Baru Kali Ini Saya Menulis

Nyuapi Azrul sampai Belikan Dasi buat Dis

Theresia Oemiati (kanan) yang akrab dipanggil Mbak Oemi bersama seorang putrinya. (Foto: CoWas/JP.com)

COWASJP.COM – ockquote>

O l e h: Theresia Oemiati

----------------------------------------------

Mantan Sekretaris Redaksi Jawa Pos

CERITA saya adalah sisi lain dari era perjuangan membesarkan koran Jawa Pos yang dulu bermarkas di Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Banyak kisah lucu di balik hiruk pikuk mendongkrak oplah atau tiras surat jabar harian Jawa Pos, dari semula 6.000-an pada 1982 menjadi tembus 100.000 exemplar per hari pada 1986.

Kisah perubahan tersebut dimulai setelah Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo mengakuisisi koran Jawa Pos yang nyaris kolaps. Sebelum gabung Jawa Pos, saya sudah bekerja di Biro Jatim MBM Tempo. Kepala Bironya adalah Dahlan Iskan yang kelak menjadi CEO Jawa Pos Group. 

Bermula dari Mas Dahlan (Iskan) yang cari tenaga admin dan sekaligus jaga kantor yg selalu ditinggal wartawannya. Karena beliau sudah akrab dengan suamiku (Munif Aziz, mantan koresponden Kompas), maka aku disuruh buat lamaran.

Gak nyangka, Tempo yang sudah punya nama besar ternyata kantor bironya di tengah pasar yang kumuh, bau, dan kalau hujan pasti banjir. Di Jalan Kertajaya, sekitar 50 meter sebelah timur Viaduct Kertajaya. Tiga bulan setelah jadi sekretaris Biro Tempo Jatim, eh Tempo dibredel gak boleh terbit oleh pemerintah era Pak Harto. 

Aku yang belum tahu persis masalah bredel membredel jadi sedih. Apa yang harus aku kerjakan? Apa aku masih terima gaji yang waktu itu Rp 15 ribu/bulan. (Tempo memberitakan RAPBN RI yang belum diumumkan. Hal ini merupakan pelanggaran berat bagi Pemerintahan Soeharto).

Ya sudah aku belajar sabar, aku kliping berita teman-teman yang antara lain tulisan Suhu tentang biogas, juga tentang hasil susu Pujon yang melimpah sampai dibuang di sungai.

Sambil nggarap kliping aku juga menyuapi Azrul (Ananda) yang susah makan sampai-sampai kepalanya dibentur-benturkan ke tembok sama Abahnya (Dahlan Iskan) kalau gak mau makan.

Dibuatin mainan dari korek api oleh pak Udinnya (Zainudin, adik kandung Dahlan Iskan) dibuat pistol-pistolan, mobil-mobilan.

Suatu ketika ada yg namanya pak Erick Samola (boss Majalah Berita Mingguan Tempo)  yang datang ke kantor Tempo Biro Jatim bersama Pak Haryoko (salah seorang direktur Tempo), dan saya sempat nguping kalau ada koran yang sudah kembang kempis mau dibeli, dan mas Dahlan yang diutus ngurusi semuanya.

Tahu-tahu kami semua sudah harus pindah kantor di Kembang Jepun. Kantornya Jawa Pos. Kantornya kelihatan angker seperti gak terurus. Tempo Jatim juga berkantor di sebelah kiri dan JP di sebelah kanan, anehnya alat2/ mesin telex, radio kuno, mesin ketik, semua ditata di ruangan Tempo.

Kalau pagi mesin telex sering bunyi sendiri, tapi tidak keluar tulisan apapun dan radio kuno tiba-tiba bunyi sendiri gak ada yg 'nyetel'. Aku tanya kepada pak Riani (pembantu umum) bapaknya Soeryadi, apa memang suasana kantor seperti ini se hari-harinya.

“Ya memang ini kenyataan,” kata beliau.

Waktu itu Sekred JP namanya Clara Ririheina orang Ambon yang menurutku sombong dan ada wakilnya Nany Wijaya namanya. Begitu Tempo dan JP sudah gabung, aku pun kerja 'dobel' dengan tambahan gaji Rp 15.000/bln. Jadi total gajiku waktu itu Rp 30.000/bulan.

Karena waktu itu ada berita menarik yang harus segera diliput, maka Mas Dahlan mengutus NN (Nany Wijaya) untuk berangkat liputan. Jadilah aku mbantu Zus Clara. Clara orangnya tomboy, dengan rambut yang khas Ambon keriting dan dipotong pendek persis cowok.

Ternyata NN bisa nulis, yang ngedit Mas Dahlan sendiri. Dan maaf, setelah itu aku sering melihat mereka berdua asyik di depan mesin ketik.

Waktu itu gaji wartawan memang berdasar panjang pendek berita. Diukur berapa sentimeter. Makin panjang makin banyak rupiahnya. Jadi, kualitas beritanya tidak masuk dalam kriteria penentuan honor. Kalau koran Jawa Pos nyaris bangkrut bisa dipahami karena kualitas berita tidak mendapat penghargaan.

Alhasil, tiap hari aku harus menggunting berita teman-teman dan mencatat setiap berita yang termuat, karena nilai berita halaman 1 lebih tinggi daripada yang dimuat di halaman lain.

Ada yang namanya insentif. Kalau sekarang namanya tunjangan profesi yang diterimakan setiap tanggal 15, dan selalu NN yang paling unggul dalam perolehan uangnya, karena memang beritanya banyak. Nomor 2 Cholili Ilyas (mantan wartawan Pemkot Surabaya dan DPR Surabaya).

Ada juga yang suka marah karena beritanya gak dimuat, sekarang sudah almarhum (MS, M. Siradj). MS spesial berita-berita hiburan. Yang menyeleksi berita hiburan Zus Clara, jadilah dia yang selalu kena marah MS.

Suatu saat ada undangan mendadak. Pak Dahlan (aku kemudian memanggil Pak setelah beliau jadi Pemimpin Redaksir) harus ketemuan sama salah satu pejabat. Tapikarena Pak Dahlan nggak pernah pakai sepatu kalau ngantor, selalu pakai sandal jepit, jadilah aku yang mencarikan sepatu punya teman-teman yang pas untuk beliau.

Aku juga membelikan dasi yang harganya waktu itu Rp 100.000 dapat 3. Waktu pertama kali tugas ke luar negeri, pulangnya semua barang ditaruh di mejaku. Ada sandal hotel, ada kue dari pesawat, barang-barang, dan baju-baju kotor.

Ya jadi rebutanlah sama teman-teman. Lucunya sandal hotel oleh Pak Dahlan disuruh menyimpan satu untuk dipakai sendiri. Aku yang bersih-bersih meja Pak Dahlan, tahu persis letak pulpen dan lain-lain. Ada uang receh, ada jam tangan mahal.

Ndilalah jamnya hilang yang otomatis aku yang dituduh mengambil. “Gak trimo aku, aku bengok2 nang ngarepe OB-OB nek sopo sing wani njupuk bakal gak slamet tak dongakno mencret2 (Saya ngamuk. Saya berteriak di depan anak-anak OB, siapa yang berani mengambil bakal kena bencana. Saya doakan diare).” 

Rupanya ada salah satu OB yang mengambil, karena pagi-pagi keesokan harinya aku bersih-bersih meja, jamnya sudah ada di tempat semula. Alhamdulillah

Waktu terus berlalu. Teman-teman di daerah yang potensial dan bisa jadi wartawan yangg baik ditarik ke Surabaya, ke kantor pusat. Ada Ror (Dhimam Abror Djuraid, Probolinggo), ada Rif (Arif Afandi, Jogjakarta) dan masih banyak lagi. Yang lucu waktu pimpinannya gede-gede (gemuk) semua banyak yang tidur di kantor. Ada yang pakai sarung, ada yang pakai celana pendek juga. Tiap datang pagi, pasti aku bangunkan mereka dulu.

Yg paling susah MG (Margiono, sekarang boss Rakyat Merdeka Group), harus ditarik jempol kakinya baru bangun. Sementara JS (almarhum Joko Susilo, wartawan internasional) sudah mandi dan cuci CD terus dijemur di belakang mesin cetak.

Kalau Pak Hin (Solihin Hidayat, wartawan Pemprov Jatim dan floating), aku repot mau membangunkan. Bagaimana ya lha wong bemonya (burungnya) kelihatan. Mau dibangunkan kok kelihatan bemo nongol dari garasi, gak dibangunkan kok sudah siang gak bangun-bangun.  Serba salah.

Break dulu ya, ingat bemonya pak Hin, ketawa sendiri. Ada sambungannya tulisan saya ini. Ditunggu ya.*

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda