kisah nostalgia. Terkait dengan banyak teman disana. Mungkin mereka semua bakal hadir. Karena beberapa teman mencolek saya, agar ikut. Beramai-ramai berangkat…

“Apa kamu nggak pengen lihat Slamet Oerip yang kian bijaksana?” tanya seorang kawan.

“Apa kamu nggak rindu ketemu Arif Afandi yang tambah seger dan awet muda?” tanya yang lain.

“Ayo… ayo…. Kapan lagi kita bisa kumpul konco lawas....” ajak teman lainnya.

Kata “Kapan Lagi” membuat saya teringat kawan-kawan yang sudah meninggal. Seperti ada pertanyaan, kapan lagi kita bisa ketemu semeriah ini? Keburu di antara kita berpulang. Senyampang berkesempatan.

Kata “Kapan Lagi” mendesak-desak di dada saya. Seolah saya ingin berangkat sekarang.

**

Reuni eks Jawa Pos (JP) itu selalu special. Meriah sudah pasti. Diwarnai kegembiraan. Ada saja ide-ide baru: Sekalian berwisata-lah, deal-deal bisnis, kerjasama usaha, sampai debat kusir soal idealisme.

Kayak tagline koran JP: Selalu ada yang baru.

Tapi, seperti lazimnya reuni, ada “Enak-gak enak, senang-gak senang”.

Enaknya, setiap reuni mesti ada dermawan eks JP penyandang dana. Pada acara di Malang, 21 Agustus 2016 nanti, panitia menyiapkan guest house keren selama tiga hari dua malam. Juga bus Surabaya-Malang. Peserta benar-benar dimanjakan oleh dermawan.

Gak enaknya, bagi peserta dari jauh. Agak awang-awangen (ogah-ogahan) menerawang jarak, menerobos waktu. Mau cepat (pesawat) moroti anggaran. Mau lambat (KA) sudah sold out sejak lama.

Senangnya, melepas kangen. Semua orang pasti rindu sahabat lama. Kalau sudah ketemu, terjadilah relaksasi. Pengobat syaraf tegang. Itu sebab, silaturahim disebut memanjangkan usia.

Gak senangnya, reuni sering kepleset jadi ajang jor-joran (kompetisi berkonotasi negatif). Peserta tidak sengaja jor-joran. Tapi efek bicara bisa jadi jor-joran.

“Aduuuh…. Senangnya bisa ketemu kamu, Bro…. Apa kegiatanmu sekarang?”

“Aku nganggur, Bos… Kalo bos apa sekarang?”

“Gue ada bisnis kecil-kecilan. Tapi, karena bisnis masih kecil, belum bisa ngrekrut kamu, Bro...”

Getir rasanya. Memang gak sengaja membuat sakit hati sahabat lama. Siapa tega pada sahabat? Tapi diakui atau tidak, efek dialog tersebut terasa getir bagi si penganggur. Atau demikian:

“Anakmu sekarang kuliah di mana?”

“Dah lama tamat SMA, susah cari kerjaan. Baru aja jadi Gojek. Kalo anakmu?”

“Masih kuliah di Unair. Tapi biayanya ampuuun, Cak….”

Sungguh-sungguh dialog biasa. Tidak mengada-ada. Tidak neko-neko. Tapi efeknya, tanpa direkaya, bisa membuat kerongkongan terasa kejepit. Kecekik abis.

Pulang-pulang sakit bengeknya kambuh. Alhasil, silaturahim gak memanjangkan usia. Malah cepet mati. Pun matinya kondisi melet. Wheeek…

Atau, bisa juga berbohong. Misal, anak saya ngojek. Saya katakan jadi dokter. Supaya gak grogi, sebelum ditanya, sudah saya katakan duluan: “Anakku saiki wis dadi dokter, Bro… Syukur Alhamdulillah….”

Seandainya kebablasan seperti ini (karena saking groginya), justru bakal menarik perhatian para sahabat. Semua mata memandang takjub. Semua berduyun-duyun antre menyalami, mengucapkan selamat. Ini juga bukan lebay. Semua ikut senang.

Tapi, si pembohong jadi tambah ketakutan. Ndredheg gak karu-karuan.

Bagaimana, kalau ada yang nyeletuk: “Anakmu sudah nyuntik berapa orang, Bos?”

Wadhow… menjawabnya bisa nggreweli (bibir peyang-peyot). Gak dijawab, semua mata sudah menunggu. Dijawab, bohongnya tambah nemen (dalem).

Nah… suatu saat kebohongan ini pasti terungkap. Kalo sudah terungkap, maka di-cap nggedabrus (pembual).

Seumpama saya ikut reuni di Malang nanti, mending lebih banyak diam. Biar tak tersakiti, atau gak sengaja menyakiti sahabat. Lha…. trus…. Apa guna reuni, kalo cuman membisu?

Nggak… nggak… saya ralat. Saya nggak akan diam. Cerita aja peristiwa-peristiwa zaman dulu. Aman. Saya gak tanya soal pekerjaan teman, atau anaknya teman. Walaupun kayaknya sulit.

Jadi… kalo ada peserta reuni yang ndempis ndingkluk nyekukruk (menyendiri menunduk menekuk bahu) di pojok ruangan, berhati-hatilah. Waspadalah... Jangan tanya dia soal anaknya. Sebab, dia bakal jawab: “Alhamdulillah… anakku dadi dokter….”

Ayo… kita naik KA. Kita tiup terompet kertas, menyerbu Malang. Tret… tet… teeeet…*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda